Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Esai untuk Tere Liye

1 Januari 2023   20:20 Diperbarui: 1 Januari 2023   21:53 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Usai menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 2 Rawalaut, Bandar Lampung, tahun 1991, saya melanjutkan pendidikan ke SMPN 2 Tanjungkarang. SMP ini paling favorit di Bandar Lampung. Nilai yang masuk ke sini mesti besar. Dulu masuknya pakai nilai Ebtanas murni atau NEM. Yang usianya 40-an tahun jalan sekian, pasti paham bagaimana dulu sistem untuk masuk sekolah, hehehe.

Waktu masuk SD, saya sudah piawai membaca dan menulis. Maksudnya membaca buku dan menulis sederhana. Belum menjadi keterampilan khusus. Masuk SMP, saya mulai menulis. Medium utamanya majalah dinding. Alat utamanya mesin tik. Karena belajar mengetik saat SMP, saya lumayan piawai menggunakan sebelas jari, maksudnya telunjuk kiri dan kanan.

Di daerah Kikim, Lahat, Sumatera Selatan, ada anak seusia saya. Namanya Darwis. Ia juga sudah mulai suka membaca. Bahkan, bacaannya "berat" untuk ukuran anak seusia kami. Saya belum begitu berat-berat amat bacaannya. Karena ibu seorang guru sekolah dasar, setiap akhir pekan dia pinjam beberapa buku dari perpustakaan. Kebanyakan biografi. Seingat saya biografi Jenderal Ahmad Yani, Komodor Agustinus Adisucipto, Komodor Suryadarma, dan beberapa novel saya baca.

Darwis tadi saat di SMP-nya, sudah bisa bikin karya tulis yang ia kirim ke beberapa media massa cetak. Saat Darwis bisa menulis, saya belum sampai tahap ke sana. Isi otak saya rupanya beda kelas dengan Darwis ini.

Usai SMP, saya masuk SMAN 2 Bandar Lampung, tahun 1994. Lagi-lagi ini sekolah paling favorit di Lampung. Kelas II, saya bahkan sempat jadi ketua umum OSIS. Bangga sih, soalnya dari empat ratusan siswa, hanya saya yang ketua umum OSIS. Ya iya kali, masak iya ketua umum OSIS ada banyak.

Darwis hijrah ke Bandar Lampung usai menyelesaikan pendidikan SMP di Kikim, Lahat, Sumatera Selatan. Darwis masuk SMAN 9 Bandar Lampung. Ini nama baru sekolah ini. Saat tahun 1994 kami masuk SMA, sekolah ini masih bernama SMAN 5 Tanjungkarang.

Kesukaan menulis saya masih terjaga dengan acap menulis untuk majalah dinding. Sesekali saya menulis di majalah sekolah. Nama majalahnya Derap Pelajar yang diakronimkan dengan Deppel. Karena saya ketua OSIS, tulisan saya pasti masuklah, masak enggak, hahaha. Namun, kapasitas menulis saya baru sampai situ. Padahal pas SMA ini bahan bacaan banyak. Seingat saya kami di rumah masih berlangganan koran Lampung Post.

Darwis, di sekolahnya, kurang lebih berjarak lima kilometer dari sekolah saya, sudah lebih tinggi level menulisnya. Usia SMA itu ia sudah mampu menulis opini di Lampung Post. Orang Betawi bilang, eh busyet nih anak, masih SMA sudah bisa menulis dan dimuat di media lokal ternama. Padahal yang mengirim tulisan ke Lampung Post kala itu orang-orang hebat. Ada dosen, politisi, pejabat pemerintah, dan lainnya. Darwis sudah mampu menulis ini. 

Soal Darwis mampu menulis di Lampung Post ini sebetulnya saya tahu sudah belakangan, saat saya di kampus. Beberapa kakak tingkat yang cerita, ada anak SMA rajin menulis ke Lampung Post. Anak yang dimaksud itu ya Darwis.

Benar-benar isi kepala dan cara pandang yang berbeda 360 derajat. Kala SMA saya baru sanggup menulis di majalah sekolah dan majalah dinding, Darwis sudah bisa menulis di Lampung Post. Levelnya memang dua kelas di atas saya nih anak, hahaha.

Usai SMA, saya masuk Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (Unila). Darwis tembus Fakultas Ekonomi UI. Hmm, makin beda lagi kelasnya. Masuk UI itu setahu saya susah lho. Bahasanya itu, passing grade-nya tinggi. Entahlah kalau waktu itu saya juga coba UI sebagai pilihan kala UMPTN. Kayaknya sih enggak masuk juga, hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun