Lucky Hakim mundur dari posisi sebagai wakil bupati Indramayu. Lumayan ramai di media sosial pengakuan Lucky. Termasuk soal segala fasilitas yang ia terima.Â
ArtisIa juga merasa prihatin dengan rakyat yang hidupnya njomplang dengan penguasa daerah. Berdasar reportase Kompas.com, mundurnya Lucky karena tak harmonis lagi dengan bupatinya.
Saya ingin mendedahkan hal ini dari sisi esensi kedudukan wakil kepala daerah. Di mana-mana, posisi wakil itu orang nomor dua. Semua yang namanya wakil, orang nomor dua.Â
Kecuali wakil rakyat. Ia bukan posisi, melainkan frasa sebutan untuk legislator di gedung dewan.
Ranah pemerintah pusat juga demikian. Dulu waktu periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Jusuf Kalla, terjadi juga hal yang demikian.Â
Namun, duet itu akhirnya sampai khatimah juga. Meski setelah itu Jusuf Kalla memutuskan maju menjadi capres dan Yudhoyono berpasangan dengan Boediono pada pilpres tahun 2009.
Yang mesti dipahami oleh mereka yang hendak maju berpasangan adalah posisinya beda. Kepala daerah dan wakil kepala daerah itu beda tugasnya. Yang namanya kepala daerah atau kepala pemerintahan seperti presiden, punya wewenang luas. Itu yang tidak dimiliki oleh wakil.
Wakil akan bekerja jika kepala daerahnya berhalangan. Mungkin tugas luar dalam jangka waktu lama. Mungkin juga sakit. Boleh jadi terkena kasus dan sebagainya.
Rano Karno jadi gubernur Banten di periode pertama pertengahan jalan. Ia menggantikan Ratu Atut yang berurusan dengan KPK. Jadi, posisi wakil memang menggantikan.
Bisa dibilang, tepat kalau orang sering sebut wakil itu ban serep. Memang itu benar. Hanya saja, tak banyak yang paham posisi ini. Wakil inginnya dapat peran. Alasannya dipilih berbarengan. Kadang isi tas wakil juga terkeruk untuk biaya politik semacam pilpres atau pilkada.
Akan tetapi, esensi wakil memang orang nomor dua. Esensi wakil memang ban serep. Esensi wakil memang berjalan di belakang kepala daerahnya.Â