Kemampuan guru dalam hal menulis sekarang ini sudah menjadi kebutuhan yang urgen. Seorang guru dan dosen mesti memiliki kemampuan menulis karena pekerjaannya berhubungan erat dengan intelektualitas. Tanpa kemampuan menulis yang baik, seorang guru akan sulit berkembang. Menulis, dalam bentuk yang paling sederhana, sangat penting.
Tentu sebuah kontradiksi jika dalam pelajaran Bahasa Indonesia, seorang guru bahasa Indonesia kepingin siswanya piawai menulis, sedangkan si guru sendiri tidak pernah melahirkan satu tulisan pun. Proses pembelajaran di dalam kelas akhirnya hanya sebatas teori. Guru tidak punya ruh untuk memotivasi muridnya agar mampu menulis atau mengarang dengan baik.
Namun, jika guru punya kemampuan menulis yang memadai, passion dia untuk menyuplai muridnya dengan pengetahuan semakin meningkat. Guru yang juga penulis pasti akan bersemangat memberikan pengetahuan kepada siswanya. Menulis dalam ranah pendidikan dan guru, tidak sebatas pada pelajaran bahasa Indonesia saja. Semua mata pelajaran, juga berpotensi untuk dibikinkan senarai tulisan. Pelajaran eksakta yang selama ini dianggap sulit seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan sebagainya, bisa dimetamorfosiskan ke dalam senarai artikel yang enak dibaca. Contoh paling sahih ialah rubrik Hayat di Koran Tempo yang disajikan dengan baik dan enak dibaca.
Peribahasa mengatakan, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Konteksnya, apa yang diajarkan guru akan digugu oleh siswa. Guru tak bisa mencontohkan yang buruk karena bisa menjadi alat legitimasi buat siswa melakukan hal serupa. Maka, dalam konteks menulis, juga demikian. Namun, peribahasa itu bisa kita ubah dalam artian yang positif. Maka, saya memilih ini. “Guru Nulis Berdiri, Murid Nulis Berlari.” Lantas, apa saja manfaat buat guru yang piawai menulis?
Pertama, terbiasa menelurkan gagasan. Dengan menulis, guru terbiasa mengeluarkan gagasan. Ide yang datang dari pikiran yang kemudian ditatahkan dalam bentuk tulisan akan membantu guru. Guru akan semakin matang dalam berpikir. Ia akan bagus dalam perencanaan. Dengan semakin sering menulis, ide akan semakin segar. Gagasan akan selalu baru. Pikiran akan semakin inovatif. Istilahnya, pikiran tak bakal beku jika sering diasah.
Kedua, teratur dalam gagasan. Kebiasaan menulis tak hanya membuat guru terbiasa dan berani melontarkan gagasan. Selain itu, dengan kontinuitas tentu saja, gagasan itu akan lebih teratur dan matang. Dengan redaksi lain, pikiran yang terejawantahkan dalam bentuk tulisan, akan lebih teratur ketika disampaikan. Mungkin ketika di awal, ide berhamburan tidak menentu. Yang penting tersampaikan terlebih dahulu. Tak peduli dengan konstruksi cara berpikir, cara menuangkan gagasan, dan sebagainya. Namun, ketika terbiasa, pikiran akan diolah dengan runut, tertib, dan mudah dicerna. Menulis, jika dilakukan terus menerus, bisa membuat si empunya ide memiliki pola dan susunan yang rapi ketika menulis atau berbicara.
Ketiga, terbiasa menerima masukan atau kritik. Dengan terbiasa menulis, guru akan terlatih menerima masukan dan kritik. Kenapa bisa begitu? Sebab, setiap karya yang dipublikasikan, baik di koran maupun blog, pasti dibaca orang. Si pembaca pasti memiliki opini atau tanggapan terhadap artikel tersebut. Tidak menutup kemungkinan, usai membaca, orang akan menanggapi. Bisa jadi isinya setuju dengan konten artikel, boleh jadi pula menyanggah isi artikel. Dengan demikian, ada komunikasi yang dipicu dari artikel tersebut. Nah, dalam konteks itulah guru yang terbiasa menulis, akan terbiasa juga menerima masukan dari pihak lain. Hal ini akan membuat si guru dewasa dalam menanggapi artikel yang ia unggah. Sekeras apa pun kritik itu, mesti ditanggapi dengan elegan. Tulisan dibalas dengan tulisan. Meski ada yang mencaci dan boleh jadi tak beretiket, guru yang menulis mesti menjawabnya dengan santun. Tulisan yang tajam tetap bisa santun dalam berbahasa. Bahkan, kesantunan dalam menulis tidak lantas mereduksi kecerdasan dan skeptisisme dari si penulis sendiri. Bila dalam seminggu ada tulisan yang dipublikasikan, guru yang menulis akan terbiasa berdebat dalam ranah intelektual. Ia takkan marah bila karyanya dibilang jelek oleh pembaca atau dinilai remeh temeh. Sebaliknya, ia akan senang karyanya sudah dibaca, apa pun respons masyarakat.
