Menuju Sejarah Pribadi Undergroundnitas
Bolehlah jika istilah itu digunakan sebagai penanda bagi teknik pengasingan yang disengaja sebagai gerakan tertentu atau reaksi sosial : sebuah proses yang merupakan ostranemie. Posisinya memang tak perlu mendapat pengakuan umum, namun memperkuat arti tersendiri kehadirannya bagi penikmatnya. Kesadaran semacam itu terbangun tanpa indoktrinasi formal sebagai sebuah pengajaran sakral bagi pembaptisan penikmatnya, sebab undergroundnitas yang kehadirannya tak perlu afirmasi publik juga tak perlu pemaknaan baku tentangnya. Namun, publik penikmatnya perlu dipecah menjadi pendengar ataupun penikmat yang akan menciptakan arti dan makna bersama-sama terhadap karya kreatornya. Kesempurnaan sebuah karya adalah ketersampaiannya  pada pembaca, tetapi kesempurnaan itu bagi pembaca A dan B tentu bisa berbeda , sebab semua pemaknaan tentu akan berbeda dan cukup mendapat legitimasi pada tingkat pribadi. Tanpa semua itu, undergrounitas hanyalah sebuah pengasingan yang disalah arti menjadi eksklusivisme yang berujung pada pengarahan mutlak pada satu kebenaran, yaitu: kebenaran akar musik para pemainnya dengan meleyapkan penikmat mereka yang sebenarnya adalah peneguh sekaligus penopang eksistensi mereka. Tanpa peralihan pemaknaan dari kreator ke penikmat, maka seorang penikmat tak lebih hanyalah sebagai konsumen biasa dalam rutinitas penjamuran minimarket. Tanpa penerusan makna yang berarti dari karya kreator. Maka tulisan ini adalah tentang penikmat yang akan menentukan sejarah untuk dirinya sendiri melalui pemaknaannya:
Walau bukan untuk nalar biasa, boleh didekati dengan telaah( karena bisa membantu), asal terbatas kerangka dan kkulitnya, karena intinya adalah urusan tuan pembaca yang sambil membaca membuatnya sempurna.(sajak pembaca dan penyair Sitor Situmorang)
Mengenai Pemaknaan, Undergroundnitas dan Sejarah Penikmat yang ditepikan
Mengasosiasikan sejarah penikmat dalam undergroundnitas dengan sejarah pembaca dalam sastra indonesia yang ditepikan merupakan pengilustrasian yang cukup baik yang dapat digunakan sebagai penekanan pentingnya pembaca dan penikmat dalam sejarah pekembangan suatu karya.
Esai Radhar tentang sejarah sastra menuju pembaca, memulai tulisannya dengan munculnya pengarang sebagai bintang kebudayaan yang menyiratkan obsesi, ambisi dan apresiasi narsistik terhadap dirinnya sendiri yang barangkali juga merupakan sebuah ironi yang terperangkap dalam jaring ideologi, bahkan epistemilogisnya sendiri, yang didintrodusir dari luar komunitasnya sendiri, untuk kemudian dikembangbiakan secara internal oleh involusi di dalam komunitas sastra itu sendiri.
Lalu berlanjut pada otoritas yang merasa berhak menentukan segala yang baik dan benar seperti balai pustaka, jassin atau teeuw yang memperketat diri dengan penghancuran sastra lokal serta ketiadaan pengakuan bagi penyair yang berseberangan dengannya. Seperti kasus penyair sunda Soewarsih Djoyopoespito tahun 1937 yang katanya tak sesuai kaidah balai pustaka ditolak dan malah diterbitkan di negeri belanda dengan judul Buiten Het Garrel ( Lepas dari Kendali).
Maka tak perlunya kita menjadi tuhan bagi orang lain, cukuplah menjadi tuan bagi diri sendiri. Dengan memberikan ruang bagi kesalahan sekalipun untuk mengembangkan dekodifikasi karya underground dan memperdalam signifikansinya dalam penghayatan pribadi masing-masing orang yang jamak dan relatif. Sehingga tidak akan ada tempat lagi bagi arogansi, monopoli dan arogansi. Tak perlu merasa menjadi wakil sah kebenaran. Sebab undergrounitas juga tumbuh dari perlawanan terhadap otoritas, kenapa hendak menjadi otoritas baru yang berhak dengan mendakwa mereka bersalah. Sedangkan kita sendiri jelas mempunyai sejarah pribadi dalam menemukan kecintaan kita pada musik underground yang tak tentu sama pula! Dan menggiring pada kecintaan-kecintaan kita pada musik ini dalam berbagai aspeknya, selain aspek bermusiknya bukan?. Maka patutlah saya ,anda,kalian dan mereka berapologi terhadap kebanggaan-kebanggaab kita, kealpaan-kealpaan kita pada kenyataan yang terpinggirkan oleh asumsi-asumsi kita tentang undergroundnitas yang merasa kita wakili, yang barangkali atas semua asumsi itu kita menjadi tergelincir sebagai penikmat dan penerus pesan menjadi pendakwa, karena kesejatian telah ada di tangan kita.
Terima kasih untuk mas Radhar Panca Dahana atas perspektifnya.
Dahana, Radhar Panca. Kebenaran dan Dusta dalam Sastra. Magelang: Indonesiatera, 2001.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI