Dalam sebuah hadis diceritakan, di sebuah kapal berkumpul banyak orang. Ada yang duduk di bagian atas, ada pula yang duduk di bawah. Masalahnya adalah air minum hanya ada di bagian atas. Sehingga orang yang di bawah mesti ke atas untuk meminta air. Karena sering bolak-balik, orang di bagian atas sering tepercik. Maka, orang di atas masa bodoh dengan orang di bawah. Mereka kemudian tak mengizinkan orang di bawah ambil air di atas.
Jika itu terjadi, cara paling gampang orang di bawah mengambil air adalah dengan membocorkan lambung kapal agar bisa dapat air. Air memang didapat tapi kapal akan tenggelam dan memusnahkan semua penghuninya.
Ini amsal kepada kita bahwa jika tak ada kepedulian untuk membantu para duafa, akan terjadi pergesekan sosial. Akhirnya ada orang yang mencuri hanya sekadar ingin makan, orang mencopet demi kebutuhan dapur rumahnya, dan sebagainya.
Untuk itulah, semua muzaki, dengan apa pun kontribusinya, mesti membantu saudaranya yang papa.
Media massa hadir menjembatani itu. Media massa membuat liputan yang menarik sehingga memberikan gambaran betapa banyak orang yang mesti dibantu. Kabar soal mereka yang duafa kemudian dibaca banyak orang lewat media massa.
Sinergi media massa dan lembaga zakat atau lembaga kemanusiaan kemudian membuat makin banyak orang mau membantu. Sinergi semacam ini setidaknya mempercepat upaya kita membantu saudara-saudara yang membutuhkan.
Satu pekerjaan penting para Jurnalis tentu saja menyajikan profil orang-orang miskin itu dengan baik. Bikinkah dengan tulisan yang memikat. Tak sekadar mendedahkan perihal kesulitan mereka. Tapi juga memberikan informasi yang inspiratif bahwa di tengah kesulitan, mereka tetap optimistis. Meski miskin, mereka tidak mau meminta-minta. Meski duafa, mereka tipikal pekerja keras. Meski papa, mereka masih menyisihkan untuk juga berderma. Masya Allah.
Dengan paparan demikian, harapan kita adalah deraian air mata dari pembaca akan menjadi simpati tersendiri. Jika lebay sampai mengucurkan air mata, mungkin rasa empati yang muncul.
Tapi deraian air mata dan simpati saja tidak cukup. Deraian air mata dipicu karya jurnalistik yang memikat tadi mesti mengejawantah dalam bentuk gerakan. Gerakan untuk membantu mereka yang miskin. Gerakan untuk mengangkat kehidupan yang papa. Gerakan mengeluarkan duafa hingga menjadi orang yang mampu dan berdaya.
Saking pentingnya bergerak dalam upaya membantu orang-orang yang kesusahan, ada banyak media massa mempunyai satu divisi sendiri yang mengurus filantropi. Katakanlah yang terkenal dalam skala skala nasional, Pundi Amal SCTV.
Jadi, yang kita butuhkan sekarang adalah media massa yang tak sekadar memberitakan, tapi juga mengawal isu kemanusiaan ini sampai ada wujud yang konkret. Media massa mesti bisa menjadi agen filantropi yang dengan aksesnya mendorong orang kaya dan perusahaan untuk mau mambantu. Sampai pada sebuah titik, media massa menjadi matang dan menjadi entitas yang berguna dalam konteks kemanusiaan.