Keempat, meningkatkan kapasitas. Dengan terbiasa menulis, kapasitas guru tentu saja akan meningkat. Dari sisi keterampilan, ia akan mendapat lebih. Dari yang dahulu hanya piawai dalam menyampaikan pelajaran secara lisan, sekarang bisa piawai menulis. Itulah manfaat terbesarnya. Kapasitas meningkat. Dengan kapasitas yang meningkat, mutu guru juga akan meningkat. Kalau sudah begitu, siswa juga yang bakal merasakan manfaat. Mereka akan diajar oleh guru yang kompetensinya meningkat dengan kemampuan menulis. Poin satu hingga tiga di atas akan dirasakan oleh siswa di dalam kelas. Boleh jadi, cara mengajar guru pun akan menjadi lebih bermutu. Model pelajaran di kelas tak lagi satu arah, tapi dua arah. Siswa akan diberikan porsi yang besar dalam pembelajaran. Siswa akan diajak menggali pikiran atau ide yang selama ini tak pernah selintas sama sekali. Bahan ajar digunakan sebagai pegangan, tetapi elaborasi pelajaran akan dilakukan secara aktif oleh siswa.
Kelima, menambah penghasilan. Soal uang sebagai imbal jasa menulis di media massa memang tak bisa dihindari. Soal jumlahnya, memang relatif. Ada media massa yang memberikan honor cukup besar kepada penulis, tapi ada juga yang alakadarnya. Sedikit atau banyaknya honor, tetap saja ada pemasukan di luar gaji atau honor sebagai guru. Di koran tempat saya bekerja, saban hari, kecuali Minggu, ada halaman Opini. Setiap guru boleh menulis sesuai dengan kapasitasnya. Apalagi jika ada isu soal pendidikan yang sedang hangat. Selain itu, saban Sabtu, ada kolom Gagas yang khusus untuk guru. Nah, dengan adanya ruang itu, kesempatan guru menambah penghasilan dari honor menulis terbuka. Jika sudah sering, bahkan tulisannya ciamik, redaktur opini biasanya meminta guru itu menulis jika ada persoalan pendidikan yang sedang hangat diwartakan. Kalau opini yang diminta, honornya biasa lebih besar ketimbang inisiatif mengirim sendiri.
Pendapatan guru akan lebih besar jika ia mampu menulis sebuah buku. Baik buku tentang pelajaran yang ia ampu atau soal lain tapi masih dalam skop pendidikan. Jika sebuah buku diterbitkan penerbit ternama, tentu saja peluang mendapatkan honor berupa royalti akan semakin besar. Guru tadi akan mendapatkan passive income yang memadai. Bahkan, bisa jadi, pihak sponsor atau donor, semacam Tanoto Foundation, mau memberikan beasiswa khusus kepada guru tadi. Tanoto jelas melihat potensi besar dari seorang guru yang piawai menulis. Guru semacam ini mesti diberikan tempat, diapresiasi, dan didukung karena berkenaan dengan ikhtiar mencerdaskan anak bangsa.
Keenam, memotivasi guru lainnya. Manfaat untuk korps guru tentu saja memotivasi pengajar lainnya untuk bisa menulis dengan baik. Guru yang piawai menulis akan menjadi model yang baik untuk guru lainnya. Guru yang lain akan melihat, betapa seorang pengajar yang piawai menulis mendapatkan banyak manfaat dari aktivitas tulis-menulis ini. Dengan begitu, guru lain akan termotivasi dalam menulis. Itulah sisi signifikan dari keaktifan guru dalam hal menulis. Manusia menjadi signifikan ketika ia mampu menjadikan orang lain seperti dirinya atau bahkan lebih baik. Seorang guru yang signifikan adalah pengajar yang mampu menduplikasikan dirinya kepada orang lain. Sehingga, orang itu punya kemampuan menulis yang sama baiknya. Jika semua guru yang piawai menulis mempunyai hal yang demikian, mutu pengajar kita akan lebih baik.
Murid Nulis Berlari
Jika guru kita peribahasakan sebagai “guru nulis berdiri”, murid pasti lebih mantap lagi. Kalau si guru terbiasa menulis dengan komputer, murid yang terbiasa dengan gawai alias gadget pasti punya kans menulis yang lebih baik. Kalau guru bisa mengajar dengan baik dan mampu memotivasi muridnya, itu signifikan. Apalagi jika guru mampu memotivasi siswa untuk mampu menulis. Jelas, itu makin baik.
Dalam era digital sekarang, hampir setiap siswa memiliki gadget. Bahkan, ponsel cerdas milik mereka jauh lebih bagus ketimbang gurunya. Tidak hanya itu, perkakasa elektronik semacam iPad, notebook, dan sejenisnya, acap dimiliki siswa. Bahkan, lebih dari satu. Keberadaan gagdet semacam ini tentu menjadi modal untuk setiap siswa bisa menulis.
Jadi, andaikan guru mampu memotivasi siswanya untuk menulis, itu sangat baik. Mungkin, guru lebih banyak menulis di koran atau tabloid di tingkat lokal. Tapi itu sudah dari lumayan. Nah, lantaran itu, guru kemudian menggerakkan murid untuk bisa menulis juga. Katakanlah, setiap guru rerata menulis dengan komputer di rumah mereka. Komputer PC istilahnya. Nah, siswa, yang akrab dengan gagdet, jelas punya kans menulis lebih baik karena mereka secara mobile tersambung dengan dunia maya.
Andai guru belum akrab dengan blog, pengajar bisa memotivasi siswa untuk membuat blog dan menulis di sana. Andaipun sulit, guru bisa memberikan pengetahuan kepada siswa untuk menulis di blog bersama, seperti Kompasiana. Yang penting, guru harus tahu betapa muridnya adalah makhluk mobile. Maka, guru harus memberikan motivasi bahwa setiap murid bisa menulis.
Yang perlu dimotivasi setiap pengajar yang menulis ialah agar setiap siswa menuliskan semua hal yang berkenaan dengan pengalaman hidup. Tak semata mungkin sejenis opini yang barangkali kelasnya cukup berat. Siswa dimotivasi saja menjadi jurnalis warga. Artinya, apa pun yang mereka ketahui, rasakan, lihat dan dengar, bisa ditulis. Misalnya, di sekolah ada kunjungan dari sekolah lain, itu bisa menjadi bahan untuk ditulis. Lihat saja reportase mereka. Apakah sudah cukup baik atau tidak. Nanti guru bisa memberikan masukan soal karya mereka itu.
Guru bisa memberikan nilai lebih kepada siswa yang rajin membikin tulisan. Tolok ukurnya, seberapa banyak seorang siswa mampu menulis dalam satu semester. Guru tinggal mengakumulasikan saja. misalnya, mengakumulasi tulisan siswa yang terpublikasi di mading, blog, atau bahkan koran. Mungkin di koran daerah ada halaman yang diasuh siswa SMA. Guru bisa memediasi kepada media massa agar memberikan ruang kepada siswa untuk menulis.
Jadi, terbayang bukan, jika gurunya nulis berdiri, ya siswanya nulis berlari. Siswa akan lebih aktif, lebih impresif, lebih revolusioner, lebih kritis, lebih kaya perspektif, dan sebagainya. Kalau sudah begini, bisa dikatakan guru tersebut sukses dan signifikan. Sebab, dia mampu menggerakkan semangat siswa untuk menulis. Ini akan terwujud jika gurunya pun piawai menulis. Siswa akan bangga saat ia mampu menyejajarkan diri dengan gurunya. Ia akan bangga jika kemampuan menulisnya sama, bahkan lebih baik dari gurunya.
Mari kita peras lagi. Jika tadi kita mendedahkan manfaat buat guru ketika piawai menulis, sekarang akan diketengahkan apa manfaat buat siswa ketika ia pandai mengarang.
Pertama, terbiasa mengeluarkan pendapat. Sama seperti guru, murid yang terbiasa menulis pasti terbiasa juga menuangkan gagasan. Ia akan terlatih menjawab pertanyaan guru atau bertanya sesuatu hal yang tidak diketahui. Selama ini mungkin siswa agak malas untuk aktif di kelas, bertanya atau menjawab. Namun, dengan terbiasa menulis, artinya ia terbiasa memiliki gagasan. Soal jawaban itu masih salah, tidak masalah. Yang penting mencoba. Salah dan benar itu urusan belakangan. Yakinlah, murid yang terbiasa menulis reportase, mengunggahnya di blog, akan mendapat banyak ilmu dan pengetahuan ketimbang murid yang hanya diam di kelas, pasif.
