Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung pada tahun 2021 yang menyatakan angka konsumsi untuk rokok sebesar 8,0 persen. Angka ini di bawah konsumsi makanan dan minuman jadi sebesar 13,27 persen.
Konsumsi rokok bahkan masih di atas konsumsi telur dan susu yang hanya 3 persen serta daging di angka 2,01 persen.Â
Orang miskin yang merokok diyakini menghilangkan alokasi untuk kebutuhan telur dan susu bagi anak mereka. Sebagian besar pendapatan sebagian besar habis untuk rokok.
Ada teman cerita. Di kantornya ada honorer yang berpenghasilan Rp1,75 juta per bulan. Dari jumlah itu, ia mengalokasikan Rp25 ribu untuk rokok setiap hari.
Jika dikali 30 hari tiap bulan, uang untuk belanja rokok mencapai Rp750 ribu. Angka itu nyaris separuh dari duit yang ia dapat saban bulan.
Kalau kita pikir, bagaimana mungkin kepala keluarga dengan penghasilan minim bisa mencukupi kebutuhan protein anak-anaknya semisal susu dan telur.
Iklan rokok menyasar menyasar generasi muda agar ada regenerasi perokok. Sehingga batang-batang sigaret itu akan tetap punya konsumen, bahkan fanatik.
Kita punya pekerjaan rumah berat yakni mencegah stunting atau gagal tumbuh kembang anak. Anak-anak mesti sejak dalam janin diberikan asupan protein hewani yang cukup.
Anak yang dalam masa emas pertumbuhan juga sangat penting diberikan asupan protein hewani.Â
Sayangnya, bagi sebagian keluarga, si bapak lebih memilih beli beberapa linting sigaret ketimbang beli telur, daging, susu, dan ikan untuk memenuhi asupan nutrisi protein anaknya.