Mohon tunggu...
ADIANSYAH Dompu
ADIANSYAH Dompu Mohon Tunggu... profesional -

Alumni Universitas Islam Indonesia. Sekarang sebagai Praktisi Perdagangan Berjangka Komoditi, sejak tahun 2005.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Antara Harga Bbm dan UU APBNP Pasal 7(6a), Sebuah Lelucon

19 November 2014   18:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:24 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita tentang kenaikan harga BBM oleh Jokowi Cs sangat berwarna. Diluar cerita tentang penolakan rakyat karena mencekiknya harga kebutuhan pokok setelah itu, atau persetujuan dari beberapa elemen masyarakat terkait pencabutan subsidi BBM tersebut, tetapi faktor konstitusional atau tidaknya keputusan tersebut juga menarik kalau didiskusikan. Pertanyaan besarnya adalah: Apakah pencabutan subsidi BBM itu berpotensi melanggar UU?

Beberapa kelompok masyarakat, terutama pemerintah tentunya, berpendapat tidak ada satu pasalpun dalam UU yang dilanggar terkait keputusan tersebut. Tetapi kelompok lain mengatakan pemerintah telah melanggar UU APBNP pasal 7 ayat 6a yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya”

OPERA SABUN DPR

Pada Quarter pertama tahun 2012, terjadi "keributan politik" di DPR tentang wewenang pemerintah menaikkan tarif BBM dan kewajiban pemerintah untuk berkonsultasi dengan DPR tentang kenaikan harga minyak. Dalam rapat paripuran DPR saat itu, diputuskan untuk menambah sebuah pasal yang saya kutip di atas yaitu pasal 7 ayat 6a.

Pro kontra terjadi. PDIP dan Gerindra yang saat itu adalah oposisi bagi pemerintahan SBY, juga beberapa pengamat politik dan ahli tata negara berjamaah menolak pasal tersebut dengan alasan mengebiri hak rakyat yang diwakilkan kepada wakil rakyat di DPR, sehinggan mereka mangajukan uji materi UU tersebut ke MK. Menurut mereka, pasal itu berpotensi membiarkan pemerintah menaikkan seenak perutnya harga BBM tanpa berkonsultasi dahulu dengan DPR. Sedangkan Partai-partai pendukung pemerintah dan pemerintah sendiri jelas berada di barisan mendukung penambahan pasal tersebut.

Waktu berlalu...

OPERA SABUN PEMERINTAH

Saat ini, rezim yang berkuasa adalah JOKOWI dengan partai pemenang pemilu dan pendukung pemerintah adalah PDIP dan partai pendukungnya yang lain. Beberapa hari yang lalu, pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM (seperti yang sudah anda baca sendiri, jadi tidak perlu saya tulis detailnya). Dalam pidatonya di malam pengumuman tersebut, pemerintah menyatakan alasannya "bla bla bla" dan bahwa pemerintah tidak melanggar satupun pasal dalam UU manapun.

Pemerintah dan partai pendukungnya mungkin lupa dengan "opera sabun 2012" di atas tadi. Pasal 7 ayat 6a dijadikan sebagai senjata untuk melegalkan keputusan mereka dalam menaikkan harga BBM bersubsidi alias mencabut subsidinya. Bukankah mereka juga dulu yang getol menolak kenaikan tersebut? Minus Gerindra ya, karena Gerindra sekarang berada di garda terdepan partai-partai Oposisi. Dalam hal ini, keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi tanpa berkonsultasi dengan DPR bisa menjadi Senjata makan tuan. Bagaimana bisa? Mari simak analisa saya:

PEMERINTAH WAJIB BERKONSULTASI DENGAN DPR MENYANGKUT KEUANGAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun