Ukuran sebuah media menempatkan bahasa pada perkara akbar ada pada dua tanda. Pertama, apakah media itu punya divisi atau bagian khusus yang menangani kebahasaan atau tidak. Artinya, media punya dua sampai tiga redaktur bahasa ditambah empat sampai lima korektor bahasa atau copy editor. Dengan tenaga kebahasaan lengkap semacam ini paling tidak ikhtiar media agar edukasi bahasa kepada pembacanya terjaga.
Tanda yang kedua ialah apakah media itu memiliki kolom bahasa atau tidak. Soal ini yang akan kita dedahkan bersama. Soal yang redaktur bahasa, sudah saya paparkan dalam kesempatan sebelumnya dengan judul 5 Pahala Redaktur Bahasa Media Massa.
Tentu yang pertama kali disorongkan ialah apa sih guna sebuah kolom bahasa? Begini penjelasannya. Media itu hadir sebagai medium edukasi buat pembaca. Selain memberikan informasi soal beragam konten, yang penting diperhatikan ialah edukasi kebahasaan. Selain dengan pakem bahasa yang ditaja kru bahasa-tecermin dalam artikel yang turun--juga dibantu dengan kolom bahasa. Rubrik ini memungkinkan para guru bahasa Indonesia, munsyi, pegawai Kantor Bahasa menyumbangkan pemikiran soal edukasi kebahasaan. Selain yang banyak beredar di masyarakat, kritik soal bahasa media yang bersangkutan juga bisa dilakukan.
Di koran tempat saya bekerja, alhamdulillah ada kolom Laras Bahasa. Hadir setiap hari Rabu. Yang menulisnya bebas. Siapa saja. Ada kalanya mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, kadang pegawai Kantor Bahasa Provinsi Lampung, sesekali penulis lepas, dan tak jarang pemerhati bahasa yang sangat awas. Ada pula masyarakat biasa yang mengeluh soal tata bahasa koran yang dianggap terlalu baku dan banyak diksi yang tidak dimengerti.
Soal masih ada kekurangan soal kolom bahasa, kemanfaatan rubrik itu tentu jauh lebih utama. Banyak masyarakat yang senang membacanya karena membuka cakrawala baru kebahasaan.
Kolom bahasa jelas memberikan basis pengetahuan kepada pembaca soal bahasa. Bahasa yang bergerak dengan bebas di masyarakat dan lentur dalam pemakaian menjadi menarik untuk dibahas. Ini juga memudahkan para orangtua yang kadang ditanya anak soal kosakata yang makin berkembang.
Ada satu kata yang diperkenalkan media massa dalam ranah politik di pemilihan umum kepala daerah. Diksi itu ialah petahana. Ini diksi pengganti untuk kepala daerah yang menjabat dan mengikuti perhelatan pemilu kepala daerah. Bahasa asingnya incumbent. Kalau dieja secara bebas ke bahasa Indonesia: inkamben. Perlahan-lahan ada banyak diksi asing yang diindonesiakan sesuai dengan pengejaan. Ada media yang menulis “seken” untuk second, “kibor” untuk keyboard, dan beberapa yang sejenis. Untungnya dalam konteks incumbent, petahana adalah pilihan. Dan ini menghormati basis bahasa Indonesia kita. Ketimbang menjadikan incumbent ke inkamben, memang lebih bermartabat jika ia diubah menjadi petahana. Lebih mengindonesia dan punya kata dasar dalam pakem bahasa Indonesia.
Masyarakat memahami ini juga dibantu dengan kolom bahasa. Koran memang punya otoritas memperkenalkan petahana kepada pembaca. Pembaca juga mahfum bahwa kata itu adalah padanan untuk incumbent. Tapi kalau belum ada penjelasan khusus secara kebahasaan, mungkin belum jelas benar. Tapi ketika ihwal itu didedahkan dalam kolom bahasa, hakulyakin penjelasannya komprehensif. Dan masyarakat pun manggut-manggut saat membaca mengapa petahana itu yang dipakai sebagai padanan incumbent.
Demikian juga dengan kosakata lain. Sesuatu yang barangkali asing dibaca masyarakat akan dipahami dengan baik saat dipublikasikan dalam kolom Bahasa. Tegasnya, ini rubrik penting jika media berkehendak mengedukasi pembacanya. Wabilkhusus dalam ranah kebahasaan. Sayang, belum semua media memiliki kolom ini. Tidak pula terbatas dengan koran dan majalah. Tabloid yang kontennya lebih khusus pun perlu mempersiapkan kolom Bahasa. Misalnya di tabloid olahraga.
Sekarang banyak istilah asing terutama di lingkup sepak bola yang dipahami dengan baik oleh pembaca. Diksi semacam giornata, el pichichi, top scorer, allenatore, scudetto, dan sebagainya. Ketimbang suatu waktu "dipaksakan" diindonesiakan sesuai dengan lisan masyarakat Indonesia, lebih baik dibikin padanan yang pas. Atau tetap menggunakan kosakata asli tapi dicetak miring sebagai tanda kata asing.
Nah, jika ada kolom Bahasa, diksi asing semacam itu kan bisa dibahas. Lebih asyik dan pembaca akan menemukan kebaruan dalam ranah bahasa. Ide ini juga mungkin bisa diaplikasikan untuk media laman daring. Terlebih media internet ini sekarang paling banyak pengaksesnya. Sebaran kata baru, kata tak baku, juga kata asing pasti banyak ditemui. Dan saat media laman daring membuat kolom Bahasa, itu juga bentuk pendidikan kepada pembaca yang rajin meramban. Ketika semua media menyediakan kolom itu dan penggawa kebahasaan tercukupi, barulah media benar-benar memosisikan sebagai sarana edukasi. Informasi dapat, pendidikan kebahasaan pun diperoleh. Dan masyarakat pembaca pun semakin cerdas. Kita mendorong semua media memiliki rubrik khusus soal bahasa. Semoga saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H