Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Medsos Lembaga Filantropi, Bukan Pamer Melainkan Merawat Kepercayaan

18 Maret 2023   10:25 Diperbarui: 18 Maret 2023   11:00 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya beberapa kali diminta mengisi materi soal jurnalistik dan konten media sosial di beberapa lembaga filantropi. Ada yang bergiat di zakat, ada pula khusus kemanusiaan. Misalnya soal penanganan bencana banjir, gempa bumi, kebakaran, dan lainnya.

Kepada pengelola lembaga itu saya mengatakan sekarang memang eranya media sosial. Akun lembaga di media sosial seperti di Twitter, Instagram, Facebook, TikTok dan lainnya memang sudah selayaknya diisi. Tentu dengan konten yang baik, informasi terbaru, dan mengajak orang untuk mau ikutan berderma.

Saya bilang, jangan khawatir bahwa konten yang kita unggah itu akan membuat kita riya dan menghapus keikhlasan kita. Saya menegaskan, urusan ikhlas itu perkara kita dengan Allah swt. 

Itu biarlah menjadi catatan kebaikan Raqib saja saban kita berbuat amal saleh. Jangan malah karena takut berbuat baik malahan tidak berbuat.

Alasan takut riya, akhirnya tidak jadi berderma. Alasan khawatir amal sia-sia, akhirnya sungkan melakukan kebaikan. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Memberikan informasi di media sosial atas aktivitas yang dilakukan adalah ukuran dan cermin tanggung jawab lembaga. Tanggung jawab kepada siapa? Kepada donatur, penyumbang, lembaga mitra, dan lainnya. 

Bahwa mungkin ada imbas usai mengunggah konten di media sosial, itu soal lain. Kegiatan apa pun ketika disorot pasti ada imbas. Bisa makin memotivasi, bisa mendegradasi. Itu bergantung pada penyikapan kita.

Ringkas kata saya menganjurkan semua lembaga filantropi, totalitas dalam mengisi kontennya. Bikin konten yang paling bagus. 

Rancang dengan matang dan kerjakan sampai ujungnya khusnul khatimah. Kemudian unggah ke media sosial. 

Kasih takarir atau caption yang menggugah. Kalau ilmu copy writing-nya sudah sampai, silakan dipakai.

Jangan khawatir disangka riya, ujub, bin sombong. Jauhkan perkara itu. 

Bahwa kita mengunggah ini adalah wujud tanggung jawab kita dengan pihak lain. Kita ingin menunjukkan kiprah lembaga sudah sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku.

Kita ingin menunjukkan bahwa aku media sosial lembaga filantropi juga bisa dikelola dengan baik. Isinya banyak. 

Kontennya menggugah. Isinya sangat transparan. Pesan yang ditampilkan juga konteks dengan zaman. 

Jika akun medsos lembaga filantropi demikian, sedikit banyak menjaga kepercayaan penderma. Donatur juga pasti akan melihat itu dan menilai bahwa lembaga yang ia selama ini percaya memang bisa diandalkan.

Keraguan yang selama ini ada di lembaga filantropi mesti dikikis. Dalam beberapa kali kesempatan saya bilang, jangan menilai kecil sebuah aktivitas. 

Jangan menilai rendah aktivitas di lembaga. Jangan merasa itu tak punya nilai "berita" untuk dijadikan rilis. Jangan menilai kegiatan itu berulang sehingga tidak ada sisi kebaruan.

Saya bilang, semua aktivitas naikkan ke media sosial. Apa saja itu. Tinggal dikemas saja dengan baik. Ambil sisi kebaruan meski mungkin kegiatan reguler. 

Cari yang unik dan menarik. Cari testimoni yang dibantu dan jadikan itu konten. Bukan untuk mengemis di daring, melainkan wujud keprofesionalitasan lembaga dalam menjaga kepercayaan mitra.

Bahwa di lembaga itu ada yang memang probono alias sukarela, tentu saja memungkinkan. Mereka biasanya sukarelawan dari kampus yang babnya belajar. Tak ada masalah. 

Jangan ada anggapan, kegiatan sosial lembaga yang diunggah ke media sosial akan mereduksi keikhlasan. Tidak seperti itu.

Ini babnya bukan pamer. Bukan. 

Kita tak hendak juga menjual air mata sehingga orang berduyun-duyun kasih bantuan. Namun, ini bagian dari kerja di wilayah maya untuk meyakinkan orang bahwa lembaga kita tepercaya.

Media sosial adalah medium kita menyuarakan gagasan, menyampaikan kebaikan, mengajak orang turut serta. Itulah esensi menggunakan media sosial dengan cerdas. Itulah urgensi menggunakan gawai dengan baik. 

Di media sosial justru dibutuhkan konten yang banyak yang seperti ini. Dengan demikian, orang punya referensi tepercaya ke mana duit bisa dia kasih untuk bantu orang lain.

Kalau lembaga filantropi tidak bisa menggunakan media sosial dengan optimal, ya bakal tergerus. Orang tak bakalan tahu. Apalagi jarang kasih rilis ke media massa perihal kegiatan. 

Orang barangkali juga curiga kalau mau kasih dana tapi nama lembaga ini jarang muncul di media massa dan sosial. Bagaimana orang hendak yakin memberikan bantuan ketika isu kemediaan tidak dimainkan.

Yang paling penting selain pengelolaan media sosial itu tentu sistem kerja yang baik di lembaga. Jangan lagi terulang kasus pengelolaan keuangan atau donasi mitra secara serampangan. 

Itu bisa menghilangkan kepercayaan mitra secara total kepada lembaga filantropi. Yuk, bismillah. [Adian Saputra]

foto pinjam dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun