[caption id="attachment_316857" align="aligncenter" width="300" caption="Cover Buku Jokowi Bukan Untuk Presiden. Sumber: Kompasiana"][/caption]
Cerita soal Jokowi tak ada habisnya. Juga tak bosan para jurnalis mengintili Gubernur DKI ini ke mana pun dia pergi. Tak sedetik pun laku Jokowi yang luput dari sergapan kamera jurnalis dan alat rekam wartawan cetak dan laman daring (internet). Kehidupan di luar pekerjaan keseharian Jokowi juga menjadi santapan nikmat pembaca berita.
Kini, bacaan soal mantan Wali Kota Solo ini juga tak melulu didominasi jurnalis profesional yang bekerja di media massa arus utama. Warga biasa pun bisa melaporkan pandangan mata dan opininya terhadap sosok Jokowi. Dalam rentang dua tahun belakakangan, blog Kompasiana juga diramaikan dengan diskursus soal capres yang diusung PDI Perjuangan ini. Ratusan, bahkan mungkin mendekati seribuan artikel, hadir untuk bisa dibaca dan dinikmati. Dari mulai reportase yang ringan sampai opini yang cukup kompleks namun enak dibaca.Barangkali, tak pernah ada tokoh di Indonesia, yang namanya saban hari dimuat di media massa seperti Jokowi.
Gegap gempita makin terasa saat pria bernama lengkap Joko Widodo ini maju dan kemudian menang dalam pemilihan gubernur DKI setahun lebih beberapa bulan yang lewat. Tulisan di Kompasiana, sejujurnya, hadir sebagai buah pikiran warga biasa melihat sosok yang satu ini. Ada yang menulis lantaran kesamaan daerah dan tahu sedikit-sedikit soal ini, ada pula yang menjahit opininya dari serakan informasi yang bertebaran di media massa.
Syukurnya, khusus tulisan soal Jokowi di Kompasiana, kini hadir dalam bentuk buku. Semua naskah yang dianggap layak dibukukan, dikumpulkan menjadi satu suhuf khusus dan diterbitkan. Tak main-main, tulisan puluhan Kompasianer—sebutan untuk bloger Kompasiana—ini diterbitkan penerbit arus utama: Elex Media Komputindo. Maka, pembaca kian mudah mendedahkan perihal Jokowi ini dalam sebuah buku. Serakan idenya punya objek yang homogen. Namun, cara pandang dan titik pangkal menulisnya berbeda-beda setiap orang.Mari kita kuliti isi buku bertajuk Jokowi Bukan untuk Presiden ini.
Secara umum, Kompasiana pintar memanfaatkan momentum dalam berniaga. Ini catatan pertama. Blog tersohor ini bagaikan magnet buat para penulisnya. Meski tak dibayar, ribuan Kompasianer semangat menatahkan karyanya. Tak terkecuali soal Jokowi ini. Dari antusiasme yang luar biasa ini, Kompasiana kemudian menjahitnya ke dalam sebuah buku. Memang tidak semua naskah bisa masuk. Pilihan editor, Nurulloh, dibantu administrator lainnya tentu saja, cukup bagus dalam merangkai artikel yang masuk ke dalam buku ini. Apalagi, momentumnya pas banget. Jokowi terpilih sebagai gubernur DKI, kemudian evaluasi setahun masa kepemimpinannya, dan yang teranyar, dipilihnya Jokowi oleh PDI Perjuangan sebagai calon presiden. Makin lengkaplah momentum kehadiran buku ini dengan kabar terbaru.
Dalam ranah jurnalisme, berita itu hadir karena aktual. Perihal Jokowi, yang teraktual tentu terpilihnya dia menjadi capres oleh PDI Perjuangan. Buku ini, meski diterbitkan sebelum Jokowi menerima amanat menjadi capres, menemukan momentumnya. Istilahnya, buku ini hadir dengan cantelan peristiwa yang kuat. Ini menjadi keunggulan buku ini.
Kedua, sudut pandang beragam. Berbeda dengan tulisan dari politikus atau pengamat, semua tulisan yang ditatahkan di buku ini hadir dari beragam latar belakang penulisnya. Plus-minusnya jelas ada. Sebagai bacaan untuk semua kalangan, beragamnya penulis tentu memperkaya khazanah sebuah literatur. Meski tak digolongkan dalam buku serius, pembaca bisa menikmati senarai ide setiap penulisnya dari sudut pandang yang berbeda. Jadi, meski punya tema besar yang sama, topiknya berbeda-beda. Ini menariknya. Namun, minusnya juga ada. Meski punya topik berbeda, karena napas utamanya Jokowi, tentu agak membosankan jika penulis tak mampu menghadirkan ide baru dalam tulisan yang dibikin. Ide baru ini penting dalam menulis. Di sinilah setiap Kompasianer ditantang untuk mendedahkan sebuah topik ke dalam bahasan yang menarik. Ibaratnya Jokowi ini rumah besar, setiap penulis bisa menyiginya dari sisi mana saja. Dari jendela bisa, dari pintu bisa, dari atap juga bisa, dari beranda bisa, dari halaman depan juga oke, dari pintu gerbang juga sip, bahkan dari lubang angin pun dapat. Inilah minusnya. Meski setiap penulis mencoba mengambil sudut dan sisi tertentu, napas utama Jokowinya masih kentara sekali. Maka, meski ditulis dari beragam sudut, rumah besar itu terasa dibaca dari satu sisi. Hanya ada beberapa yang khas, yang tidak diulang oleh penulis lainnya.
Memang, sungguh sulit untuk mencari keunikan dari tulisan yang objeknya orang yang sama. Semuanya hampir seragam. Ada yang berbeda, namun belum membentuk harmoni. Namun, ini agak tertolong dengan pembagian bab atau bagian yang disusun penerbit. Sehingga, babakan yang dilalui Jokowi bisa dibaca secara runut oleh pembaca. Di balik kelemahan, ada keunggulan, dan ini syukurnya mendominasi.
Ketiga, ada pujian, ada kritikan. Catatan penting lain dari buku yang sedang penulis resensi ini ialah ada unsur pujian dan kritik di dalamnya. Dibanding tulisan jurnalis profesional yang acap kita baca, tulisan para Kompasianer dalam buku ini juga sarat kritik. Mari kita buka beberapa halaman di buku ini. Yang paling oke, menurut saya, kritik yang ditulis Kompasianer Tantan Hermansyah berjudul “Jokowi dan Parkir yang Tidak Adil”. Mengapa saya sebut kritik terbaik? Sebab, tulisan ini mengkritik kebijakan Jokowi selagi dia menjadi gubernur. Kritiknya pun bagus, konkret, dan dengan bahasa yang elegan. Keunggulan Tantan ialah, ia mampu mendedahkan persoalan parkir ini dan menganalisisnya secara sederhana. Mungkin ada beberapa penulis lain yang mengambil topik yang sama. Tapi sungguh tepat jika penyusun buku ini mencomot karya ini ke dalam buku. Analisis Tantan yang sederhana tapi masuk logika, membuat tulisan ini sebagai kritik sekaligus ide yang konkret. Bisa dilaksanakan. Dan terukur. Nominal rupiah yang diprediksi masuk kocek Pemda DKI dari sistem parkir yang ditawarkan Tantan, menarik dan logis.
