Ilustrasi: money.cnn.comMenjadi jurnalis yang baik itu tidak mudah. Pasalnya, sebagai insan pers, ia mesti menempatkan diri sebagai penyuara hati rakyat. Kebutuhan warga pembaca terhadap berita yang informatif, menjadikan seorang jurnalis mesti jeli dalam menulis. Dan itu diawali dari cara wartawan menempatkan sudut pandang berita atau angle.
Dari pengalaman di lapangan, saya mendapati, ada beberapa jurnalis yang berperan sebagai juru tulis saja. Ia tidak mempunya bahan apa pun saat bertemu dengan narasumber. Ada sih, tapi minim. Apalagi jika mewawancarai narasumber dengan keroyokan. Jurnalis yang malas hanya menengadahkan alat rekamnya ke dekat mulut narasumber kemudian menulis sesuai dengan apa yang disampaikannya.
Ada juga bahkan, sudah beberapa lama menjadi jurnalis, tidak punya keberanian untuk mewawancarai narasumber sendirian. Maunya beramai-ramai. Bagaimana hendak mendapat bahan liputan yang baik dan khas serta "mewah", jika bertemu narasumber bersama jurnalis lainnya.
Beberapa bulan belakangan, saya dihadapkan dengan persoalan ini. Usai didapuk menjadi pemimpin redaksi portal berita jejamo.com, saya mesti memberikan arahan kepada reporter setiap hari, baik briefing (taklimat) pagi atau sore hari.
Ini penting diadakan supaya setiap reporter mempunyai sudut pandang berita yang mau ditulis. Rasanya tak kurang-kurang memberikan taklimat dari A sampai Z untuk sebuah bahan liputan yang kami olah sendiri.
Namun, persoalannya kemudian, menjadikan reporter cakap dalam mencerna hasil taklimat itu yang masih bermasalah. Kadang di lapangan, isu yang sudah disiapkan semalaman, menjadi mentah. Ada kalanya beralasan narasumber tidak ketemu, narasumber tidak mau ngomong, dan sebagainya.
Yang mungkin cukup makan waktu untuk dibenamkan di benak jurnalis adalah, jangan bersikap seolah-olah menjadi "humas" buat narasumber. Apatah lagi narasumber yang berasal dari instansi resmi pemerintahan. Pasalnya, fenomena sosial yang dipotret jurnalis di lapangan adalah fakta. Bertemu dengan narasumber dari pemangku kepentingan adalah bahan mengonfirmasi.
Persoalannya, fakta yang "basah" di lapangan kemudian menjadi "kering" ketika porsi penjelasan narasumber malah paling banyak. Mengalahkan fakta yang ditemui di lapangan.
Zaman sekarang, di mana informasi media online mesti tampil lebih cepat dengan tingkat akurasi yang terjaga, kemampuan jurnalis mestinya lebih baik. Ia mesti tampil dengan trengginas di lapangan. Mampu merekam setiap detail yang terjadi. Dan yang tak kalah penting, menjadikan isu yang bersifat publik menjadi tulisan yang relevan dan enak dibaca.
Ada pengalaman kecil sewaktu mereportase beberapa isu. Kadang cerita ini lucu, unik, membanggakan, sekaligus juga keprihatinan.
Kalau tak salah, tahun 2009, Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Asyari yang asal PKS, meresmikan rumah susun sewa (rusunawa) di kompleks kampus IAIN Raden Intan Lampung. Saya ingat, itu hari Jumat. Lantaran pejabat tinggi sekelas menteri, wartawan yang hadir bejibun.