Sejak berbulan-bulan lalu di semua kota pasti marak alat peraga kampanye (APK) para caleg dan capres terpasang. Tampaknya tak ada satu ruang publik pun yang luput dari APK ini. Di jalan protokol, baliho besar banyak terpasang.
Di tempat saya, flyover juga jadi tempat favorit memasang APK. Median jalan yang ditumbuhi pepohonan juga menjadi sasaran. Dipaku pula. Ini jelas APK melanggar aturan.
Kalau banner mungkin masih mending pemasangannya, rada kuat dan tak mudah goyah. Yang repot kalau bendera partai juga dipasang. Bendera partai dipasang biasanya menyambut tokoh yang hendak datang.
Karena banyak, bendera dipasang menggunakan bilah bambu. Masih mending kalau sebatang bambu kokoh. Yang banyak dipakai juga bilah bambu yang mudah meleyot. Kadang memasangnya juga sembarangan.
Baru dipasang sebentar, tertiup angin, bendera roboh. Kalau jatuh sejajar jalan masih lumayan. Yang repot bendera menjorok ke jalan dan mengganggu pengguna jalan. Khususnya mereka yang menggunakan sepeda motor.
Yang menarik, apakah pemasangan banner ini berpengaruh pada pilihan politik masyarakat pada 14 Februari 2024 mendatang?Â
Apakah dengan banyak memasang APK ada jaminan caleg terpilih? Apakah ada jaminan memasang ribuan APK seantero kota, seorang caleg melenggang ke gedung dewan?
Saya mengutip tulisan seorang teman di web wartalampung.id, bahwa polling tim riset Kaltim Post tahun 2019 menunjukkan, 71,43% pembaca menyatakan reklame atau banner sudah tidak lagi menjadi metode kampanye yang efektif.
Tentu ini tidak menggambarkan sesuatu yang bisa digeneralisasi. Akan tetapi, pemasangan APK hanya bagian kecil ikhtiar caleg untuk terpilih.
Lantas, apa usaha yang mesti dilakukan agar para caleg itu terpilih? Ada tiga hal yang menjadi catatan saya berdasar pengamatan selama ini terhadap mereka yang terpilih pada pemilu yang sebelumnya.