Kedua, melatih keberanian. Dengan biasa menulis, artinya murid memiliki keberanian. Ia berani menulis dan tulisannya dikomentari orang. Ia akan terlatih menerima masukan dari orang yang membaca laporannya. Semakin sering menulis, semakin sering pula mendapat respons. Dan, semakin besar pula tingkat keberaniannya. Berani di sini bukan berani yang asal, tapi berani yang berdasar. Dengan sering menulis, kualitas keberanian seorang siswa akan meningkat.
Ketiga, kritis. Siswa yang terbiasa menulis, juga akan terlatih sisi kritisnya. Biasanya seseorang menulis itu karena ada sisi kritis yang ia bidik. Misalnya, melihat kemacetan di jalan raya, di mana banyak pengndara tidak mematuhi aturan lalu lintas, sisi kritisnya akan tumbuh. Ia akan menulis betapa tingkat kedisiplinan warga negara di jalan raya sangat rendah. Itulah yang membuat angka kecelakaan di jalan raya terus meningkat setiap tahun. Dengan tulisan itu, murid belajar bersikap kritis. Mengkritik kebiasaan buruk pengendara, juga bisa kritis terhadap polisi yang belum maksimal dalam bekerja.
Tidak mengapa sejak dini, anak-anak dilatih berpikir kritis. Kritis bukan berarti berwatak membangkang atau melawan. Namun, jika disalurkan dengan baik, sikap kritis itu akan membawa banyak manfaat. Tanpa sikap kritis, sesuatu yang salah tidak akan ada yang meluruskan. Gunanya bersikap kritis untuk sesuatu berjalan lebih baik lagi.
Keempat, mengasah talenta. Boleh jadi, kultur menulis setiap siswa adalah talenta yang belum terasah. Dengan membiasakan menulis, talenta itu diasah, dilatih, dan akan semakin mahir. Dengan melatih siswa menulis, sekolah bisa dibilang berhasil mengasah talenta sivitas akademikanya. Jadi, kepintaran murid dalam hal akademik, berbanding lurus dengan kecerdasan dia dalam menguraikan gagasan dalam bentuk tulisan. Talenta yang tidak pernah diasah, akan percuma. Namun, jika ia dilatih, talenta itu akan semakin berkembang. Sekolah dalam hal ini berhasil dalam membuka sisi kecerdasan siswa dalam ranah menulis.
Kelima, persiapan masa depan. Jika sedari sekolah, katakanlah sejak SMA, siswa mampu menulis reportase dan opini dengan baik, itu sudah menjadi bekal yang bagus untuk mereka di masa depan. Dengan terbiasa menulis, siswa pasti sudah mendapatkan passion mereka. Boleh jadi mereka sudah punya bekal untuk bekerja. Profesi sebagai penulis atau jurnalis media ternama, paling tidak sudah ada bayangan lantaran kesukaan dan kebisaan mereka dalam menulis. Andaipun tidak, mereka sudah punya skill menulis yang mumpuni. Bekerja dalam ranah apa pun, jika dibarengi dengan kemampuan menulis, pasti signifikan.
Pekerja kantoran yang bisa menulis pasti lebih berdaya guna ketimbang yang tak mampu menulis. Menjadi guru yang piawai menulis pasti lebih baik ketimbang pengajar yang malas menulis. Menjadi dosen yang mampu menulis pasti lebih oke ketimbang yang tak mampu mengarang. Menjadi pengusaha yang piawai menulis, pasti punya signifikansi yang lebih ketimbang yang tidak bisa mengarang.
*
Kesimpulannya, sejak sekarang, guru mesti punya kompetensi dalam hal menulis. Dengan terbiasa menulis, banyak manfaat yang ia rasakan. Saat kulminasi seorang guru yang mampu menulis sudah tercapai, gilirannya untuk merangsang muridnya untuk punya kemampuan menulis yang memadai. Itulah guru yang signifikan. Andai gurunya saban minggu menulis satu artikel, muridnya boleh jadi mengarang enam tulisan dalam sepekan. Jika gurunya hanya bisa menembus koran lokal, muridnya bisa menembus media besar di Jakarta. Andai gurunya hanya terbatas menulis pada majalah dinding sekolah, muridnya bisa menulis di blog yang dibaca ribuan pembaca. Jadi, peribahasa itu menemui kesahihannya: guru nulis berdiri, murid nulis berlari. Wallahualam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H