Pernah kalian dengar ada beruang kutub yang melarang para penguin agar tidak berisik ketika ia sedang melakukan hibernasi? Atau pernahkah kalian melihat singa yang sedang sakit gigi kemudian melarang kawanan rusa berkeliaran di sekitarnya? Saya jamin kalian tidak pernah. Begitu pula saya. Mengapa? Alasannya sederhana. Karena para hewan-hewan tersebut menjunjung tinggi toleransi. Meskipun beruang kutub butuh tidur panjang selama hibernasi, ia tidak melarang penguin untuk bermain hingga berisik. Atau, singa yang tidak bisa makan karena giginya sedang sakit, tidak melarang para rusa berkeliaran di dekatnya, meskipun notabene, rusa adalah menu makanan yang menggiurkan bagi si singa.
Beberapa waktu lalu, Indonesia sempat dihebohkan oleh berita yang menurut saya tidak aneh dan tidak perlu dihebohkan lagi. Warung makan milik seorang ibu di Serang, Banten, kena razia oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat. Sebelumnya, dikatakan, pemerintah daerah memang sudah menerapkan larangan untuk tidak membuka tempat makan di siang hari selama bulan puasa. Dengan kata lain, membuka tempat makan di siang hari di bulan puasa di Banten, adalah harom. Dosa, laknatullah. Neraka ke-8 ganjarannya. Disiksa oleh iblis bertanduk banteng berwajah kucing. Pokoknya dilarang.
Saeni namanya, si empunya warung yang sudah tidak muda lagi sekaligus apes ini, dipaksa mengigit jari ketika makanan dagangannya diboyong oleh Satpol PP. Saeni yang mengaku buta huruf, sehingga tidak bisa membaca imbauan larangan yang dipampang besar-besar itu, hanya bisa meratapi melihat segala sayur, tempe, tahu, dan hasil memasak lainnya diboyong sebagai barang bukti. Ia hanya bisa berharap masakannya tersebut dibagikan kepada fakir miskin yang membutuhkan. Atau jika menjadi hidangan buka puasa para Satpol PP tersebut, semoga menjadi daging. Itupun kalau mereka puasa. Kalau tidak, ya tidak apa-apa sih.
Singkat cerita, video berita razia terhadap warung Saeni tersebar, dan menuai berbagai reaksi. Banyak yang mengatakan, tindakan Satpol PP, yang dimotori oleh Pemda Banten, adalah tepat. Terlebih, mengingat Banten adalah provinisi yang syari’ah dan sangat taat terhadap hukum-hukum Islam. Hal tersebut tercermin dari sikap pemimpin terdahulunya, Ratu Atut Chosiyah. Ah, dan juga adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, alias Wawan. Oleh sebab itu, tindakan semacam razia tempat makan di siang hari adalah hal yang lumrah-lumrah saja. Ya tho? Ndasmu!
Membuka tempat makan di saat orang lain sedang menahan lapar adalah sikap intoleransi. Ya, meskipun ada beberapa tempat makan yang membungkus warungnya menggunakan tirai, namun tetap saja tidak sopan. Memangnya aroma sambal terasi bisa terhalangi oleh tirai? Bayangkan, jam 12 tengah hari, saat matahari tepat berada di atas ubun-ubun, dan perut sedang kosong-kosongnya, tetiba saja tercium aroma ayam goreng atau ikan bakar. Belum lagi jika terdengar suara es yang berdenting, saling beradu di dalam gelas yang diaduk. Pastilah es teh manis. Atau es jeruk. Atau ah, cendol. Aah! Apapun itu, membuka tempat makan di siang hari adalah bentuk dari intoleransi. Sebagai orang yang sedang berpuasa, tentulah sudah seharusnya kami dihormati. Jika kami lapar, kalian juga sepatutnya lapar. Atau paling tidak, jangan makan di depan kami. Karena kami tidak tahan godaan tersebut. Bisa-bisa puasa kami batal. Dan dosa. Celaka duabelas jika terjadi.
Di lain pihak, razia tempat makan seperti yang terjadi di Banten dinilai tidak manusiawi. Banyak pihak menilai razia terhadap tempat makan di siang hari, tidak perlu dilakukan. Jika memang berniat puasa, maka godaan semacam apapun akan dengan mudah ditepis. Termasuk mencium aroma ayam goreng, terlebih dari godaan ayam kampus. Tindakan membungkus tempat makan menggunakan tirai pun sudah merupakan bentuk toleransi dan menghormati umat yang sedang berpuasa. Berdagang di siang hari, atau bahkan makan di siang hari adalah hak setiap manusia. Para pedagang yang membutuhkan pundi-pundinya diisi oleh rupiah, biarlah berdagang. Juga mereka yang memutuskan untuk makan di siang hari, biarlah makan. Toh banyak alasan untuk tidak berpuasa, seperti alasan kesehatan, atau memang tidak menjalankannya. Urusan amal dan keimanan adalah urusan si-manusia dengan Yang Maha Agung. Puasa jangan manja, deh!
"Bukannya kami manja, tapi kami juga manusia biasa yang lemah terhadap godaan", ujar si-pro razia, protes.Â
"Kami juga puasa, tapi kami tidak keberatan dengan berbagai godaan, karena memang hakikat dari puasa justru menahan godaan", balas si-kontra.Â
"Memang betul, tapi apa salahnya meminimalisir godaan di saat berpuasa?"
"Meminimalisir godaan memang perlu, tapi bukan berarti harus melanggar hak orang lain. Meminimalisir godaan 'kan bisa dilakukan dari menguatkan niat dan membatasi diri masing-masing."
"Tetapi, kami selalu jadi ingin makan jika melihat orang lain makan," bantah si-pro lagi.Â