Spektakuler itulah kata yang pantas diucapkan saat melihat panggung penampilan seni budaya ala santri Nurul Ilmi Darunnajah 14. Pondok yang terletak di kecamatan Pabuaran ini membuat agenda pagelaran seni yang di selenggarakan oleh para santri kelas 6 TMI atau kelas XII SMK. Garapan santri kelas 6 TMI sengaja dilaksanakan malam ini, sebab mereka ingin mengukir sejarah di Nurul Ilmi, Bahwa santri sekelas mereka mampu menyelenggarakan sebuah karya yang mampu dikenang para penghuni pesantren Nurul Ilmi.
Sebuah bentuk nyata santri kelas TMI dalam bersyukur kepada Allah karena mereka telah melaksanakan ujian Nasional dan ujian Nihai. Sebuah pendidikan pesantren yang belum tentu mampu dilaksanakan disekolahan umum. Perayaan selepas melaksanakan Ujian besar yang memakan waktu dan tenaga yaitu Ujian Nasional dan Ujian Nihai. Jika lembaga lain para siswanya ada yang melepas kelulusannya dengan corat coret baju, menggeber motor di tengah jalan berteriak-teriak sepanjang jalan, tapi Budaya itu tidak dikenal di lingkungan pendidikan pesantren.
Pelajar setingkat kelas XII SMK Nurul Ilmi mencoba membuat sebuah karya budaya yang mereka sebut dengan Panggung Gembira 606. Dengan Panggung besar background setinggi kurang lebih 8 meter dan dengan lebar 14 meter menghiasi lapangan sepak bola Nurul Ilmi. Background warna corak hijau dengan lukisan tiga dua dimensi menggambarkan sebuah istana megah. Karya ini dikerjakan sendiri oleh santriwan dan santriwati kelas 6 TMI atau pelajar setingkat kelas XII TMI.
Agenda seperti ini belum tentu dapat dilakukan oleh sekolahan lain. Mulai dari perencanaan agenda, pendanaan agenda, pengisian acara, bahkan sampai melukis background dan pendirian background panggung dilaksanakan oleh para siswa-siswi kelas enam TMI. Dewan guru yang ada hanya memberikan motivasi dan nasehat, santri kelas enam mampu mencari dana untuk pagelaran Panggung Gembira 606.
Menurut salah satu siswa kelas 6 TMI, bahwa Panggung Gembira 606 ini menghabiskan dana kurang lebih 50 juta. Dana ini dihimpun dari iuran angkatan kelas enam TMI 2012-2013, dibantu oleh adik-adik kelasnya, guru-guru dan dari dana yang tidak mengikat. Pada pagelaran ini, siswa-siswi TMI kelas 6 juga mengadakan santunan untuk anak yatim sekitar pesantren.
Kegiatan seperti ini akan dijadikan tradisi pesantren Nurul Ilmi. Menurut Fajar Suryono sebagai Kepala Sekolah SMK Darunnajah 14 menyatakan bahwa, mendidik santri yang berpotensi harus dengan tindakan nyata. Maraknya tawuran pelajar disebabkan para tenaga didiknya tidak mampu menyerap potensi yang ada dalam siswa, sehingga para pelajar melampiaskan dalam tawuran. Jika sekolah mampu memberikan wadah bagi para pelajar dalam menyalurkan potensi yang ada dalam dirinya, dan selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan, setidaknya tawuran pelajar yang marak saat ini dapat dihilangkan dari para pelajar.
Pendidikan di pesantren tidak mengenal kata libur atau istirahat. Istirahat dalam lingkungan pesantren adalah pergantian antar kegiatan. dari kegiatan A menuju kegiatan B itulah yang dinamakan istirahat. Dari kegiatan Ujian Nasional beralih kepada kegiatan Nihai dan ke pagelaran Panggung Gembira itulah yang dinamakan istirahat. Istirahatnya dari Ujian Nasional adalah melaksanakan Ujian Nihai, istirahatnya Ujian Nihai adalah Panggung Gembira dan istirahatnya Panggung gembira adalah Haflatul Ikhtitam. Dengan banyaknya kegiatan yang silih berganti inilah yang membuat otak santri selalu berjalan, sehingga tidak ada waktu kosong untuk memikirkan tawuran atau hanya sekedar lehay-lehay.
Pesantren yang selalu dipandang sebelah oleh beberapa kaum saat dulu dan kini, ternyata tak seburuk yang mereka sangka. Memang di dunia ini tidak ada yang sempurna, setidaknya apa salahnya jika menuju tingkat yang hampir sempurna. Pendidikan yang ada dipesantrenlah yang mampu menjalankan itu. Pendidikan dalam pesantren bukan sekedar pendidikan kata-kata atau tulisan, pendidikan di pesantren teraplikasikan dalam tindakan.
Seorang santri akan tetap teringat masa-masa dipesantren dengan pelajaran dan didikannya, tetapi seorang pelajar belum tentu mereka mengingat apa yang telah diberikan sekolahan terhadap mereka. Bahkan marahnya santri bisa saja marah dengan menggunakan pelajarn yang mereka dapatkan dari guru-gurunya, tapi belum tentu marahnya pelajar berbasiskan pelajaran yang didapatkan dari para guru-gurunya. Dahsatnya, separah-parahnya santri masih akan teringat beberapa ayat, atau hadis atau mahfudzot atau hanya sekedar kata-kata gurunya disaat mereka adu mulut. Apakah banyak pelajar sekolahan umum yang adu mulut menggunakan mata pelajaran mereka?
Semoga Panggung Gembira tahun depan di Nurul Ilmi mampu mendidik para guru-gurunya, para santri santrinya dan juga tidak ketinggalan mampu mendidik warga sekitar. ** Penulis biasa di sebut Adib El-Nglesany
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H