Anda benar? Sudah barang tentu tidak bisa. Karya jurnalistik yang berbasis peristiwa (berita) tidak bisa dikreasikan oleh mesin apa pun.Â
Tersebab ada fakta dan narasumber yang mesti diverifikasi, dibutuhkan orang langsung untuk melakoninya. Dari sini, dari sudut pandang berita, kita sudah bisa tahu jawabannya.
Karya jurnalistik berbentuk berita tidak bisa dikerjakan ChatGPT. Pasalnya, ia menyediakan bahan di nukleus kecerdasan mesin ini. Ia merangkai dari semua bahan yang ada kemudian menjadi nutrisi kecerdasan buatan itu.
Berita, karena mesti valid dan sahih, mesti punya perawi yang kuat. Perawi dalam berita ini, bak hadis, adalah para jurnalis.Â
Merekalah yang melakukan reportase, liputan, wawancara, dan pengecekan lain untuk mendapatkan informasi.
Sekarang, bagaimana untuk karya berbentuk artikel, semisal opini atau esai. Bisakah ChatGPT menjadi sumber utama?
Bagi saya, ChatGPT bukanlah sumber yang terverifikasi untuk dijadikan bahan untuk menulis meski untuk opini. Sebab, sama seperti karya jurnalistik lain, sumber di dalamnya mesti jelas.Â
Karya siapa yang dikutip. Teori apa yang dipakai. Pakar mana yang pendapatnya dijadikan rujukan. Kalimat mana yang secara utuh disalin untuk ditempel dan disebutkan sumbernya. Dan sebagainya dan sebagainya.
Ada warganet bilang adanya ChatGPT bikin kelar Google? Iya tah? Tentu tidak.
Fungsi Google dan ChatGPT jelas beda. Google tidak memproduksi konten sendiri. Orang tanya ke Google, kemudian mesin Google merujuk pada beberapa sumber yang bisa dijadikan referensi.Â
Cara ini jurnalistik banget. Mengapa demikian? Sebab, Google memberikan panduan untuk masuk ke sumber dan referensi untuk menambah daya tampung otak dan gagasan kita.