Sewaktu pandemi melanda, posisi saya sudah mengurus mandiri situs lokal kecil selevel UMKM, mungkin di bawahnya lagi. Namanya wartampung.id.Â
Saya mengerjakan situs itu saban hari hanya bertiga. Saya memang lebih suka tim kecil. Kalau ada duitnya, enak dibaginya. Mulut yang diumpani tidak begitu banyak.
Sejak awal juga kami sudah bekerja berjauhan. Hanya sesekali saja ketemu di kantor.Â
Kantor di sini sebuah kamar kecil di rumah orangtua saya yang saya ubah sedikit supaya layak disebut kantor. Seorang teman membantu sebagai reporter dan urus administrasi berkas-berkas pencairan atau bukti tayang dari klien.
Seorang lagi dari kota lain menjaga web dengan baik di bidang teknologi informasi. Maka itu, ketika ada aturan soal kerja dari rumah atau dalam bahasa Inggris disebut work from home (WFH), ya kami memang sudah duluan.Â
Ketemu sesekali saja untuk sesuatu yang urgen. Selama pendapatan lancar, redaksi terurus baik, itu sudah lebih dari cukup, alhamdulillah.
Bagi jurnalis, wabilkhusus mereka yang reporter di lapangan, tentu tak ada soal mau ada aturan WFH atau balik ke work from office (WFO). Sebab, buat kami yang memang mesti bertemu dengan narasumber, tentu mesti bertemu.Â
Memang benar, ada kurang lebih setahunan banyak jurnalis di kota kami mungkin juga kota lain yang mesti berkontak dengan narasumber lewat daring.Â
Wawancara dilakukan via telepon atau panggilan video. Atau bisa juga lewat aplikasi pertemuan digital semacam Zoom dan Google Meet.
Jadi, bagi teman-teman wartawan, bekerja di mana saja bisa. Selama berita itu bisa diakses, ada narasumber yang berkompeten, dan sinyal ponsel aman, alhamdulillah.Â
Tentu kami tidak mesti pulang ke rumah dulu untuk mengirim berita. Karena semua dikerjakan di ponsel, tulisan dan foto itu bisa langsung kami kirim melalui surat elektronik (surel).