Badan Permusyawaratan Desa atau disingkat dengan BPD menurut Permendagri nomor 110 tahun 2016 tentang BPD, BPD adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
Namun yang masih menjadi kendala adalah, setelah BPD dilantik oleh Bupati dan mendapatkan SK Bupati masih banyak BPD yang belum tahu harus bagaimana setelah itu?
Bahkan tidak jarangBPD yang mati suri akhirnya hanya sebagai lembaga papan nama, untuk melengkapi papan nama yang dipajang di depan kantor desa.
Padahal Pemerintah sudah membuat  Undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 dan Permendagri 110 tahun 2016 tentang BPD semestinya BPD tidak lagi bingung harus berbuat apa?
Tiga fungsi BPD yang diatur di dalam Permendagri tersebut yaitu 1. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, 2. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa, 3. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Bila semua anggota BPD memahami ketiga fungsi ini, seharusnya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa tidak banyak terjadi. Karena mekanisme pengawasan telah diatur sedemikian rupa, sehingga BPD memungkinkan melakukan pencegahan penyelewengan. Selain itu anggaran dana desa yang telah diberikan kepada desa lebih terarah, karena BPD harus mampu menyerap aspirasi masyarakat.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) bekerjasama dengan KOMPAK telah membuat modul Sekolah Anggaran Desa (Sekar Desa) dimana didalam modul tersebut menjelaskan bahwa setidaknya ada 4 kelemahan BPD. kelemahan ini karena BPD dan anggotanya belum sepenuhnya memahami peran dan fungsinya berdasarkan UU Desa yang baru. Bahkan,sebagian besar keberadaan BPD 'matisuri'.
Pertama, dalam penyusunan Peraturan Desa (Perdes) tentang RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa misalnya, BPD selalu hadir tapi cenderung menyepakati begitu saja Rancangan Perdes tersebut. BPD jarang membahas dan tidak pernah membuat catatan atas rancangan peraturan desa secara internal BPD. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi BPD belum digunakan secara maksimal. Demikian juga dengan proses penyusunan Perdes inovatif lain. Padahal, Pasal 62 huruf (a) UU Desa dan Pasal 83 Ayat 2 PP. No.43 Tahun2014 tentang Pelaksanaan UU Desa menyebutkan bahwa anggota BPD berhak mengajukan usul Rancangan Perdes.
Kedua, dalam fungsinya sebagai penampung dan penyalur aspirasi/aduan warga, BPD juga masih lemah. Warga desa biasanya langsung menyampaikan usulan atau keluhannya kepada Kepala Desa Kepala Dusun dan Perangkat Desa lainnya. BPD belum mengembangkan mekanisme serap aspirasi mandiri diluar proses formal perencanaan pembangunan melalui Musyawarah Dusun (Musdus), Musyawarah Desa (Musdes), atau Musyawarah Pembangunan Desa (Musrenbangdes). BPD juga tidak mempunyai secretariat atau kantor sendiri yang memungkinkan warga menyampaikan aspirasi atau keluhannya.
Ketiga, terkait fungsi pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa. Pada desa-desa yang Ketua BPD-nya pernah menjadi pesaing kepala desa terpilih, kontrol yang dilakukan BPD cenderung terlalu ketat, tidak kompromis dan cenderung belum tersetruktur. Di desa-desa yang lain, pengawasan BPD relatif longgar.
Praktik atas Pasal 61 UU Desa yang menyebutkan bahwa BPD punya hak meminta keterangan atas penyelenggaraan pemerintahan desa (LKPJ) kepada Kepala Desa, belum berjalan maksimal. Banyak desa yang belum melaksanakan Musyawarah LKPJ.
Kalaupun dilaksanakan,kecenderungannya masih sebatas formalitas Padahal, Pasal 51 Ayat 3, PP. No.43/2014 menegaskan bahwa LKPJ digunakan oleh BPD untuk melaksanakan fungsi pengawasan.