Suatu hari pemimpin redaksi di tempat saya bekerja marah besar. Ia geram kepada salah seorang reporternya. Pasalnya, si reporter ini menulis acara persidangan yang ia sendiri tidak ada di tempat itu. Ia mendapat informasi itu dari seorang kenalan yang ia percaya benar.
Masalahnya adalah para hakim di pengadilan itu protes. Mereka yakin tidak ada persidangan yang beritanya dimuat media massa kami. Pemimpin redaksi saya tentu saja bingung. Masak iya ada berita persidangan tapi hakim di sana bilang tak ada persidangan.
Persoalan baru agak bisa diurai kala si reporter ditanya. Wartawan itu menjawab, ia mendapat informasi itu dari seorang teman.Â
Informasi itulah yang ia rangkai menjadi berita dan dimuat di koran. Padahal sejatinya hal itu tak pernah terjadi. Alamak.
Pusing tujuh keliling pemimpin redaksi. Ia memarahi reporternya. Ia wanti-wanti, besok-besok tak boleh melakukan hal itu lagi.Â
Malu besar media massanya. Wujud representasi media massa adalah pemimpin redaksinya. Kejadian yang saya tulis sebagai preambule narasi ini benar adanya.
Dalam logika saya, kok bisa-bisanya kita menulis sesuatu yang krusial tapi tidak melakukan verifikasi atau pengecekan lagi. Tapi yang aneh juga, kok iya bisa-bisanya punya teman kasih informasi yang ternyata bohong. Hoax ternyata sudah terjadi sejak lama sebelum era disrupsi media seperti sekarang.Â
Catatan ini hanya sekelumit dari kesalahan fatal yang dilakukan wartawan. Yang lainnya masih ada. Saya mencoba menguraikan tiga hal saja. Nanti kalau ada lagi, ya saya tulis sebagai lanjutan.
Kesatu, tidak disiplin verifikasi dan mudah percaya
Jurnalis itu dituntut skeptis. Ia mesti punya kecenderungan tidak mudah percaya dengan informasi awal yang masuk kepadanya. Skeptis ini penting supaya ada filter pertama bagi jurnalis itu.Â