Bulan Mei memang bulannya demonstrasi. Setelah dimarakkan dengan Hari Buruh Sedunia (May Day), tanggal 3 Mei juga diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia.Â
Tanggal ini dijadikan hari bersejarah sesuai dengan Deklarasi Windhoek di Namibia, Afrika. Dua puluh satu tahun lalu sejumlah jurnalis Afrika bertemu di Ibu Kota Namibia, Windhoek.Â
Mereka mendeklarasikan Deklarasi Windhoek. Deklarasi ini menekankan pers yang bebas dan independen. Badan PBB untuk urusan kebudayaan, UNESCO, mengupayakan ke Majelis Umum PBB agar tanggal 3 Mei dijadikan Hari Kebebasan Pers Sedunia.Â
Pers Indonesia memang sudah lebih baik ketimbang masa Orde Baru. Jurnalis sekarang bebas menulis apa saja. Bahkan banyak yang terlalu bebas. Kebebasan pers Indonesia kemudian dimanfaatkan jurnalis abal-abal untuk melakukan tindakan tercela.Â
Yang paling banyak dilakukan ialah mengaku sebagai wartawan dan memeras. Yang baru terjadi seseorang yang mengaku wartawan Trans7 mencoba memeras kepala daerah dan pejabat tinggi. Kasusnya sudah masuk ke meja hijau.Â
Di daerah juga banyak terjadi kasus serupa ini. Di Lampung baru saja terjadi pemerasan oleh wartawan gadungan. Ia memegang kartu anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) meski pengurus membantahnya.Â
Karena banyaknya kejadian pemerasan inilah, masyarakat beranggapan pewarta itu pembawa petaka. Sekarang, saat dana bantuan operasional sekolah (BOS) cair, para kepala sekolah takut didatangi wartawan. Atau kalaupun tak bisa mengelak dari kejaran mereka, terpaksa duit bicara.Â
Di instansi pemerintah banyak reporter gadungan berkeliaran. Tak punya media, cuma bermodal kartu pers, mereka mencari pejabat dinas. Tujuannya apa lagi kalau bukan minta uang.Â
Kalau setiap gajian, di gedung DPRD banyak wartawan. Tentu abal-abal. Dan tujuannya pun jelas: minta jatah. Dan jumlah wartawan membeludak jika Lebaran menjelang. Mereka berharap mendapat THR dari pejabat dan anggota Dewan.Â
Pers yang bebas ternyata punya efek yang dahsyat. Yang dulu sedikit, kita makin banyak. Yang dulu masih "sopan" meminta, kini makin berani menekan. Pewarta jadi pembawa petaka.Â
Dalam masa media sosial marak seperti sekarang, jurnalis warga (bloger) syukurnya secara umum berperilaku baik. Memang ada yang memanfaatkan untuk memeras narasumber, tetapi mayoritas masih baik.Â