Menikmati berita berarti menikmati pula media massa yang menyiarkannya. Menikmati media massa juga butuh selera. Ibarat etalase sebuah toko yang menyediakan pelbagai suguhan sesuai selera mata pembeli.
Mudahnya begini--kita analogikan menggunakan kasus politik yang paling mudah dicerna--jika Anda pendukung Jokowi, maka Anda cenderung mengikuti atau melahap berita dari media condong kepada Jokowi. Begitu pula sebaliknya, jika Anda pendukung Prabowo. Kalaupun Anda mengikuti berita dari media "lawan", Anda akan cenderung menampik berita "positif" yang mereka sajikan. Itu natural dan lumrah. Tenang saja, Anda tidak gila sendirian.
Alhasil, fakta-fakta yang seharusnya diketahui oleh publik secara jujur jadi bias. Pendukung Prabowo tidak memercayai segala berita yang disajikan oleh TV Biru dan groupnya, karena dianggap pro-Jokowi. Pendukung Jokowi tidak percaya pada TV Merah dan kelompoknya karena dianggap condong kepada Prabowo.
Padahal, berita-berita yang disajikan oleh media massa tersebut belum tentu nirfakta. Fakta-fakta yang diberitakan akan kerap dianggap kebohongan, karena publik cenderung hanya ingin disuapi berita yang mereka hendaki. Berita yang menyenangkan mereka.
Gawatnya, hal ini juga berdampak pada media lainnya yang sebetulnya mengambil posisi netral dalam percaturan politik. Misalkan Historia yang khusus membuat artikel mengenai sejarah.
Historia bisa jadi dianggap sebagai kubu petahana karena kerap menulis artikel negatif terkait rezim Orde Baru. Kita semua tahu Orde Baru identik dengan kubu Prabowo Subianto. Padahal yang ditulis oleh Historia adalah fakta adanya, dan bisa dipertanggung jawabkan.
Percuma rasanya berdarah-darah mempertahankan netralitas, jika publik hanya ingin memercayai berita yang ingin mereka yakini. Bukan yang sebenarnya.
Lain hal dengan media yang mereka percayai. Sebohong apapun berita yang diberikan, mereka akan meyakini sebagai kebenaran. Asalkan kenyang dan senang.
Kondisi ini diperparah oleh para pelaku media yang sadar bahwa berita yang mereka buat tetap akan dilahap oleh kalangan tertentu, meski hanya sebatas utopia. Fakta dipelintir hingga nyaris bersentuhan dengan kebohongan, asalkan rating dan oplah tetap gemuk.
Kebohongan dan konstruksi fakta yang dilakukan oleh media semakin masif tatkala publik menempatkan diri sebagai objek pembodohan secara sukarela. Publik malas untuk melakukan konfirmasi terhadap suatu pemberitaan untuk sekadar menjaga keberimbangan. Mereka lebih suka menelan bulat-bulat berita yang sepaham dengan ideologi mereka.
Kondisi ini semakin pelik ketika media-media guram semakin menjamur dan berpayung pada kebebasan berpendapat. Jangan heran jika dewasa ini berita hoaks bertebaran seperti laron yang jatuh cinta pada cahaya.