Pemasukan ada, tapi tidak sefantastis dahulu. Apalagi Ramadan beberapa tahun belakangan.
Dengan maraknya dunia maya, adanya buku elektronik, dan perkembangan media sosial, toko buku makin sepi pembeli. Jangankan yang beli, yang berkunjung juga tak sesemarak dahulu.
Dengan adanya lokapasar, pembeli bisa mencari sendiri buku yang mereka suka. Dengan adanya media sosial, mencari buku yang kita gemari lebih mudah dilakukan. Dengan adanya media sosial, kita bisa tahu buku apa saja yang ada meski eksemplarnya tidak dicetak banyak.
Apalagi dengan adanya penerbit skala kecil yang bisa mencetakkan buku dengan satuan. Memang harganya agak mahal.Â
Tapi itu adalah cara kita bisa punya buku sendiri. Self publishing istilahnya atau jika diindonesiakan cetak indie atau buku indie.
Di Bandar Lampung, sekitar sepuluh tahun lalu, masih banyak toko buku skala kecil. Toko-toko buku ini yang kebanyakan menjual buku islami dahulu saat Ramadan diserbu pembeli.Â
Selain membeli buku, kebanyakan juga cari Alquran terbaru. Yang perempuan plus cari jilbab dan pernak-pernik lain.
Ada juga yang cari kopiah, minyak wangi, sampai baju takwa (koko) dan sarung. Kini sulit menemui toko buku yang skala kecil seperti dahulu. Toko buku bekas memang masih ada tapi pengunjungnya juga sudah berkurang drastis.
Saya misalnya, mau cari buku majalah dan buku bekas, tinggal mencari di lokapasar. Saya bahkan lumayan beruntung pernah membeli buku tentang tenggelamnya Kapal Tampomas II berjudul Neraka di Laut Jawa. Buku dengan kertas buram itu masih terbaca dengan baik. Buku ini hasil reportase wartawan tabloid Mutiara pimpinan Bondan "Mak Nyus" Winarno dan para wartawan koran Sinar Harapan. Â
Baru-baru ini juga saya bisa mendapatkan buku legendaris karya Bondan "Mak Nyus" Winarno, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Buku Buku ini berkisah soal investigasi almarhum Bondan soal emas di Busang.
Tahun lalu saya malah masih dapat dua buku bekas karya Karni Ilyas, yakni kumpulan Catatan Hukum kala Karni masih menjadi pemimpin redaksi di majalah Forum Keadilan.