Berita hoaks muncul akibat banyak yang mengamini kebohongan. Semudah itu teorinya. Jadi, tidak patut mengkambinghitamkan hoaks, karena publik sendiri yang membentuknya.
Berita hoaks pun lagi-lagi mendapati banyak penggemar jika memberitakan sesuatu yang mereka sukai. Kubu Prabowo, misalnya, kan menerima berita bangkitnya jutaan simpatisan PKI yang tidak berdasar. Sementara simpatisan Jokowi akan sukarela menelan berita dosa-dosa Prabowo di masa lalu yang belum tentu kebenarannya.
Salah siapa? Pelaku media? Jelas. Mereka mengencingi prinsip jurnalistik yang berpegang pada independensi dan faktualitas.
Tidak mudah memang menjalankan fungsi pers dan menjaga netralitas di tengah berbagai kepentingan pemilik modal. Terlebih di tahun politik seperti sekarang. Buang jauh-jauh angan independensi yang absolut. Sebab, selama sebuah media dibangun menggunakan modal, independensi yang tegak lurus nyaris mustahil diterapkan. Terlebih mengingat bahwa setiap media memiliki politik redaksi.
Media-media yang melacurkan independensi tak ubahnya Humas pada suatu korporasi. Bahkan lebih parah. Lebih memalukan karena para pelaku media semacam itu masih mendaku diri sebagai watch dog.
Kondisi ini sangat disayangkan mengingat Indonesia memiliki perjalanan pers yang tidak sebentar dan mudah.
Apakah publik salah? Oo.. Tidak. Publik tidak salah. Karena pada dasarnya kebodohan adala nama lain dari maha-benar.
Solo, November 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI