“You are limited only by the passion and imagination, daring to be honest and open in all likelihood.......”
:Kathleen Flinn
Pendidikan adalah pondasi bagi masa depan sebuah bangsa. Namun, di Indonesia, tantangan yang dihadapi sistem pendidikan sangat besar. Sementara banyak negara seperti Finlandia, Jepang, dan Korea berhasil membangun sistem pendidikan yang mendorong kreativitas dan disiplin tanpa kekerasan, Indonesia masih berkutat dengan praktik yang tidak hanya ketinggalan zaman tetapi juga merusak. Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) yang sering kali berakhir dengan kekerasan adalah salah satu contohnya. Sistem pendidikan Indonesia masih terpaku pada cara-cara intimidasi dan kekerasan untuk menegakkan disiplin, padahal ini justru menghambat perkembangan passion dan imajinasi anak bangsa.
Pendidikan dan Kekerasan: Mengapa Masih Terjadi?
Salah satu contoh nyata dari kekerasan dalam pendidikan adalah meninggalnya Evan Christoper Situmorang di Riau selama kegiatan MOPDB (Masa Orientasi Peserta Didik Baru). Tragedi ini menggarisbawahi kenyataan bahwa kekerasan masih menjadi bagian tak terpisahkan dari proses orientasi siswa di berbagai sekolah. Meskipun sudah banyak kritik terhadap praktik ini, disiplin yang salah kaprah masih terus dilakukan, seolah-olah kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menanamkan kedisiplinan. Padahal, disiplin sejati tidak bisa diraih melalui intimidasi dan ketakutan. Menggunakan kekerasan untuk mencapai kepatuhan hanya menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi perkembangan siswa.
Pembiasaan Kegagalan: Mengapa Sulit Mengubah Sistem Pendidikan?
Masalah lain yang dihadapi adalah pembiasaan kegagalan dalam sistem pendidikan itu sendiri. Kita sering kali tidak merasa menjadi korban dari sistem ini, meskipun kenyataannya, kita semua—anak bangsa—adalah korban. Sistem pendidikan yang gagal tidak memiliki pelaku yang jelas. Jika seseorang mencuri ponsel, korbannya jelas, pelakunya juga jelas. Namun, dalam hal pendidikan, korban dan pelaku seakan-akan kabur. Hal ini membuat kita sulit untuk merasakan urgensi perubahan.
Ketidakjelasan ini juga membuat kita tidak sadar bahwa kita telah terlibat dalam melanggengkan kebobrokan sistem pendidikan. Contoh sederhana adalah pembiaran terhadap praktik-praktik yang merusak, seperti suap dalam ujian atau manipulasi nilai. Kita terbiasa dengan keadaan ini sehingga tidak merasa perlu untuk bertindak.
Agama dan Pendidikan: Fokus yang Salah?
Sebagai bangsa yang beragama, kita sering menganggap bahwa agama seharusnya menjadi penuntun moral bagi sistem pendidikan. Namun, agama di tangan para pemuka sering kali sibuk mengurusi hal-hal yang tidak fundamental. Fokusnya sering kali pada persoalan ibadah ritual sehari-hari, sementara persoalan besar seperti pendidikan cenderung diabaikan. Agama yang seharusnya memberikan rahmat bagi semua, malah seringkali sibuk dengan perdebatan yang tidak relevan dengan perkembangan intelektual anak bangsa.
Paradigma Pintar dan Bodoh yang Salah
Sistem pendidikan kita masih terjebak dalam pola pikir usang tentang "kepintaran" yang diukur dari seberapa banyak fakta yang bisa dihafal. Pintar, dalam konteks pendidikan Indonesia, sering kali hanya berarti mampu menjawab soal ujian. Namun, sejarah membuktikan bahwa banyak tokoh besar seperti Isaac Newton dan Albert Einstein justru dianggap "tidak pintar" oleh standar pendidikan di masa mereka. Sistem pendidikan yang hanya mengukur kepintaran berdasarkan hafalan akan mengabaikan potensi-potensi besar yang mungkin ada dalam diri setiap siswa.
Jika kita terus mempertahankan cara pandang ini, kita hanya akan mencetak lulusan yang pintar secara teknis, tetapi lemah dalam hal kreativitas, inovasi, dan karakter. Mendidik anak bangsa bukan hanya soal memberikan mereka gelar atau nilai tinggi, tetapi bagaimana mereka dapat menjadi individu yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan bermoral.
Pendidikan: Sebuah Proses, Bukan Hasil Instan
Pendidikan bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan cara cepat dan instan. Membangun sistem pendidikan yang baik memerlukan proses yang panjang dan melibatkan berbagai elemen. Seperti membuat kopi yang enak, butuh waktu untuk memanaskan air, mencampur kopi dan gula, serta menunggu suhu yang tepat untuk menikmatinya. Begitu juga dengan pendidikan, diperlukan proses yang matang untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki imajinasi dan inspirasi yang kuat.
Pendidikan tidak seharusnya menjadi ajang untuk menakut-nakuti atau memaksakan kepatuhan buta. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi ruang bagi siswa untuk mengembangkan passion dan imajinasi mereka. Sudah saatnya kita berhenti meniru sistem pendidikan yang seragam dan memaksakan standar yang tidak relevan dengan kebutuhan individu.
Eksplorasi dan Kebebasan dalam Pendidikan
Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa setiap anak adalah individu dengan potensi yang unik. Sistem pendidikan yang baik adalah sistem yang mampu menghargai dan mengakomodasi keunikan setiap siswa. Alih-alih menekankan pada hafalan dan standar yang kaku, pendidikan seharusnya memberi ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi diri, mengembangkan imajinasi, dan menemukan passion mereka. Hanya dengan cara inilah kita bisa berharap menciptakan generasi yang tidak hanya pintar di atas kertas, tetapi juga kreatif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan masa depan.