Mohon tunggu...
Aditia Putra
Aditia Putra Mohon Tunggu... Engineer -

forever student. humanist. skeptic who believes in naturalism

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara G30S dan G30S/PKI: Kontroversi dan Refleksi

1 Oktober 2017   22:01 Diperbarui: 1 Oktober 2017   22:16 4552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika pembaca sudah menonton pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) yang disutradarai oleh Arifin C. Noer, tidak ada salahnya pembaca juga menonton film besutan Joshua Oppenheimer: The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014). Tentu, penonton akan merasakan ada perbedaan bumbu-bumbu fiksi yang menarik. Namun jika dilihat, dua sutradara ini menceritakan peristiwa yang sama namun dengan interpretasi sejarah yang berbeda. Perbedaan interpretasi peristiwa sejarah itu dilatarbelakangi dari siapa yang bertanggung jawab dibalik peristiwa genosida tersebut. Jika kita mau melihat lebih jauh, setidaknya ada lima perbedaan versi, yaitu (1) PKI sebagai dalang, (2) masalah internal Angkatan Darat, (3) Soekarno, (4) Soeharto dan (5) Jaringan Intelijen & CIA. [1] 

Mungkin ada pembaca yang bertanya: mengapa judul artikel diatas memberikan perbedaan antara G30S dan G30S/PKI? Kata G30S/PKI menyiratkan bahwa peristiwa tersebut didalangi oleh PKI. Sehingga G30S ditambahkan penekanan kata "/PKI". Sedangkan G30S akan lebih menenkankan netralitas tentang siapa yang mendalangi peristiwa tersebut. Dalam artikel ini penulis tidak bertujuan untuk berargumen mana dari versi-versi tersebut yang merupakan kebenaran peristiwa G30S. Tetapi penulis menitikberatkan pada perbedaan perspektif interpretasi kebenaran sejarah dan cara kita memaknai peristiwa tersebut. Juga relevansi saat ini terkait isu kebangkitan PKI [2] dan Fobia Komunis [3]. 

Mari kita lihat bagaimana konsekuensi terhadap persepsi kita antara dua versi yang ekstrim. Versi pertama, PKI sebagai dalang dimana film Pengkhianatan G30S/PKI mencitrakan bagaimana Soeharto dan Angkatan Darat (Orde Baru) menjadi pahlawan penumpas PKI. Dan versi kedua, adalah versi-versi yang lain, yaitu bukan (hanya) PKI yang mendalangi peristiwa genosida tersebut. 

  1. Pertama, mari kita anggap bahwa versi ini adalah kebenaran dari peristiwa sejarah tersebut. Bagaimana perspektif kita jika ini dianggap benar? Tentu akan menggambarkan betapa berbahaya dan kejamnya kejahatan yang dilakukan oleh PKI. Dan kita semua mengalami "trauma" bila sedikit saja mendengar kata PKI. Selain itu, versi ini juga mendongkrak citra pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat (Orde Baru) sebagai pahlawan yang menumpas kejahatan. 
  2. Kedua, sekarang coba kita berpikir sebaliknya. Kita anggap bahwa versi lain adalah kebenaran dari peristiwa sejarah tersebut. Terlepas dari baik/buruknya PKI itu sendiri, akan muncul pertanyaan: Mengapa film Pengkhianatan G30S/PKI ini dibuat "sedikit meleset" dari kebenaran peristiwa sejarah ini? (Meski penulis juga mengagumi film tersebut dari sisi seni film itu sendiri). Lalu, akan makin mengherankan bila kita mengetahui bahwa: "Sejak ditayangkan tahun 1984, pemerintah Orde Baru memberlakukan setiap siswa di segala lapisan, pegawai negeri sipil, perusahaan daerah untuk wajib menonton film ini setiap tanggal 30 September. Selain diputar di layar lebar beberapa kali, film itu akhirnya diputar di TVRI setiap tanggal 30 September pukul 10.00 WIB." [4] 

Bagaimana perspektif kita jika versi kedua ini dianggap benar? Konsekuensinya, interpretasi film versi Arifin C. Noor menurunkan citra pemerintahan orde baru. Karena di latar belakangi bukan oleh pembelajaran nilai sejarah atas perjuangan bangsa, tetapi sebagai alat propaganda dan doktrin. Tentu ini akan mengarah pada pertanyaan: mengapa pemerintah Orde Baru "menanggapi isu PKI secara berlebihan" paska dibubarkannya PKI di tahun 1966. Dampak propaganda dan doktrin pada perspektif masyarakat era Orde Baru terbagi dua yang mensukseskan kelanggengan pemerintah: 

  • Pro-pemerintah: Mereka merasa bahwa Soeharto dan Pemerintah Orde Baru, termasuk AD (Orde Baru), adalah pahlawan kita semua yang melindungi NKRI. Oleh karena itu, kebijakannya harus selalu didukung dan tidak boleh ada pihak-pihak manapun yang mengganggu stabilitas kekuasaan pemerintah Orde Baru. 
  • Kontra-pemerintah: Mereka yang mengkritik segala kebijakan pemerintah, akan merasa dihadapkan dengan dilema tuduhan antek PKI. Karena PKI diasosiasikan sebagai penentang pemerintah. Pengkritik kebijakan akan dengan mudahnya dituduh sebagai PKI. Walaupun mungkin tidak ada niatan untuk menggulingkan pemerintah. Kemudian, itu dijadikan dasar sebagai pembenaran atas kekerasan militer dan pelanggaran HAM. 

Doktrin dan Relevansinya Saat Ini

Doktrin itu adalah produk Orde Baru, tetapi akan terasa signifikan ketika digabungkan dengan isu kebangkitan PKI [2] dan fobia komunis [3]. Di jaman Orde Baru, Pemerintah Orde Baru lah yang memanfaatkan doktrin ini untuk menuduh siapapun yang menentang pemerintahan sebagai PKI yang harus dibasmi. Parahnya, tanpa perlu verifikasi apakah orang tersebut memang terlibat. Sedangkan saat ini, semua orang dapat memanfaatkan doktrin tersebut untuk menyerang seseorang atau kelompok tertentu dengan menuduhnya sebagai PKI. Itu pun juga tanpa verifikasi.

 Kedua, fobia komunis menggiring persepsi politik bahwa masyarakat sangat membutuhkan pemimpin yang berlatar belakang militer. Karena memiliki citra yang lebih kuat dalam mempertahankan NKRI dari PKI-PKI baru, yang sebenarnya masih dipertanyakan eksistensinya saat ini [5]. Lalu, jika propaganda dan doktrin itu benar dan jika sekarang kita "menanggapi isu PKI secara berlebihan", bukannya kita sama saja mengulangi sejarah jaman Order Baru? 

Refleksi Singkat

Jika ditanya, mana versi yang benar? Jawab penulis: tidak tahu, komparasi perspektif penulis di atas masih bersifat spekulasi. Jika ditanya, mana versi yang penulis percaya? Jawab penulis: tentu bukan versi yang pertama, karena itu mengarah ke doktrin dan propaganda. Namun penulis memaknai sejarah kelam tersebut bukan untuk menilai siapa yang salah, dan siapa yang berjasa. Tetapi peristiwa itu dipertingati untuk mengingatkan kita agar tidak menggunakan kekerasan (baca: hujatan, makian, fitnah, dll) meski kita ada perbedaan pandangan. Dan, tentunya yang terpenting saat ini, bukan diperingati hanya untuk sekedar dijadikan ajang tuduhan-tuduhan atau alat politik. 

Catatan Kaki

[1] [2] [3] [4] [5]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun