Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Money

Batik Tulis ala Komunitas Siswa Luar Biasa

1 September 2011   15:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:18 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[caption id="attachment_128885" align="aligncenter" width="300" caption="Desy Susanti, penggiat "][/caption] Ini ruang membuat batik tulis khas Lampung milik Laila Al Khusna. Saban sore, beberapa ibu di sekitar rumah Laila berkumpul di sana di bilangan Kemiling, Bandar Lampung. Niatnya belajar membatik tulis. Kain sudah dibentangkan. Malam (lilin) juga sudah siap diguratkan. Canting-canting berjejer menunggu tangan para ibu menggurat-gurat kain. Selain mereka, ada pula remaja. Laki-laki dan perempuan. Jumlahnya tak sampai sepuluh. Mereka juga beraktivitas sama: membuat batik tulis. Para ibu biasanya berlatih sambil mengobrol. Kadang baru satu sampai dua arsiran, mereka sudah asyik berbicara dengan rekannya. Kadang cekikikan. Laila cuma tersenyum. Sesekali ia menimpali, tapi lebih sering menegur para ibu agar meneruskan membatik. Di antara remaja putri yang juga belajar di sana, seorang di antaranya bernama Desy Susanti. Dibanding rekan yang lain, Desy tampak terampil. Tangannya cergas mengguratkan canting berisi malam di atas kain. Sapuan cantingnya kemudian membekas pada kain dengan motif khas Lampung: bergambar siger dan gajah sumatera, dipadu motif khas jawa yang menyulur seperti kumpulan daun. Keseriusan Desy juga tampak saat mulutnya meniupkan angin pada bibir canting agar tetesan malam tak jatuh ke lantai. Fuuuh.Teman Desy yang lain juga melakukan prosesi yang sama, tapi Dessy di atas rata-rata. "Kalau soal kualitas, karya anak-anak ini lebih bagus, Mas. Mereka ini kan fokus. Kalo ibu-ibu yang ikut kursus di sini kan kadang-kadang campur ngerumpi, jadinya enggak selesai-selesai. Kalo anak-anak, apanya yang mau diobrolkan. Ya kalo mereka ngobrol, berhenti dong membatiknya. Mereka kan bicara pake tangan. Tapi, benar kok, hasil kerja anak-anak ini rapi, bersih, dan pewarnaannya prima," kata Laila Al Khusna. "Anak-anak ini kalau bekerja fokus. Ya maklumlah, Mas, mereka kan tunarungu dan tunawicara. Enggak seperti pembatik lain yang normal, yang kalau sedang bekerja diselingi gurauan," kata Sumardjo, Kepala Sekolah Luar Biasa Darma Bakti Darma Pertiwi, tempat Desy dan teman-temannya sehari-hari bersekolah. Mereka punya komunitas membatik tulis sendiri. Pelajar SLB yang lain punya keterampilan lain. Ada yang menyusun manik-manik, elektronikam, musik, dan sebagainya. Tapi membatik tulis sudah tentu unik. Desy Susanti punya nawaitu menjadikan batik tulis sebagai mata pencariannya. Ia mengemukakan itu lewat secarik kertas yang saya sodorkan kepadanya."Batik tulis duit," tulis Desy membalas selarik pertanyaan saya mengapa ia tertarik membatik tulis. "Kalo dibanding yang lain, ya Desy paling unggullah, Mas. Liat aja cara dia niup cantingnya, khas banget kan, kayak yang udah puluhan tahun aja jadi pembatik," lanjut Laila Al Khusna sambil tersenyum.Desy juga ikut tersenyum. Tangannya masih tekun memberikan arsiran batik pada kain. * Laila sebenarnya menyayangkan kalau batik yang marak dipakai sekarang adalah produksi mesin. Kata Laila, kekhasan batik itu justru di arsiran dengan tangan secara manual. Kalau pakai tangan langsung, kesan eksotisnya sulit terbantahkan. Kekahasan pembatiknya juga kental sekali terlihat. Sekalian juga memberikan penghasilan yang besar kepada pembatik. Ya seperti para ibu tetangga Laila maupun anak-anak tunawicara seperti Dessy. "Ya aneh aja kalau ada pejabat negara mempopulerkan batik tapi bikinan pabrik, bukan tulis. Memang batik tulis lebih mahal karena prosesnya rumit. Tapi ini kan bisa menjadi pemasukan banyak orang. Ibu-ibu tetangga saya atau komunitas anak-anak SLB yang biasa belajar di sini," kata Laila. Dessy menoleh sambil mengangguk. Ia mendengar ujaran sang guru. Rupanya ia sepakat dengan ujaran mentor membatiknya itu. Ya, andai para orang kaya itu menginvestasikan duitnya dengan batik tulis lampung misalnya, akan banyak orang yang mendapat penghasilan. Termasuk Dessy, yang tangannya masih asyik memainkan canting berisi malam. Sreeeet.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun