Mohon tunggu...
Aditia Putra
Aditia Putra Mohon Tunggu... Engineer -

forever student. humanist. skeptic who believes in naturalism

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tinggal di Mars: Siapa Takut?

3 Oktober 2017   21:48 Diperbarui: 3 Oktober 2017   22:00 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menanggapi artikel yang menarik Mengapa Menolak Manusia Tinggal di Mars?, saya akan coba memberikan pandangan yang kontra dengan artikel tersebut. Sebelumnya, saya menyarankan untuk membaca artikel tersebut karena banyak info dan isu-isu menarik yang dibahas di dalamnya. Dan tentu artikel ini berkaitan. Saya juga setuju beberapa pandangan dari artikel tersebut. Namun, saya akan membahas beberapa hal dari sudut pandang yang berbeda. 

Saya setuju manusia (dan saya juga mau) tinggal di Mars. (Tentu kalau sudah aman ya, saya nggak mau mati konyol juga, hehe...). Saya coba ulas beberapa poin dalam artikel ini. 

Kelinci Percobaan

Sebelum kita memutuskan agar manusia tinggal di Mars, pastilah akan ada ekspedisi tanpa awak untuk memerika apakah aman tinggal di Mars. Pertanyaannya: kalaupun segala jenis kelinci percobaan sudah diluncurkan dan disimpulkan "aman", siapa orang pertama yang mau pergi dan tinggal disana? Siapa yang mau menjadi kelinci percobaan dari "golongan manusia"? Apakah manusia akan takut? 

Jika Mars ibarat benua, Magellan dan Colombus juga musti menjadi "kelinci percobaan". Atau, jika Mars ibarat bulan, Yuri Gagarin atau Neil Armstrong juga musti jadi "kelinci percobaan". Tidak mungkin kita akan menyuruh kelinci untuk mengarungi samudra atau memerintahkan kelinci tersebut untuk memencet-mencet tombol di pesawat antariksa. Jadi manusia musti: Take the risk, man! Oh, and women, too! We love you, explorers! 

Merekalah yang nantinya menyumbangkan ilmu dan teknologi agar manusia makin maju dan berkembang. Mereka juga membuat hidup kita di jaman ini makin mudah dan "berwarna". Tidak seperti jaman dulu yang perlu waktu berhari-hari untuk mengirim pesan antar kota. Sedangkan sekarang hanya perlu... kurang dari 1 detik untuk mengirim pesan ke belahan dunia yang lain. 

Identitas dan SARA

Apakah kita rela akan kehilangan identitas kita? Oke, kita akui aja deh, lama kelaman identitas itu juga akan hllang, kok. Walaupun kesannya negatif karena kita kehilangan identitas, ada juga sisi positifnya. Kenapa? Karena itulah satu-satu nya jalan agar manusia bisa hidup rukun dalam keberagaman. (Oke, oke, mungkin bukan satu-satunya ya).

Jika masih ada identitas yang kita pertahankan, maka isu SARA akan dengan mudahnya muncul. Dan, SARA adalah sumber dari konflik dan peperangan. Karena menciptakan perbedaan identitas. Atau, mentalitas "kami" dan "mereka". Kita harus merelakan untuk kehilangan identitas. Untuk kemudian digantikan oleh identitas yang baru. (Yang lama cukup dikenang saja)

Sebagai contoh, Indonesia bisa bersatu ketika kita menghilangkan mentalitas "kami" dan "mereka". Antar identitas suku, agama, ras atau golongan. Bukan lagi "kami orang Jawa" dan "mereka orang Sunda" (misalnya), tapi "kita orang Indonesia". Jadi, untuk bersatu dan hidup rukun kita perlu identitas baru. Dan, jika kita tinggal di Mars, manusia membutuhkan identitas baru, ketika dunia kita makin luas. 

Jadi, bagaimana di masa depan? Saya kira prediksinya akan sama. Bukan lagi "kami orang Indonesia", tapi "kita orang Asia". Lalu, bukan lagi "kami orang Asia", tapi "kita orang Bumi". Mungkin lama-kelaman jadi "kita orang Bima Sakti". Who knows?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun