Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ini 3 Reporter Tunarungu-Tunawicara “Pertama” di Dunia

12 Juli 2014   20:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:32 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_333259" align="aligncenter" width="604" caption="Ketua MUI Bandar Lampung Ustaz Suryani M Nur diwawancara tiga reporter cilik Lampung Post. Dari kiri: Aaz, Tasya, dan Diar. (Dokumentasi pribadi)  "][/caption]

Seperti biasa, saban minggu saya harus mencari reporter cilik Lampung Post. Setiap hari Minggu, rubrik ini kudu ada di koran tempat saya bekerja. Sudah tiga bulan belakangan, saya didapuk bertugas, usai dimutasi dari desk Online yang saya geluti sekira dua setengah tahun.

Sebulan lalu saya mengajak tiga reporter cilik dari SDN 2 Beringin Raya. Destinasinya Sekolah Luar Biasa (SLB) Kemiling. Sekolah ini mengedukasi siswa tunarungu, tunawicara, dan tunagrahita. Mengapa saya mengajak anak-anak ke sini? Sebab, ini edukasi yang bagus agar mereka juga mengetahui bahwa pendidikan itu hak semua anak. Termasuk mereka yang ditakdirkan dengan kebutuhan khusus.

Usai menghubungi pihak SLB bahwa kami akan datang, reportase dimulai. Kami diterima Kepala SLB, Tukiman. Anak-anak mulai bertanya. Konten pertanyaan sudah saya siapkan sehari sebelumnya. Dan para reporter cilik, sudah saya latih sebelumnya. Latihan lebih kepada memberikan semangat agar mereka berani dan lantang bertanya.

Usai wawancara, saya terpaku agak lama. Saya berpikir, kalau selama ini reporter cilik Lampung Post berasal dari SD yang notabene siswa dengan kesempurnaan fisik, mengapa tidak dicoba reporter cilik dari SLB Kemiling. Yang tunarungu dan tunawicara.

Sebelum pulang, saya menyampaikan ide itu kepada Kepala SLB, Tukiman. Ia terhenyak. “Apa bisa, Mas Adian, kawan-kawan dari SLB jadi reporter cilik. Lagian, usia mereka kan tidak seperti siswa pada umumnya dan kemampuan komunikasi mereka terbatas,” kata Tukiman.

Saya meyakinkan bahwa siswa dari SLB pun bisa menjadi reporter. Tentu dibantu oleh guru. Yang paling penting, memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertanya dan mencatat jawaban meski dalam skala yang sangat minimal. Tukiman lalu menyanggupi. “Brilian, Mas,” kata dia. Saya hanya senyum. Sudah terbayang di benak bagaimana anak-anak di sini menjadi reporter.

Pekan depannya, rencana itu kami realisasikan. Seingat saya hari Jumat dan kebetulan hari itu hari pembagian rapor di SLB. Saya pikir, kalau biasanya reporter cilik yang keluar mencari destinasi liputan, kali ini biarlah narasumber yang datang ke SLB. Saya lalu menghubungi narasumber, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bandar Lampung, Ustaz Suryani M Nur. Suryani ini calon doktor dari IAIN Raden Intan Lampung. Ia saya telepon untuk menanyakan kesiapan menjadi narasumber untuk tiga reporter asal SLB Kemiling. Suryani juga mahfum begitu saya sampaikan mungkin proses wawancara tidak selancar jika dilakoni reporter yang fisiknya sempurna. Suryani merespons baik ide itu. “Ide bagus, Dinda. Saya siap Jumat ke SLB. Biar wawancara di sana saja.”

Sehari sebelum wawancara, saya kembali ke SLB. Tukiman sudah menyiapkan tiga reporter. Mereka adalah Diar Ramadhan, Tasya Ceasar, dan M Aaz Fauzianullah. Tari, salah seorang guru, melatih mereka bertanya. Ada beberapa pertanyaan yang akan mereka ajukan. Semua seputar Ramadan. Sebab, rubrik ini akan terbit pas Ramadan. Karena anak-anak malu ada saya, saya tak melihat proses mereka berlatih. Tak masalah. Yang penting mereka berani. Andai pertanyaan tak bisa dicerna Ustaz Suryani, toh ada guru yang mendampingi.

Jumat pagi semua siap. Ustaz Suryani datang tepat waktu. Suasana dibuat serileks mungkin. Dengan bahasa isyarat saya bilang kepada Diar, Tasya, dan Aaz bahwa mereka bisa melakukan tugas dengan baik. Syaratnya berani. Mereka tertawa. Saya senang.

Satu per satu pertanyaan disampaikan. Suara Diar, Tasya cukup kuat. Namun, hanya di intonasi terakhir, konten pertanyaan agak jelas terdengar. Suryani tersenyum saja. Tari, guru yang memandu, mengulang pertanyaan Diar dan Tasya. Juga Aaz. Bedanya, suara Aaz mungil banget, hehehe. Sama seperti badannya yang paling kecil di antara mereka bertiga.

Suryani menjawab satu per satu. Soal puasa setengah hari, bagaimana mengisi Ramadan supaya tidak terasa bosan, dan sebagainya. Suryani menjawab dengan lugas. Ia perlahan-lahan menjawab, memberikan kesempatan kepada tiga reporter “cilik” yang tak cilik lagi ini (hahaha) menerka gerak bibirnya. Namun, Tari tetap mengulang intisari jawaban Ustaz Suryani.

Suasana lebih banyak riang. Diar terutama, mengumbar senyum, baik saat bertanya, maupun saat menyimak jawaban Ustaz Suryani. Saya juga ikut tertawa lantaran intonasi suara mereka khas banget. Diar dkk rupanya juga paham kalau pertanyaan yang ia ajukan pasti tidak terdengar jelas. Karena suasana enjoy begitu, semua asyik-asyik saja. Apalagi saat Ustaz Suryani balik bertanya, apakah ketiga reporter asal SLB ini sudah pandai membaca Alquran. Aaz dengan bahasa isyarat seolah bilang, “Saya belum bisa baca Alquran.” Kami semua tertawa, lantaran Aaz juga tertawa saat bilang demikian.

[caption id="attachment_333260" align="aligncenter" width="604" caption="Suasan wawancara di depan plang SLB Kemiling, Bandar Lampung. (Dokumentasi pribadi)"]

1405146780740020381
1405146780740020381
[/caption]

Setengah jam, interviu selesai. Teman fotografer Lampung Post, Hendrivan, mengajak narasumber dan tiga reporter itu ke luar sekolah. Sesi foto dimulai. Ada yang foto di depan bangunan, di depan plang sekolah, dan saat mereka mengepalkan tangan. Saya melihat saja dari jauh. Dari lubuk hati terdalam, saya suka sekali suasana yang terbangun. Apalagi orangtua ketiga reporter cilik itu hadir. Selain untuk mengambil rapor, mereka juga terlihat bangga anak mereka menjadi reporter cilik Lampung Post.

Saya menyalami Ustaz Suryani sebelum ia pamit. Saya ucapkan terima kasih sudah mau menjadi narasumber untuk tiga reporter cilik yang istimewa dari SLB Kemiling. Saya juga menyalami Diar, Tasya, dan Aaz. Saya kasih jempol dua tangan untuk mereka. Mereka tertawa. Saya ucapkan terima kasih kepada mereka, Tukiman, dan guru Tari atas kerja samanya. Mungkin ini bukan reportase yang sempurna. Namun, setidaknya, ini memberikan pengalaman baru untuk ketiganya. Bahwa mereka, yang tunarungu dan tunawicara, bisa menjadi jurnalis seperti manusia lainnya. Barangkali ini yang “pertama” di dunia. Sengaja saya beri tanda (“) barangkali ada yang pernah sebelumnya, hehehe. Salut untuk mereka. Tabik. Salam takzim. Selamat berpuasa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun