Entahlah. Wallahualambissawab.
Mundurnya Mahfud Md setidaknya memberikan pelajaran. Bahwa masih ada etika yang dipegang pejabat negara yang sedang berkompetisi pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun ini.
Publik dan entitas demokrasi tentu senang. Sebab, masih ada etika yang dijunjung.Â
Mundurnya Mahfud menjadi perbincangan publik. Ini memberikan edukasi politik yang bagus kepada kita.Â
Sebab, memang sumir mau kampanye tanpa ada embel-embel tidak menggunakan fasilitas negara. Ribet pasti urusan melepas jabatan publik kala maju dalam kontestasi.
Apalagi kalau sampai Presiden Jokowi ikut mengampanyekan pasangan Prabowo-Gibran. Itu pasti urusannya lebih njelimet.Â
Bagaimana kita yakin ada pemisahan fasilitas negara dengan pembiayaan pribadi. Ini levelnya presiden, lo. Kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Mundurnya Mahfud kemudian diikuti pernyataan sikap dari sivitas akademika banyak kampus di Indonesia. Intisarinya adalah ingin mengawal demokrasi di Indonesia.Â
Juga perlawanan terhadap penolakan kepada ASN dilibatkan dalam kepentingan politik praktis. Juga keinginan agar presiden menunjukkan sikap kenegarawanan meskipun sudah tercoreng karena sarat nepotisme kala Gibran maju sebagai cawapres usai putusan MK membolehkan.Â
Ketua MK kala putusan diterbitkan adalah Anwar Usman, adik ipar Jokowi yang notabene paman atau omnya Gibran.
Mundurnya Mahfud menjadi item pembelajaran baru dalam dunia politik Indonesia. Ia akan menjadi pelajaran bagus untuk mereka yang studi politik di negeri ini.Â