Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ojong, Hidup Sederhana, Berpikir Mulia

25 Mei 2011   07:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:15 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_110280" align="alignleft" width="210" caption="Buku Tentang P.K Ojong"][/caption]

Media cetak apa yang sampai saat ini masih yang terbesar, baik dari sisi oplah, mutu jurnalisme, kepercayaan pembaca, kepercayaan pemasang iklan, dan piawai merebut pembaca baru? Jawabannya cuma satu: Kompas. Itu mesti diakui.

Beberapa penghargaan di tingkat Asia soal perwajahan dan fotografi koran ini juga acap ditahbiskan.

Satu lagi, soal kesejahteraan, awak koran yang terbit pertama kali 28 Juni 1965 boleh diadu dengan media cetak lainnya.

Kompas didirikan oleh dua serangkai: PK Ojong dan Jacob Oetama. Kini cuma Jacob seorang yang masih hidup, sedangkan Ojong sudah wafat pada 31 Mei 1980.

*

Semasa hidup, perilaku Ojong patut diteladani. Ia adalah sosok bos media yang sangat peduli dengan karyawannya. Ketika awal Kompas berdiri, ia memberikan perhatian yang besar kepada korannya itu. Mutu jurnalisme, sikap antisuap sangat ditekankan. Tak heran, dalam waktu singkat Kompas mampu menjadi harian tepercaya dan terbesar, sampai sekarang. Model kerja Ojong luar biasa. Ia baru pulang saat semua karyawannya sudah pulang. Perhatian kepada karyawan juga menjadi sebongkah kenangan yang manis. Ia tidak memiliki rumah pribadi yang layak sebelum semua karyawannya dibikinkan rumah, termasuk sopir pribadi dan kantornya. Prinsip tumbuh bersama (growth together) adalah sikap yang dikembangkan Ojong. Tidak heran kalau banyak karyawannya menjadi loyal kepada pimpinan dan medianya.

Saat ada karyawannya yang mau keluar, Ojong "melarangnya". Ia memberikan pengertian bahwa karyawan itu sudah membangun karier di Kompas dan tren koran sangat positif. Dengan pendekatan kebapakan--bukan antara bos dan atasan--si karyawan akhirnya tetap bertahan dan menjadi unsur pimpinan beberapa tahun kemudian. Orang itu ialah J Adisubrata. Di Kompas dan Intisari, gaji Adisubrata memang layak, tapi ia belum punya rumah. Ia lalu diterima bekerja di Caltex, dengan tawaran gaji dua kali lipat dan diberi fasilitas rumah. Ojong memintanya bertahan karena akan diprioritaskan untuk memimpin Intisari.

Begini kata Ojong: "Dibandingkan Caltex, kita kurang. Tapi Intisari kan hasil usaha bersama. Kalau Intisari maju, kita maju sama-sama. Hubungan kita bukan seperti majikan dan karyawan, tapi sebagai rekan. Percayalah, suatu ketika kita akan maju. Soal rumah, mengontrak saja dulu."

Adi lalu memutuskan bertahan dan, "Saya tidak menyesal mengambil keputusan itu." Adi akhirnya menjadii General Manager Penerbitan Gramedia.

Perhatian Ojong terhadap pekerjanya sampai pada poin yang mungkin dianggap remeh tetapi "mahapenting". Ojong mengalokasikan uang perusahaan untuk membelikan semua karyawan jas hujan. Itu dilakukan agar karyawan tak punya alibi terlambat lantaran hujan.

Ojong juga mengalokasikan uang telur, uang kacang hijau, dan uang susu buat karyawan di percetakan agar kondisi tubuh pekerjanya terjaga.

Kalau ada karyawan yang belum sarapan, Ojong juga acap memberikannya makanan dan memberikan nasihat bahwa sarapan pagi itu penting. Ojong juga acap membawa bontot berupa roti untuk makan siangnya.

Ojong bukan orang yang suka bermewah-mewah, bahkan ia mengganti mobilnya dengan yang baru saat kondisi perusahaan sudah memungkinkan. Prinsip sederhana Ojong memang luar biasa.

"Waktu kecil, saya dan saudara-saudara saya harus menghabiskan nasi sampai butir terakhir," cerita Ojong.

Soal membangun korporasi, Ojong juga patut dicontoh. Ia membangun korporasinya dengan rencana yang matang. Sikapnya yang ngemong dan tegas serta disiplin menjadikan Kompas menjadi perusahaan media yang terbesar.

Prinsip Ojong salah satunya soal perayaan ulang tahun perusahaan. Bagi Ojong, kantor tidak perlu saban tahun mengadakan ulang tahun karena akan menghabiskan dana yang besar. "Lima tahun sekali cukup dan dilakukan sederhana," kata Ojong.

Intuisi bisnisnya yang tajam juga membuat bangunan Kompas bertambah setiap waktu. Dari mulai menyewa kantor hingga punya kantor sendiri, perusahaan kertas mandiri, membuat Radio Sonora, membikin majalah Intisari dan Hai, sampai toko buku Gramedia. Ojong melakukannya setahap demi setahap dan fokus pada bisnis.

Ia menafikan sama sekali dunia politik praktis. Jadi, kalau sekarang Kompas besar, sangat wajar.

Sekarang, banyak bos media yang syahwat politiknya tinggi. Dari mulai berniat maju menjadi calon presiden, aktif di partai, atau membuat ormas yang bakal dijadikan kendaraan untuk tujuan politik.

Ojong tidak melakukan semua itu sehingga bisnisnya menjadi sehat. Mungkin dalam bayangan dia, ketimbang bikin ormas atau partai, kebih baik duitnya dikucurkan untuk pengembangan korporasi dan meningkatkan gaji karyawan. Bagi Ojong, kerja itu memuliakan manusia. Amboi!

*

Ojong juga punya jiwa sosial yang tinggi. Anak-anak muda yang berotak encer dan tak berlagak menjadi perhatian Ojong. Anak muda seperti Soe Hok Jin (Arief Budiman), Soe Hok Gie, Goenawan Mohammad, dan Machfudi Mangkudilaga diperhatikan secara baik oleh Ojong. Kata Ojong, "Alangkah senangnya melihat anak-anak muda tumbuh dan berkembang."

Saat banyak orang pintar, cendekiawan, dan politikus lurus dipenjara oleh pemerintah, antara lain bekas Perdana Menteri Mohammad Roem dari Masyumi, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, Anak Agung Gde Agung, dan Soebadio Sasrosatomo, Ojong mengiriminya buku-buku. Waktu itu Ojong masih di Star Weekly.

Ojong tahu, buat orang-orang semacam Roem, buku dan bacaan lain adalah yang paling penting agar otak mereka tidak beku sekadar memikirkan bilakah keluar dari penjara.

Soal buku, Ojong juga demikian. Perhatiannya besar terhadap pemenuhan kadar intelektualitas seseorang. Maka itu, ia pun kutu buku. Bahkan, saat Ojong meninggal, sebuah buku pun sedang ia baca. Kata Mohammad Roem, "Itulah cara orang baik meninggal."

*

Tidak banyak buku yang saya baca habis dalam satu kesempatan. Biasanya beberapa kali baca baru khatam. Cuma sedikit, teramat bahkan, buku yang ludes saya santap dalam satu waktu. Dari yang sedikit itu, buku yang ditulis Helen Ishwara dan diterbitkan Penerbit Kompas: PK Ojong, Berpikir Sederhana, Bertindak Mulia, adalah salah satunya. Buku lain yang tamat dalam satu kesempatan ialah Indonesia Raya Dibredel yang ditulis Ignatius Haryanto.

Buku PK Ojong ini memuat sejarah hidup salah seorang pendiri Kompas, Petrus Kanisius Ojong.

Ia seorang Katolik yang taat. Moyangnya berasal dari Pulau Formosa di Filipina. Ojong lahir di tanah Bukittingi. Logat Padangnya sangat kental. Meski bisa berbahasa Belanda, logat Padangnnya tak bisa hilang, dan ini sering menjadi ledekan teman-temannya. Termasuk hal ini pula yang membuatnya sempat gagal dalam ujian menjadi guru bahasa Belanda di Jakarta, usai menamatkan pendidikan di Kota Betawi ini. Ojong lulus sebagai sarjana hukum.

Kecintaannya pada jurnalistik membuatnya bekerja sebagai wartawan pemula di Keng Po/Star Weekly saat ia masih mahasiswa. Bos di Star Weekly, Khoe Soen Sioe, rupanya tertarik pada kecerdasan anak muda itu. Khoe mengatakan, Ojong punya kemauan keras, disiplin, teliti, luas pengetahuannya, dan punya semangat untuk maju.

*

Bagi saya, buku tentang Ojong ini sangat baik. Ia bisa menjadi rujukan andai kita menjadi seorang pemimpin. Barangkali saya terlalu banyak menulis soal konten buku dibanding pengaruh buku itu pada diri pribadi. Namun, membicarakan Ojong memang tak pernah habis-habisnya.

Beberapa teman yang juga membaca buku itu, punya pandangan yang sama. Kadang, saat seorang teman mengembalikan buku itu pada saya, dia lama termenung.

"Kenapa?" tanya saja. Dia jawab, "Bukunya bagus. Dan sulit mencari orang seperti Ojong zaman sekarang. Medianya sehat. Tumbuh dengan besar. Karyawannya mendekati kesejahteraan dalam stabilitas yang mantap dan medianya jauh dari hiruk pikuk politik partisan dan praktis."

Lalu, adakah ibrah yang bisa dipraktikkan sesuai dengan spirit buku Ojong? Ada.

Saya pernah bekerja di sebuah tabloid mingguan. Posisi saya redaktur yang membawahkan empat reporter plus satu fotografer. Rata-rata artikel di media kami feature.

Saya minat karena yang menawarkan langsung pemimpin redaksi. Dan gajinya juga layak, berlebih bahkan. Setelah mulai bekerja, kami berdiskusi soal banyak hal, terutama sikap kepada rekan kerja. Alhamdulillah, dengan mengambil model cara kerja Ojong, kami berdua bisa menata tabloid itu dengan baik. Cara memperlakukan reporter pun baik. Suasananya lebih pada hubungan rekan. Kalau ada yang salah, pendekatannya dengan nasihat dan bertutur yang baik. Cara kami "melindungi" reporter pun secara lisan diutarakan mereka. Mereka merasa perusahaan--meski skala kecil--memberikan perhatian yang besar. Media itu memang cuma bertahan tak sampai satu tahun karena pemilik modal memilih berhenti. Tapi, ia sedang mempersiapkan media baru: sebuah harian. Semuanya sedang disusun dan direncanakan sebaik mungkin.

Saya sekarang bekerja sebagai redaktur bahasa sebuah harian. Staf saya tiga orang. Memang posisi saya tak seperti Ojong yang pemilik media massa. Tapi sikap hematnya, saya contoh. Termasuk sikap bersyukur. Sikap saya soal gaji, yang pertama bersyukur. Bersyukur bahwa di zaman yang susah mencari pekerjaan, buat saya tidak demikian. Sejak kuliah saya sudah bekerja. Dengan bekerja, saya bisa menghidupi keluarga.

Soal kekurangan, itu poin lain, tapi jangan pernah menjadi kufur atau tak bersyukur. Dalam pembicaraan ringan saat rehat kerja, beberapa teman mengeluh soal gajinya kurang, soal korporasi yang kurang peduli dengan karyawan, soal kesejahteraan, dan lain sebagainya. Itu, itu. Terlalu banyak yang dikeluhkan.

Saya sesungguhnya juga merasakan hal yang sama. Tapi, apakah menyelesaikan masalah andai setiap hari hal yang sama dikeluhkan? Tentu tidak, bukan? Yang utama kita tetap bersyukur sembari memberikan masukan kepada korporasi. Atau ya kita mencari penghasilan lain di luar jam kerja.

Saya misalnya acap menulis artikel di beberapa media lain di Jakarta. Acap juga menjadi instruktur pelatihan menulis, juga sering mengedit buku. Mengeluh tidak akan bisa menyelesaikan masalah.

Karena punya tiga staf, saya pun mencoba mengadopsi apa yang pernah Ojong lakukan semasa hidupnya. Jika jam kerja mereka sudah tepat delapan jam, segera saya minta mereka pulang, biarlah redakturnya menunggu sampai semua halaman beres editingnya.

Kadang andai mendapat seseran, saya berbagi dengan mereka. Saat masa kontrak mereka habis, saya segera menghubungi bagian personalia agar mereka diangkat menjadi karyawan. Tak serupa dengan Ojong memang, tapi orang Bukittinggi itu benar-benar menginspirasi saya.

Bahkan, karena ingin merasakan serunya bekerja sebagai wartawan, saya sempat menjadi kontributor kantor berita radio dan sebuah majalah di Jakarta selama beberapa tahun. Saya ingin merasakan suasana di lapangan, sebagaimana yang pernah dirasakan Ojong di Star Weekly.

Kebetulan, karya Ojong di Star Weekly soal Perang Dunia Kedua, saya gemari. Tentu tidak dalam bentuk majalah, tetapi dalam bentuk buku empat jilid: Perang Eropa I, Perang Eropa II, Perang Eropa III, dan Perang Pasifik. Melihat foto-foto Ojong saat menjadi wartawan dan di ruang redaksi surat kabar, juga menginspirasi saya. Puas rasanya menjalani masa di mana Ojong juga pernah mengalaminya.

