Ketika masih berseragam putih-abu-abu, saya begitu keranjingan dengan musik punk. Nyaris tidak pernah alpa di kuping saya lagu-lagu dari Sex Pistols, The Exploited, Ramones, Rancid, beserta sejenisnya.
Padahal, ketika itu, kawan-kawan saya nyaris tidak ada yang mendengarkan musik-musik yang saya konsumsi. Anak-anak muda sebaya saya ketika itu tengah tergila-gila terhadap musik beraliran rock & roll atau emo.
Menjadi pendengar musik punk di antara kepungan yang lainnya tidak menjadikan saya ingin dieksklusifkan sebagai "anak punk". Sama sekali tidak. Meski jaket jeans kumal dengan tempelan emblem bernuansa "anarki" hampir tidak pernah lepas dari tubuh saya.
Alasannya sederhana. Bagi saya, label "anak punk" terlalu berat. Saya mengidentikkan anak-anak punk sebagai para pemberontak yang melawan arus sistem yang berlaku. Sistem apapun. Pemerintahan, ekonomi, sosial-budaya, dan sebagainya. Sementara saya, masih mengejar ijazah sekolah dan tidak siap untuk hidup dalam situasi ketikdakmapanan. Dan kebetulan saya tidak mendalami dan menjalankan ideologi punk hingga seberat itu. Saya hanya sekadar suka mendengarkan musiknya. Tidak lebih.
Hal yang sama juga terjadi ketika saya terjun ke dunia media massa selepas kuliah. Menjadi wartawan tidak saya anggap sebagai profesi yang spesial. Biasa saja. Tidak ada bedanya dengan dokter, PNS, pegawai kantoran, atau pekerja pabrik. Saya bahkan menolak untuk dilabeli sebagai wartawan.
Sebab, bagi saya, label "wartawan" terlalu berat. Dalam hemat saya, wartawan adalah seorang yang harus jujur sejak dalam pikiran, adil, netral, cerdas luar biasa, kritis, berpihak pada kebenaran, dan sebagainya. Sementara ketika itu saya hanya pemburu berita, yang tidak lepas dari kepentingan dan politik pemilik media massa tempat saya bekerja.
Jadi akan sangat lucu ketika saya melihat rekan-rekan pemburu berita seolah berlomba ingin dilabeli "wartawan" atau "jurnalis". Bahkan banyak di antaranya yang berkeras untuk meyakinkan pada dunia bahwa dirinya adalah "jurnalis". Padahal saya tahu pekerjaan sehari-hari mereka adalah mengoperasikan kamera video atau ruang kontrol studio.
Begitu pula ketika saya memiliki hobi fotografi. Saya enggan disebut fotografer. Sebab label "fotografer" memiliki makna dan arti yang lebih dalam dari sekadar hobi membekukan momen.
Sangat mengherankan bagi saya ketika orang-orang saling berebut demi menyandang sebuah label. Entah yang doyan membuat puisi ingin disebut penyair, lah. Atau yang doyan menulis ingin disebut sastrawan, lah. Atau bahkan ketika belajar agama ingin disebut "hijrah", lah.
Yang baru mengunggah satu video di Youtube, ingin disebut Youtuber, lah. Yang berkoar-koar di media sosial soal ketidakadilan, ingin disebut aktivis, lah. Atau baru satu-dua kali mencicip kopi tanpa gula, lalu ingin disebut pecinta kopi. Konyol.
Apa sih pentingnya sebuah label? Apakah dengan menyandang label atau gelar tertentu kita akan semakin "terpandang"? Mungkin ya. Mungkin juga tidak. Sebab bagi saya, label tidak akan memengaruhi apapun terhadap cara kita bersikap dan memandang sesuatu.