Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - eklegein

Meminati Filsafat//Sejarah//Ilmu Pendidikan --- Film, Bola, dan AS Roma. Menyukai diskusi mencerahkan yang memperluas wawasan. Menyukai diskusi dan introspeksi yang membuka wawasan baru tentang kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Zaken Kabinet: Harapan Profesionalisme atau Sekedar Mimpi di Siang Bolong?

17 September 2024   14:38 Diperbarui: 17 September 2024   14:43 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen sendiri." - Kahlil Gibran

Di tengah kekacauan politik dan perubahan global, kita dihadapkan pada pertanyaan yang menggetarkan: Bisakah Indonesia melangkah keluar dari bayang-bayang kepentingan politik dan masuk ke era pemerintahan profesional melalui konsep zaken kabinet? 

Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, gagasan ini tampak seperti angin segar yang membawa harapan. Namun, kita perlu bertanya: apakah ini hanya angan-angan atau solusi nyata bagi permasalahan bangsa?

Sebagaimana kita lihat di negara-negara Eropa seperti Italia dan Belanda, model technocratic government yang diterapkan memang menarik. Para profesional, bukan politisi, diangkat untuk memimpin kementerian penting dengan satu tujuan: efisiensi. 

Dalam teori, zaken kabinet menjanjikan pemerintahan yang terlepas dari pengaruh politik, fokus pada keahlian dan pelayanan publik. Tetapi, apakah konsep ini bisa bertahan dalam realitas politik Indonesia yang sering kali lebih seperti pertarungan gladiator daripada permainan catur strategis?

Zaken Kabinet: Profesionalisme atau Kompromi?

Di atas kertas, zaken kabinet tampak seperti jawaban bagi segala problematika pemerintahan kita. Bayangkan seorang ahli di bidang ekonomi memegang kendali di Kementerian Keuangan, atau seorang pakar kesehatan memimpin reformasi di bidang kesehatan.

Tidak ada janji manis yang digembor-gemborkan hanya untuk meraih suara. Tidak ada kursi menteri yang diperebutkan sebagai "hadiah" bagi para elite politik. Semua berdasarkan meritokrasi. Namun, kita tahu bahwa politik Indonesia tidak pernah sesederhana itu.

Seperti yang dikatakan oleh pengamat politik Adi Prayitno, "Membentuk kabinet berbasis keahlian akan sulit jika tetap terikat pada kompromi politik. Partai politik cenderung menuntut posisi sebagai imbalan atas dukungan mereka." Di sinilah letak tantangannya. 

Model zaken kabinet mungkin bisa diterapkan dalam teori, namun dalam praktik, bagaimana caranya menghindari tekanan koalisi politik? Dalam sistem politik yang sudah terbiasa dengan kompromi dan distribusi kekuasaan, gagasan zaken kabinet tampak seperti mimpi siang bolong.

Realitas Sosial-Politik: Masalah di Bawah Permukaan

Indonesia bukan Italia atau Jerman. Di sini, kekuatan politik partai sangat kuat. Ketika kabinet dibentuk, sering kali kita melihat representasi dari semua anggota koalisi, sebagai imbalan atas dukungan politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun