Plot lemah dan cenderung membosankan. Itu yang banyak dilontarkan banyak orang usai menonton film "Negeri 5 Menara". Ketiadaan karakter yang kuat dan minim konflik, membuat film itu masuk kategori biasa saja. Cerita lucu memang banyak, apalagi soal keseharian Alif dkk di Pondok Madani. Beberapa kali penonton terpingkal, setidaknya tertawa dikulum atau sekurangnya tersenyum. Meski begitu, tak sedikit juga yang tak menyimak sama sekali. Teman jurnalis, Padli Ramdan, malah tertidur beberapa waktu.
Sebetulnya, tarikan utama film ini ialah kalimat sakti "man jadda wajada". Artinya, siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil. Akan tetapi, sutradara tak piawai menunjukkan bagaiaman perjuangan Alif, Atang, Said, Dulmajid, Raja, dan Baso di Pondok Madani. Bagaimana mereka mulai masuk dan meniadakan bahasa Indonesia dalam ujaran keseharian. Juga kurang tereksplorasi suasana belajar di Pondok Madani yang sejatinya membuat setiap siswa kecanduan belajar. Juga teknik agar bisa berbahasa Arab dan Inggris tanpa sama sekali menggunakan terjemah dalam bahasa Indonesia. Justru di situlah pesan yang bisa diangkat. Namun, di film, kita tak bisa menyimaknya dengan utuh.
Saya menyelesaikan membaca novel itu sampai rampung usai film diputar di Twenty One. Makanya agak lama memproduksi tulisan ini. Khawatirnya, menonton tanpa membaca utuh karya sastra A. Fuadi ini membuat saya menjadi pemirsa yang tak kritis. Benar bahwa film ini punya pesan yang kuat. Benar bahwa ini produk asli Indonesia. Benar juga bahwa ini ikhtiar menjadikan sinema Indonesia menjadi tuan rumah di ranah sendiri. Juga tepat disebut film ini ada pesan dakwah, pesan moral, pesan integritas, dan nilai kesetiakawanan. Tapi itu akan terwujud jika film mampu mengejawantahkan semua narasi di novel ke dalam teks di setiap scene film. Dan untuk itu, saya, dan barangkali banyak pemirsa lainnya, belum menemukan.
Novelnya sendiri menurut saya bagus. Detailnya kerasa banget. Tokohnya hidup semua. Setiap babakan yang ditaja penulisnya terasa benar keasliannya. Keaslian sebuah sekolah dengan semua dinamikanya. Akan tetapi, di film, memang tak mewujud dalam sebuah bentuk tontonan paripurna.
Saya tak soal kalau tokoh Baso malah yang lebih muncul. Mendominasi. Mendapat banyak tempat. Saya pun tak soal karakter Alif seolah kurang mendominasi. Tapi, asal di film setiap tokoh dielaborasi, pasti menarik. Ada "sesuatu" begitu.
Konflik bukannya tak ada. Sewaktu Alif memutuskan akan sekolah SMA dan tidak sekolah agama, itu fragmen yang baik. Meski ujungnya anak Minang itu mau juga sekolah agama di Pulau Jawa. Itu konflik yang bagus, tetapi sayang "cuma" itu.
Memang, film sebagusnya menjadi potret dari novel yang diadopsi. Akan tetapi, dengan ruang dan waktu yang terbatas, seorang sutradara, penulis skenario, dan pemain bisa memilih item mana yang mau dijual. Tak bisa mengetengahkan semua dengan datar. Juga naif mengharap A sampai Z Pondok Madani ditampilkan dalam film. Ya dipilih saja. Kalau pesannya ada di "man jadda wajada", sineas film ini bisa mengambil beberapa penggalan dalam novel kemudian dieksplorasi. Dielaborasi. Dikayakan. Diekspresikan. Dan, memunculkan secara kuat setiap karakter dalam tokoh di novel atau film. Untuk penokohan, barangkali film Laskar Pelangi sedikit lebih kuat. Padahal, kalau kita baca novelnya, kehidupan santri di sana cukup berat. Tugas mereka ialah belajar, belajar, dan belajar. Belajar menjadi candu setelah beberapa lama mereka mengikuti setiap denyut nadi di pondok itu. Dan itu, buat saya, amat menarik.
Tokoh di balik Pondok Madani yang punya peran sentral menurut saya Kiai Rais. Ibarat Dumbledore dalam film-film Harry Potter. Meski tak menjadi "pemain utama", karakter Dumbledore-nya hidup. Peran khas muncul. Tongkrongannya sebagai ahli sihir senior dan panutan anak didik, terasa sekali.
Pilihan kepada Ikang Fawzi untuk memerankan Kiai Rais menurut saya baik. Tapi kalau mau lebih baik, bisa diambil tokoh lain. Kalau Ahmad Syafii Maarif, bagaimana? Sosoknya lebih nge-syekh kan? Hehehe. Bukan apa-apa, peran tokoh agama, kalau dibesut orang yang tak tepat, citranya tak tergarap baik. Lain hal kalau tokoh lain. Apalagi ini bercerita soal pondok di mana pemimpin pondoknya punya peran sentral. Memang tak sering muncul, tetapi sekali datang kewibawaannya terasa banget. Saya malah tadinya terpikir sosol Ustaz Abubakar Ba'asyir sebagai pemeran Kiai Rais. Ada-ada saja.
*
Selain soal konten film yang "biasa saja", dari sisi waktu juga tak mendukung. Mengapa? Mungkin ini bukan salahnya pihak rumah produksi dan produser yang melemparnya ke pasar. Tetapi ada faktor lain. Pastinya, film lain. Ya, baru beberapa hari bertengger di tempat meletakkan poster film, Negeri 5 Menara sudah punya saingan. Kompetitornya berat lagi. Film laga pula. Dan "parahnya" bakal di-remake- oleh Hollywood. Ya, Anda benar. The Raid. Film "The Raid: Redemption". Serbuan Maut bahasa lainnya. Dan ini makin menenggelamkan kesohoran "Negeri 5 Menara". Beberapa teman di kantor malah tak nyambung saat saya wawancarai sedikit soal film "Negeri 5 Menara". Tapi mereka ngoceh luar biasa saat kami berdiskusi soal "The Raid". Sudahlah, sebagai tambahan saja, konten utama kita ada di "Negeri 5 Menara". Tapi sebagai karya anak bangsa, meski sarat kritik, tetap perlu diapresiasi. Paling tidak, kalau novel keduanya, Ranah 3 Warna, mau diangkat ke layar lebar, produser dan sutradaranya sudah ada bahan yang baik.
*
Pesan utama film ini, tegasnya, "man jadda wajada". Siapa yang sungguh-sungguh pasti berhasil. Setiap orang memang sudah ada takdirnya. Tapi kita tak tahu ujung umur kita ada di mana. Khusnul khatimah atau suul khatimah. Mati baik atau meninggal buruk. Dan kita hakulyakin mau yang pertama. Mau surga. Mau kenikmatan. Juga sukses di dunia. Tapi semuanya tidak mudah. Semua mesti dibarengi dengan ikhtiar. Usaha. Kerja keras. Juga doa. Keyakinan, itu kata kuncinya. Dan enam anak di Pondok Madani sudah mengajarkan itu kepada kita semua. Ya dari filmnya, juga dari novel sebelumnya. Kalau kita mau berusaha, kita pasti bisa. Satu semangat yang saya dapatkan dari karya A. Fuadi ini ialah: kita perlu berbuat di atas rerata kalau mau unggul dari orang lain. Prinsip Arabnya, yang disebut tokoh Said: saajtahidu fauqa mustawa al akhar (aku berjuang dengan usaha di atas rata-rata orang lain).
Kalau orang lain belajar enam jam sehari, kita harus minimal tujuh jam. Kalau pemain lain berlatih empat jam, kita menambah porsi satu jam. Kalau penulis lain menulis empat jam sehari, kita harus lima jam. Kalau mereka membaca satu buku dua hari, kita harus satu buku per hari. Pokoknya, di atas rata-rata.
Man jadda wajada, buat saya, sebuah ikhtiar merajut masa depan. Sebuah usaha "mengubah" takdir.
Mengubah garis tangan. Menentukan nasib. Dan paling tidak, contoh Alif yang berkelindan dengan A. Fuadi sebagai penulisnya, pas sekali. Yang dulu cuma angan-angan kuliah dan ke luar negeri, suatu waktu menjadi kenyataan. Dan semua tokoh dalam film itu berujung happy ending. Semuanya sukses. Sesuai dengan cita-cita dan impian mereka. Visi yang acap mereka lontarkan saban sore jelang magrib di bawah menara Pondok Madani. Menaranya Sahibul Menara: Alif, Said, Dulmajid, Atang, Raja, dan Baso. Wallahualam bissawab.