Yang juga menarik ialah tulisan di halaman 139 yang dibuat oleh Herry B Sancoko berjudul “Melawan Arus Bersama Jokowi.” Tulisan ini, pada item tertentu, menyoroti kiprah media massa yang turut menciptakan citra tersendiri untk Jokowi. Saya kutipkan alinea yang buat saya sungguh bagus. “Perhatian media massa terhadap Jokowi bisa menjadi kontraproduktif jika tidak dikelola dengan baik. Peliputan sebaiknya dikonsentrasikan pada hal-hal yang menyangkut perubahan mendasar dan punya dampak terhadap perbaikan sistem. Peliputan tentang kegiatan Jokowi yang tidak berdampak luas sebaiknya dibatasi meskipun baik bagi popularitas Jokowi atau bisa meningkatkan oplah, tapi bisa berakibat membuat masyarakat kelebihan muatan dengan informasi sehingga pada akhirnya bisa berakibat sulitnya membedakan antara mana sekadar citra tentang Jokowi dan mana yang hasil kerja nyata—sesuatu yang punya dampak luas terhadap perbaikan sistem telah dilakukan Jokowi.(Halaman 139)
Dibandingkan tulisan lain yang nuansanya kritik, dua tulisan ini bolehlah dijadikan amsal. Sebab, yang satu kritik konkret, satu lain kritik terhadap media yang memang bisa disebut lebay. Apa-apa yang menyangkut Jokowi, meski tidak konteks dengan hak publik, juga diberitakan. Porsi yang kelewat besar juga membuat pengagumnya sungkan melontarkan kritik. Seolah-olah, apa yang dikerjakan Jokowi itu seratus persen benar dan tak ada cacatnya. Tulisan kritik soal parkir adalah bukti sahih yang tak terbantahkan.
Keempat, tidak indepth, khas unek-unek. Namanya saja dibuat warga pewarta. Meski ada yang berlatar belakang jurnalis, penulis, editor, dan pekerjaan tulis-menulis lainnya, karena ini blog, semua khas laporan warga. Yang namanya warga jelas punya unek-unek. Dan karena ini melulu soal “The Smiling Governor” Jokowi, unek-uneknya pun soal si dia. Maka, tak heran, kekhasan warga dalam keseluruhan isi tulisan ini begitu kentara. Bahkan, saking unek-unek khas warga, ada tulisan yang tergolong kelewat sedikit narasinya. Misalnya tulisan Muhammad Syukri di halaman 127 sampai 129 bertajuk “Jokowi? Siapa Suru datang Jakarta”. Tulisan ini terdiri dari delapan alinea. Ringkas sebetulnya. Untung saja, si penulis melampirkan teks lagu ciptaan Melly Goeslaw ini sehingga ada bagian yang diisi dengan teks lagu. Tulisan ini mewakili kekhasan tulisan opini dan reportase yang ditaja warga pewarta. Tak perlu dipersulit, apa yang ada di kepala, dituliskan dengan lugas. Meski sederhana, ringan, dan jenaka, tulisan tetap punya warna. Karena dia adalah karya seorang warga pewarta.
Sejatinya, jurnalis profesional bisa menjadikan tulisan di blog atau buku ini sebagai pembanding. Boleh jadi, reportase mereka juga sama dan sebangun dengan tulisan bloger. Kurang mendalam. Jurnalis profesional mesti lebih baik dalam mencari sudut pandang dan menemukan nilai berita sehingga dibaca dan berdampak. Apalagi, tulisan dan opini di media arus utama melewati serangkaian penyuntingan. Maka, jurnalis profesional semestinya bisa menyajikan liputan soal Jokowi dalam topik yang berbeda dan punya magnet yang kuat. Jangan kalah oleh warga pewarta. Meski begitu, kadang seorang warga pewarta lebih dahulu menemukan momentum yang keren ketimbang jurnalisnya. Kalau jurnalisnya fokus pada kegiatan Jokowi an sich, warga pewarta boleh jadi menemukan angle yang menarik karena mereka juga punya intuisi yang tajam dan skeptisisme yang oke.
Kelima, editing rapi dengan sedikit duri. Penyuntingan dalam buku ini, dengan Nurulloh sebagai editor, cukup rapi. Saya menduga, editor bekerja dengan sangat ketat. Mengapa? Sebab, yang disunting adalah karya bloger yang memiliki pengetahuan kebahasaan yang berbeda. Kekhasan warga saat menulis ialah sedikit abai dengan ejaan, tanda baca, logika, dan sebagainya. Apa yang mereka rasakan, lihat, dan dengar, itulah yang ditulis. Tak peduli panjang atau pendek reportase itu, yang penting ditulis. Bahkan kadang, saking ingin gampang, semua huruf dibiarkan kecil atau malah kapital. Soal pengaturan paragraf juga urusan yang nomor sekian.
Namun, dengan melihat hasil dalam buku ini, editor telah bekerja secara baik. Kesalahan elementer soal bahasa yang barangkali terserak dalam tulisan asli, berhasil dihilangkan. Minimalkan, ditekan. Sehingga, naskah ini kemudian hadir dalam senarai yang enak dibaca.
Musuh terbesar penulis ketika menulis adalah kesalahan ketik. Sungguh tidak enak, sebuah naskah yang kontennya bagus, direcoki dengan kesalahan ketik di mana-mana. Inilah fungsi editor yang memperbaiki naskah sehingga bisa tampil paripurna. Setidaknya mendekati sempurna. Di buku ini, di beberapa titik, ditemukan salah ketik. Untungnya tak mendominasi. Kejelian editor bisa dipuji dalam hal ini. Walau begitu, kesalahan ketik di buku ini bak duri kecil. Tak terlalu menggangu, tapi tak bikin nyaman saat dibaca. Ke depan, proses penyuntingan kudu lebih jeli. Peran editor bisa dibantu penyelaras bahasa agar naskah makin sempurna.
*
Kabar terakhir soal Jokowi tentu saja mandat yang ia terima menjadi capres oleh Ketua Umum PDIP Megawati. Ini barangkali menjadi kulminasi yang lumayan untuk popularitas mantan Wali Kota Solo ini. Diprediksi, suara PDIP pada Pemilu tahun ini bakal melejit juga. Bisa-bisa, berada di peringkat pertama klasemen perolehan suara. Simpatisan partai lain barangkali bisa beralih memilih PDIP lantaran ada unsur Jokowi-nya.
Dalam ranah Kompasiana, kabar ini juga menarik untuk disigi. Tulisan soal Jokowi yang berkelindan dengan Pilpres mulai banyak diunggah. Buat Kompasiana, ini juga potensi untuk digarap secara serius. Sebab, pangsa pasar untuk buku soal Jokowi cukup besar. Ceruknya cukup menggiurkan. Maknanya ialah, ada kans untuk Kompasianer dan Kompasiana kembali membukukan soal Jokowi ini dalam kerangka Pilpres. Judul buku yang perdana ini, Jokowi Bukan untuk Presiden, ternyata tak sama dan sebangun dengan realitas. Keinginan sebagian kita yang ingin Jokowi bertahan sebagai Gubernur DKI ternyata menemui tembok besar. Kans Jokowi untuk menjadi presiden makin besar. Megawati memang bisa saja memveto keputusannya usai pemilu dan melihat suara partainya besar. Boleh jadi ia maju lagi sebagai capres. Hanya saja, kemungkinan itu kecil. Ketimbang nafsu maju diri sendiri, nama Jokowi yang sudah diserahkan mandat, sudah menjadi langkah yang tepat.
Buat Kompasiana dan Kompasianer, fenomena Jokowi tetap saja menarik. Jelas ada pro dan kontra. Namun, sebagaimana diulas dalam resensi di atas, beberapa masukan semestinya dijadikan pedoman. Sebagai warga pewarta, kita juga mesti kritis dengan Jokowi. Ia memang sukses dan masih sederhana sampai dengan sekarang. Ia juga masih konsisten dengan gayanya yang hobi blusukan dan tak suka protokoler. Namun, Jokowi adalah simbol kekuasaan. Dan seperti ujaran Lord Acton bahwa kekuasan itu cenderung menyeleweng (corrupt), jurnalis profesional dan warga pewarta semestinya tetap skeptis dan kritis. Kalau itu yang dijaga, boleh jadi, buku berikutnya soal Jokowi akan lebih mendalam, kaya perspektif, kritis, enak dibaca, minim kesalahan, dan mencatat rekor penjualan terbaik. Semoga.
Data Buku
Judul: Jokowi Bukan untuk Presiden. Kata Warga tentang DKI-1
Penulis: Kompasianer
Editor: Nurulloh
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: Pertama, Oktober 2013
ISBN: 978-602-02-1948-6
Tebal: 320 halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H