Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan melarang OSIS terlibat dalam Masa Orientasi Sekolah (MOS). Pertimbangan Menteri, meminimalkan praktik bully, anarkis, dan hal-hal nyeleneh lainnya dalam MOS. Sebuah putusan yang mahatepat buat meredam banyaknya kasus kekerasan dalam MOS.
Namun, sebagai mantan ketua umum OSIS SMAN 2 Bandar Lampung, saya sepenuhnya tidak sepakat jika OSIS sama sekali tidak dilibatkan. Apa pun perannya, sebagai organisasi resmi dan bernaung di bawah sekolah, OSIS tetap layak untuk dilibatkan.
Beberapa pengalaman, catatan, dan usulan dalam tulisan ini mungkin berguna buat MOS di masa depan.
Pak Anies, memang benar, kematangan para guru jelas lebih baik jika dibandingkan anak-anak pengurus OSIS yang masih belasan tahun. Namun, akan lebih baik OSIS juga dilibatkan. Peran mereka tetap dibutuhkan dalam MOS. Sebab, mereka juga ingin memperkenalkan organisasi yang ada di sekolah dan seluk beluk lainnya. Kita ingin MOS itu berjalan dengan lancar, asyik, dan tetap meremaja. Sebab itu, rangkullah pengurus OSIS dan tawarkan sinergi macam apa yang bisa dilakukan dalam MOS.
Waktu kami dahulu di OSIS SMAN 2 Bandar Lampung, terutama waktu kami didapuk menjadi ketua umum, soal yang nyeleneh-nyeleneh itu sudah saya larang dan perketat. Tak ada itu pakai atribut aneh-aneh. Suruh bawa macam-macam yang enggak genah, dan sebagainya.
Peran guru waktu itu sentral sekali. Bahkan, mayoritas acara dalam MOS, diisi oleh guru. Peran OSIS membantu dalam hal teknis, menjadi penanggung jawab kelas, menjadi kakak asuh, serta ini buat saya yang penting, menjaring semua anak masuk ke dalam ekskul.
Kami mengupayakan sekali, semua anak punya ekskul. Kenapa ini penting. Sebab, kami ingin semua anak baru punya tempat untuk menumpahkan segala kreasi dan inovasi mereka dalam ekskul. Tentu ini hal urgen buat kami karena bagaimanapun juga kecerdasan tak hanya diukur dari ruang-ruang kelas, angka di rapor, juga hasil UN. Kami dahulu sudah sadar, adik-adik ini mesti diberi ruang yang luas untuk berkrerasi.
Dan untuk itu, akan lebih mudah jika porsi untuk OSIS dan lembaga ekskul lainnya diberikan ruang. Soal penataan jadwal, saya kira tak sulit untuk dilakukan. Sejak awal, jika OSIS dilibatkan, jadwal bisa disusun dengan rapi dan terstruktur. Ini juga menghindari adanya oknum senior yang mau ikut-ikutan "menatar".
MOS itu tentu bukan sekadar memberitahukan semua ruang kelas, nama-nama guru, cara belajar, dan sebagainya. Itu bisa dilakukan usai mereka masuk dan belajar rutin. Yang mesti ditumbuhkan adalah kesadaran bahwa adik-adik yang baru masuk ini mesti belajar dengan giat dan menyenangkan. Mereka mesti tahu visi dan misi sekolah itu apa. Dan, diberi tahu pula, potensi mereka ada di mana sehingga pilihan mereka dalam penjurusan sesuai dengan potensi masing-masing.
Kawan sebaya, dalam hal ini kakak kelas yang terlembaga dalam OSIS, pasti lebih kena dalam memberikan informasi ketimbang guru. Sebab, namanya saja anak remaja, mungkin mereka akan lebih enak curhat dengan kakak kelas ketimbang guru. Guru mungkin ya nanti, usai kegiatan belajar mengajar dimulai dan anak paham tabiat masing-masing guru.
Bukti empirik memang tak bisa saya tuliskan dalam bentuk yang ilmiah. Namun, saat kami, tahun 1996 dulu ikut sibuk dalam MOS, manfaatnya sangat banyak. Hampir semua adik-adik kami, yang kemudian lulus tahun 1999, aktif dalam ekskul. Saban minggu, sekolah ramai oleh siswa. Yang Pramuka sedang berlatih, yang PMR juga demikian, yang olahraga sedang berlatih, yang Rohis sedang meramaikan masjid, yang majalah sekolag Derap Pelajar (Deppel) juga sedang asyik pelatihan jurnalistik, yang Paskibra sedang berlatih baris berbaris, dan sebagainya.