Sejatinya, Ojong adalah seorang otodidak. Ia banyak menulis dengan memperhatikan objek tulisan. Ia belajar secara sendiri. Ia dalami setiap objek tulisan yang ia baca.

Misalnya, ia memperhatikan editorial di Keng Po. Ia perhatikan setiap kalimat yang ditata oleh penulisnya. Termasuk hubungan antar-alinea ia baca dengan baik. Kemudian ia mencoba menulis serupa dan lambat laun tulisannya ciamik.

Buku Perang Eropa tiga jilid plus Perang Pasifik adalah karya adiluhung Ojong. Itulah salah satu khazanah perbukuan milik anak negeri yang bercerita soal Perang Dunia II. Belajar secara otodidak ternyata bisa sama suksesnya dengan mereka yang belajar formal.

Ojong seolah ingin menyampaikan, menjadi jurnalis atau penulis tidak mesti dihasilkan oleh institusi akademis di bidang itu, semacam komunikasi dan publisistik. Pelajaran soal menulis lebih pada praktik, tak sebatas teori. Teori memang penting, tapi tanpa berlatih teori cuma rangkaian narasi yang tidak punya pengaruh.

*

Saya seringkali membaca buku Helen Ishwara soal Ojong ini. Beberapa kalimatnya saya warnai dengan stabilo. Bagian penting lain saya beri catatan tambahan.

Soal hubungan kerja antara bos dan karyawan, sikap pekerja media, hubungan sosialnya, jiwa kerja kerasnya, sikap hematnya, fokus pada bisninya.

Semua memang terlalu banyak untuk dipelajari. Rasanya juga tak mungkin menjadi seperti Ojong. Akan tetapi, andai satu item dari perihidup Ojong kita tiru, pastilah bisa. Mungkin itu kegigihannya, kerja kerasnya, kehematannya, kecerdasannya, tulisannya, dan lain sebagainya.

Buku Ojong bak oasis di tengah industri media yang acap abai pada moralitas. Ia melarang benar seorang wartawan menerima pemberian dari narasumber meski sumber berita itu tak punya kasus apa-apa.

Sikap pluralisme Ojong juga mengental dalam setiap larik artikel di Kompas. Agama buat Ojong adalah pilihan pribadi dan itu mesti dihormati. Maka tak heran, jika setiap 1 Syawal, Ojong dan keluarganya selalu datang ke kediaman Mohammad Roem untuk ber-Idul Fitri.

*

Helen Ishwara menulis, Jumat pagi, 30 Mei 1980, Ojong diantar sopir menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Ia hendak ke naik Garuda jam delapan lebih tiga puluh menit. Sayang, pesawat delay sampai pukul 11.45. Ojong kesal. Ia tunda keberangkatan. Tapi kopernya sudah kadung di bagasi dan tak bisa dikeluarkan.

Ojong lalu pulang. Malamnya ia membakar dupa. "Baunya seperti di rumah orang kematian," ujar seorang putrinya.

Perut Ojong terasa kembung. Ia minta digosok dengan jahe. Paginya, Sabtu, 31 Mei, Ojong makan sup kemudian berjalan-jalan di halaman belakang rumahnya. Ia menelepon sekretarisnya di Jalan Gajah Mada 104, Teng Teck Hok. Kata Ojong, "Tolong kirim kawat ke BT Liem di Ontario Kanada. Saya batal berkunjung, baru bisa datang Oktober." Liem adalah sejawat Ojong semasa di HCK.

Sejam kemudian, sopirnya, Prayitno, datang membawa formulir yang mesti diteken Ojong soal kartu penduduk. Sejak kemudian, Prayitno datang. Pembantu rumah tangga Ojong menyambut dengan terengah-engah. "Tuan sudah enggak ada," katanya.

Ojong tidur telentang, padahal ia acap terlelap dalam posisi miring. Ia bercelana pendek putih. Di meja di sebelah ranjang tergeletak buku The Birth oh the Messiah karangan Raymond Brown.

Tadinya, buku itu terbuka dengan kacamata baca di atasnya. Tetapi, Melani, anak Ojong, menutup buku itu saat mendapati sang ayah terdiam lama. Entah halaman berapa yang dibacanya sebelum ia pergi.

sumber gambar ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun