public relation (PR)Â kantor atau perusahaan besar.
Lima tahun saya mengajar mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden Intan Lampung. Saya tanya-tanya mereka, banyak yang ingin bekerja sebagai juru bicara atauMereka ingin menjadi PR yang setiap hari tampil wangi, dandy, necis, rapi jali, dengan gaji yang besar. Sudah terbayang di benak mereka saban hari mengatur pertemuan dengan banyak pihak.Â
Salah satunya mengagendakan konferensi pers di kantornya. Mungkin saat peluncuran produk baru perusahaan, atau sekadar silaturahmi biasa saja dengan insan media.
Saya menganjurkan kepada mereka untuk merasakan dulu bagaimana jurnalis bekerja di lapangan sebelum menjadi PR. Mengapa demikian? Tujuannya biar mereka mengetahui seluk beluk dunia jurnalisme dengan baik dahulu.
Saya menilai jurnalisme bisa menjadi basis mereka dalam bekerja di bidang lain di masa depan. Jurnalisme mengajarkan kepada kita untuk gigih dalam mendapatkan informasi yang tepercaya.Â
Jurnalisme mengharuskan kita mendapatkan informasi sahih untuk kemudian diteruskan kepada khalayak. Jurnalisme juga mengajarkan untuk mendapatkan hal yang baru, penting, dan menarik dalam setiap konten liputan.Â
Dan jurnalisme mengajarkan kita benar-benar melakukan verifikasi yang ketat sebelum meyakini informasi dan menuliskannya untuk pembaca.
Yang juga penting, dengan berbekal pengalaman menjadi jurnalis, mereka bisa mengetahui pola relasi dengan orang lain.
Musabab lain, kerja jurnalis ini seratus delapan puluh derajat berbeda dengan PR. Jurnalis mencari hal yang menjadi masalah di masyarakat kemudian menelitinya dan menuliskannya.Â
Dengan harapan, problem kemasyarakatan yang ia tulis bisa terpecahkan. Bisa juga mengetuk pintu ruang-ruang pejabat publik dalam membuat keputusan dan lainnya.
Salah seorang yang menjalani pekerjaan sebagai jurnalis kemudian menjadi PR adalah Wianda Pusponegoro. Dikutip dari Kompas.com, Wianda Pusponegoro merupakan mantan awak media yang kemudian berkarier di korporasi.