bola Indonesia, publik selalu mengaitkan dengan prestasi emas terakhir Garuda. Dalam ajang bola tingkat Asia Tenggara, tahun 1991 adalah masa emas terakhir. Momentumnya di SEA Games dengan Filipina sebagai tuan rumah.
Setiap kali perhelatan sepakKala itu Indonesia meraih emas sepak bola. Sampai sekarang tak pernah lagi berulang. Bahkan untuk Piala AFF pun yang dulu dikenal dengan nama Piala Tiger, Indonesia belum pernah kampiun.
Kini publik sepak bola berharap benar dengan Shin Tae Yong (STY), pelatih asal Korea Selatan. Sore ini ia akan ditantang oleh sepak bola progresif ala Vietnam.
Sosok yang sering disebut pada masa emas sepak bola Indonesia adalah Anatoli Polosin. Pelatih asal Uni Soviet ini didatangkan PSSI untuk membentuk timnas yang kuat. Polosin membawa asistennya Vladimir Urin. PSSI juga menunjuk Danurwindo untuk menemai duet maut ini.
Polosin bukan pelatih biasa. Ia punya konsep yang jelas. Fokusnya pada pembenahan fisik pemain.Â
Strategi, taktik, pola permainan, dan lainnya nomor kesekian. Yang paling diutamakan soal fisik. Polosin berpendapat, fisik adalah segalanya.Â
Pemain kita ia nilai cuma kuat main satu babak. Babak kedua sudah letoy. Jika fisik oke, permainan di lapangan akan menyesuaikan.
Fisik timnas kala itu memang dibentuk keras sekali. Pemain banyak disuruh lari dan latihan fisik lain. Berlari mengelilingi lapangan sepak bola sudah biasa. Yang tidak biasa adalah berlari mengelilingi lapangan dengan menggendong teman.
Naik turun gunung atau bukit juga dilakukan. Pemain sampai ada yang muntah. Puluhan pemain kemudian menyusut. Beberapa nama terkenal terpaksa kabur dari pusat pelatihan karena tak kuat dengan intensitas tinggi Polosin.
Kurang apa zaman itu pemain Fachri Husaini. Kurang apa juga Ansyari Lubis. Juga demikian dengan Jaya Hartono. Tiga pemain itu tercatat keluar dari pusat pelatihan.
Tapi, nama-nama seperti Ferril Raymond Hattu, Hanafing, Toyo Haryono, kiper Eddy Harto, Peri Sandria, Sudirman, Widodo C Putro, dan Rochi Putiray menjadi inti timnas.