Intinya, fisik semua pemain ditempa gila-gilaan. Vo2Max mereka sama dengan pemain Eropa. Polosin sukses dengan gaya melatihnya.
Satu yang sering disebut banyak pakar bola adalah shadow football. Pemain diminta bermain tanpa ada bola sama sekali. Mereka hanya memvisualisasikan dalam angan ke mana bola hendak dioper.Â
Sempat juga ada ujaran. "Ini main bola apaan sih. Kerjanya lari-lari melulu."
Jika ada sesi dengan bola, tiap pemain diminta menyentuh bola sebanyak 150 kali selama 90 menit. Polosin beralasan, dengan cara ini tiap pemain punya peran dan kontribusi dalam tim.Â
Tiga bulan masa pelatnas akhirnya membuahkan hasil. Padahal usai pelatnas dan sebelum SEA Games, timnas babak belur pada pertandingan uji coba. Gawang jebol 17 kali dan hanya satu kali memasukkan.Â
Catatan suram jelang SEA Games Filipina. Namun, Polosin bergeming. Puncaknya adalah SEA Games.
Saya kebetulan waktu itu memang rajin menonton siaran TVRI kala Ferril Raymond Hattu dkk bertanding. Tiga lawan di grup yakni Malaysia, Vietnam, dan Filipina sukses dikalahkan.Â
Di semifinal, giliran Singapura dilibas lewat adu tendangan penalti. Juga demikian di final bersua favorit Thailand, Indonesia juga menang adu penalti. Kiper Eddy Harto jadi pahlawan.
Menyaksikan pertandingan saat itu, saya masih ingat betul betapa semua pemain punya daya jelajah yang tinggi. Tiap orang menekan lawan begitu bola di pihak musuh.Â
Satu fragmen yang masih saya ingat sampai sekarang adalah monemtum final lawan Thailand. Kapten Ferril Raymond Hattu sedang menguasai bola di dekat bendera kecil sepak pojok. Ia dikelilingi tiga pemain lawan.Â
Ferril bertubuh jangkung. Badannya tak begitu lebar. Tapi ia menjaga bola dengan luar biasa. Saat kakinya melindungi bola dari sergapan lawan, tangannya merentang menghalangi tiga pemain Thailand yang hendak merebut bola.Â