Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Memecah Kebuntuan Menulis dengan Fast Writing

2 Maret 2012   12:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:37 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sungguh enak kalau kita punya tradisi cepat menulis dengan menulis cepat. Hmm, ini bukan permainan diksi atau sekadar petatah-petitih. Tapi, ini memang bakal membantu kita menjadi penulis yang baik. Terlepas dari produk tulisan kita itu dijajakan dimana. Mungkin untuk halaman Opini surat kabar atau mejeng di blog pribadi maupun keroyokan.

Kita jelas terbantu kalau kita memang terbiasa cepat menulis. Maksudnya, ketika ide sudah menggumpal, kita selalu cepat merealisasikan gagasan itu dalam wujud tulisan. Sedikit saja ide muncul, langsung menulis. Sedikit saja kepala kita dipantik dengan ide, kita juga segera menulis. Artinya, kita memang sudah terlatih untuk menyegerakan menulis.

Namun, bagaimana jika cepatnya merealisasikan gagasan dalam bentuk tulisan ini tak dibarengi dengan kemampuan menulis cepat. Menulis dengan tenaga yang besar dan fokus. Menulis dengan hanya satu jam mampu menghasilkan satu artikel yang baik. Cepat itu memang relatif. Kalau kendaraan, kadang melihat spesifikasinya. Ada kendaraan yang melaju 80 km per jam saja sudah bagus. Tapi ada yang mampu digeber sampai 120 km per jam. Dalam menulis juga begitu. Kita ambil rerata saja. Mungkin dalam satu jam mampu menghasilkan sebuah artikel seukuran satu space artikel di koran.

Soal cepat menulis begitu ide itu datang, barangkali semua sepakat. Sebab, jika ide itu dibiarkan teronggok dalam waktu yang lama, pasti basi. Apalagi jika gagasan itu berkenaan dengan sesuatu yang aktual, baru, dan menarik. Maka itu, begitu ada ide, tak baik dibiarkan lama-lama. Ia butuh diperkaya sehingga bisa menjadi bahan baku untuk produk tulisan.

Akan tetapi, mungkin tak semua sepakat kalau menulis itu mesti cepat. Dalam ranah jurnalisme, termasuk kita para bloger dengan predikat jurnalis warga, menulis cepat juga urgen. Mengapa? Sebab, kita bersicepat dengan waktu. Dan jika konten tulisan kita mengutamakan aktualitas, ia mesti cepat. Siapa cepat dia dapat, begitu ujaran orang tua-tua dulu.

Memang kalau sedang tak ada "gangguan", kita bisa menghasilkan tulisan dengan baik dan dalam waktu relatif cepat. Akan tetapi, jika kita di rumah ada banyak aktivitas, satu artikel bisa lama rampungnya. Tegasnya, menulis itu dibutuhkan kecepatan, keakuratan, keterfokusan, dan keterarahan. Supaya kita bisa melakukan fast writing, ada beberapa yang bisa dilakukan.

Pertama, jangan berlama-lama dengan lead.
Kalau ide sudah ada dan diperkaya, segera saja menulis. Ketikkan apa saja yang paling menarik dari artikel itu. Lead yang baik adalah tulisan yang mampu merangsang kita melanjutkan menulis. Kalaupun nanti dirasa lead-nya tidak oke, kan bisa diganti. Yang penting, menulis saja. Kalau perasaan hati sedang enak, teruskan sampai batas maksimal kita mampu menulis. Bisa dapat dua atau tiga artikel dalam sehari, luar biasa. Dapat satu juga tak apa. Menulis cepat ini juga wujud melawan kemalasan. Kalau ditunda-tunda, tak ada tulisan rampung. Kalau kita menulis cepat, meski "jelek", tetap ada karya yang dihasilkan. Tulis saja apa yang ada di kepala. Apa saja. Ekstremnya, mau menulis dengan awalan "pada suatu hari", "sebagaimana kita tahu", dan sebagainya. Tidak mengapa. Toh nanti ada proses editing. Jadi, ada kans lead-nya juga diganti.

Kedua, kalau buntu tetaplah menulis.
Ada di antara kita yang tiba-tiba mentok. Nah, saat buntu, kita pun berhenti. Jemari berhenti mengetik. Mata pun mulai perih dan mengantuk. Konsentrasi lantas buyar. Kerangka karangan yang semula digadang-gadang malah hilang tak keruan. Akhirnya prosesi menulis kita berhenti sama sekali. Merebahkan badan di tempat tidur dan tidak terasa mata pun terlelap. Hilang sudah satu kesempatan untuk menulis.

Ini jelas manusiawi. Apalagi kalau kita memang penat seharian. Cuma kalau konten tulisan itu sangat kan sayang kalau sampai tidak kelar. Nah, dalam Quantum Writing yang dieditori Hernowo dan diterbitkan MLC, ada bahasan khusus soal fast writing ini. Kalau kita mentok, jangan tinggalkan komputer. Jaga agar jemari berada di tombol huruf. Tulis saja apa pun yang kita rasakan. Apa saja. Bebas. Tujuannya, kita menjaga stamina menulis. Misalnya, kita mentok, mau meneruskan ke paragraf berikutnya bingung, ya silakan ditulis saja: "Saya bingung, kok tulisan ini enggak bagus ya. Mau nulis soal kasus penggelapan pajak kok ngelantur ke mana-mana. Mestinya kan saya fokus ya. Apa ya? Oh soal Gayus juga menarik ya. Ah, ini aja deh ditulis untuk paragraf berikutnya. Gayus, gayus, PNS kok korupsi. Kalian kan tiap tahun naik gaji. Orang Kementerian Keuangan kan remunerasi terus. Nah, dapat nih. Mulai serius ah. Kasus Dhana Widyatmika sesungguhnya contoh kecil betapa korupsi itu tak berkait dengan gaji. Buktinya, dalam ranah Kementerian Keuangan ada sistem remunerasi. Gaji yang dianggarkan lebih baik ketimbang kementerian lain. Jadi, tak masuk akal kalau kurang gaji membuat orang menjadi koruptor."

Bagaimana, ada kan manfaatnya menjaga kontinuitas menulis itu meski buntu? Yang penting hubungan jemari dengan papan ketik jangan putus. Terus saja menulis. Di luar konteks juga tidak mengapa. Nanti yang tidak penting tinggal dibuang. Kalau di antara itu ada yang manfaat, simpan saja untuk tulisan yang baru. Kita dapat dua manfaat. Tulisan bisa rampung, ide baru bisa ditampung.
*
Fast writing memungkinkan kita untuk menjadi penulis yang baik. Terbiasa menulis dengan cepat akan melatih kita menelurkan gagasan dengan baik. Dengan dunia yang semakin cepat bergerak, menulis cepat bisa mendatangkan banyak manfaat. Redaksi media massa, koran misalnya, acap membutuhkan artikel bagus, aktual, dan lekas dikirim. Artikel yang bagus, sangat bagus bahkan, bisa jadi tak dimuat karena agak lamban ditulisnya. Sehingga setelah deadline di koran masuk, tulisan itu baru diterima redaksi. Padahal, yang dimuat adalah tulisan yang masih kalah bagus. Letak keunggulannya ada pada kecepatan si penulis dalam menghasilkan tulisan. Hmm, benar juga kata orang: siapa cepat, dia dapat. Wallahualam bissawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun