Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Menyerah, Ibrah Buku “Hidup yang Lebih Berarti” nan Berkah

20 Mei 2016   20:49 Diperbarui: 21 Mei 2016   08:27 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca helai demi helai buku “Hidup yang Lebih Berarti” terbitan Elex Media Komputindo ini sungguh mengasyikkan. Mengapa demikian? Sebab, semua yang didedahkan di sini adalah kisah nyata yang penuh inspirasi.

Setiap penulis menyajikannya dengan gurih dan tata tutur serta tata tulis yang apik. Dua puluh narablog Kompasiana cukup berhasil memikat perhatian pembaca. Hampir semua menyajikan kisah yang membuat pembaca mendapat inspirasi baru, mendapat tenaga baru, mendapat ilham yang baru.

Satu per satu kisah kemudian dirajut, dijahit menjadi satu kesatuan yang enak dibaca. Mungkin, beberapa alinea di atas yang penulis ketengahkan, menjadi sisi baik buku hasil reportase apik narablog Kompasiana atau yang lebih sering disapa Kompasianer.

Satu kesimpulan yang bisa didapat usai membaca buku ini adalah semangat pantang menyerah yang ditunjukkan oleh narasumber yang menjadi subjek utama cerita di buku “keroyokan” ini. Hampir semua kisah menyajikan perjuangan yang luar biasa untuk kemudian tegar dan sukses.

Cerdiknya pula, cerita yang mengawali preambule buku ini amat memikat untuk disimak hingga baris terakhir.

Siapa nyana, kuliner atau kudapan tradisional semacam getuk kemudian menjadi snack yang mengindonesia. Jika dibandingkan dengan penetrasi makanan asing semacam cake, donat, dan sebagainya,plus ayam goreng, getuk ternyata masih mempunya pangsa pasar yang besar.

Nukilan cerita yang dirajut satu per satu datanya dengan apik oleh Afandi Sido menyadarkan kita betapa makanan tradisional pun, jika dikemas dan dipromosikan dengan baik, tetap punya penyuka fanatik. Afandi Sido dengan cermat menulis soal getuk ini dengan judul yang manis: Dengan Getuk Marem, Hanggono Setia pada Citarasa Masa Lampau.

Hanggono, narasumber si empunya getuk, bercerita, ia melampaui masa bertahun-tahun, yang mulai mentas pada 1987, untuk menjadikan Getuk Marem dikenal hingga sekarang. Awalnya juga tak mudah. Model menitipkan ke toko dan warung dilalui Hanggono dengan teramat sabar. Untungnya, sang istri, juga menjadi garda terdepan mendukung usaha ini.

Hanggono, selain menjaga benar tekstur dan citarasa getuk, juga mengubah cara pandang soal pengemasan. Ia berbeda dengan kebanyakan pengusaha getuk lainnya. Hanggono memberikan pengepakan yang cantik berupa kotak. Dengan begitu, “kelas” getuk pun naik. Tak lagi sekadar penganan “kampung” ala pasaran tradisional, tapi sudah berubah menjadi makanan berkelas.

Yang dilakukan Hanggono, dalam konteks marketing, sesungguhnya sederhana. Ia menjadikan pengemasan sebagai kekuatan tersendiri, keunikan tersendiri, lain daripada yang lain. Keunggulan komparatif Hanggono dengan Getuk Marem adalah konsistensi citarasa dan cara pengemasan.

Pada halaman 5, pembaca bisa mengetahui betapa masa awal menjual getuk ini sungguh berat. Hanggono memang punya mimpi, tapi realitas tak seindah mimpinya. Getuk pun adalah kudapan yang massif karena hampir di setiap rumah orang Jawa Tengah, orang-orangnya piawai membikin getuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun