Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Banjir, Jokowi, dan Lemahnya Kritik Media

13 Januari 2014   13:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 2844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389606087947323091

[caption id="attachment_315537" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Jakarta masih banjir. Setahun lebih Jokowi dan Ahok berkuasa, banjir masih saja terjadi. Saya tidak tahu, efek pengerukan banyak waduk yang dikerjakan Jokowi, seberapa jauh memberikan dampak meredam hebatnya banjir. Ada banyak kawan, terutama yang memang tidak pro-Jokowi, yang membuat status di Facebook dan Twitter. Mereka mempertanyakan betapa media tidak memberikan proporsi yang layak untuk Jokowi. Maksud mereka, mengapa media tidak keras mengkritik Jokowi lantaran banjir masih saja terjadi. Mari kita dedahkan persoalan ini dari sudut pandang jurnalisme. Sejak Jokowi terpilih menjadi gubernur Jakarta, liputan media massa memang cukup intes. Apa pun yang dikerjakan Jokowi, media meliputnya dengan gencar. Blusukan yang dikerjakan Jokowi--yang boleh jadi dikerjakan juga oleh kepala daerah lain--gencar diwartakan. Karena gencarnya pemberitaan, persepsi publik menjadi terpatri, bahwa Jokowi adalah kepala daerah idaman. Ia yang terbaik di kelasnya. Bahkan, wajar kalau ia digadang-gadang menjadi presiden, meski mantan Wali Kota Surakarta itu selalu mengelak untuk mengiyakan. Dari sudut pandang jurnalisme, Jokowi adalah pihak yang semestinya dikontrol. Soal ia berprestasi, itu benar. Soal ia rajin blusukan dan berusaha menjadi kepala daerah yang dekat dengan rakyat, itu juga mesti diapresiasi. Soal Solo bagus di tangan Jokowi, memang sudah semestinya diberi tahu kepada publik. Namun, peran media itu mengontrol kekuasaan. Itulah asasinya peran media massa. Sejujurnya, sejak nama Jokowi melesat, media memang hampir tidak mengkritik kader PDIP itu. Benar bahwa "name make a news", nama itu membuat berita. Apa yang dilakukan selebritas atau sosialita selalu menarik untuk diikuti. Sosialita bisa siapa saja. Artis, sudah tentu. Bintang film, apalagi. Politikus, juga bisa. Masalahnya ialah Jokowi ini penguasa, ia pegang wewenang. Ia punya anggaran. Ia punya otoritas. Siapa pun penguasa, media wajib mengontrol! Dan kontrol itu wujudnya skeptis dalam cara memandang! Semestinya, meskipun Jokowi itu baik, dia tetap politikus. Ada motif politik di balik setiap tindakannya. Ada strategi politik yang ia usung. Ia juga ada motif menjadi yang terbaik. Ideologi politik itu kekuasaan. Semakin sukses seorang politikus, semakin tinggi kursi yang ia dapat. Kalau sekarang Jokowi berada di kursi gubernur, boleh jadi kursi presiden adalah incaran berikutnya. Ini manusiawi. Lumrah. Tak ada masalah. Yang menjadi masalah ialah jika media massa malah ikut larut dana euforia penokohan itu. Jokowi sekarang adalah gubernur. Ia punya tanggung jawab melayani jutaan warga Jakarta. Satu yang menjadi persoalan pelik di Ibu Kota ialah banjir. Orang punya ekspektasi, datangnya Jokowi mampu menyelesaikan persoalan banjir, meski untuk bebas total dari banjir dalam setahun dua tahun, jelas tidak mungkin. Publik pun mestinya cergas. Tak seorang pun gubernur yang bisa menyelesaikan persoalan banjir dalam waktu singkat. Namun, warga tidak mau tahu. Siapa pun gubernurnya, ia harus bisa menuntaskan problem banjir. Tidak peduli bahwa air banjir itu berasal dari Bogor, Jokowi harus bisa menuntaskannya. Di sinilah peran media massa itu muncul. Media tetap harus mengkritik Jokowi bahwa ia belum bisa menuntaskan persoalan banjir. Kalau Jokowi bilang butuh waktu, jurnalis mesti cekatan bertanya, "Dalam program Bapak, kapan Jakarta akan bebas banjir, minimal tidak sedahsyat selama ini." Tugas jurnalis itu bertanya, memverifikasi. Sebab, lisan jurnalis itu mestinya mewakili artikulasi masyarakat. Kalau warga mau Jakarta bebas banjir, itu pula yang semestinya disuarakan jurnalis dan media. Wajar jurnalis bertanya kapan Jakarta bebas banjir. Satu hal yang juga bisa dilakukan oleh jurnalis ialah memverifikasi. Kita tahu Jokowi dan jajarannya sudah bekerja keras untuk mewujudkan Jakarta yang lebih baik. Kita tahu Jokowi juga sering blusukan. Nah, ketimbang gencar memberitakan blusukan Jokowi yang kemudian dipersepsi publik sebagai pencitraan, media dan jurnalisnya mesti punya sikap. Verifikasi paling sederhana ialah cek lagi daerah yang pernah Jokowi datangi, kemudian lihat apa perubahannya. Kalau setiap daerah yang di-blusuki Jokowi belum ada perubahan, tanyakan hal itu. Mengapa blusukannya belum mempan. Itulah porsi tugas jurnalis. Sehingga, publik juga punya panduan. Tidak sekadar memberitakan yang oke punya, tapi kritik pun wajib dilontarkan. Media kita rata-rata memang galau dalam bersikap. Mungkin lantaran terpatri selama ini dengan banyak bad news, sekalinya ada good news, langsung menjadi tren. Dahulu, saat Partai Keadilan pertama kali berkiprah, liputan media massa cukup intens. Saat banyak anggota dewan dari partai itu mengembalikan dana APBD yang diberikan kepada setiap anggota dewan, media meliputnya cukup massif. Saat partai berideologi Islam itu cepat berdemo soal konflik di Palestina dan Irak, media juga memberitakan dengan bagus. Saya ingat, saat ratusan ribu massa PK ini berdemo soal Irak, koran Media Indonesia menulis tajuk khusus untuk itu. Bahkan, ditayangkan pula di acara editorial MetroTV. Saat itu, sedikit yang mengulas bagaimana arah partai ini di masa mendatang. Adakah kekhawatiran bahwa sikap partai ini akan berubah saat suara yang mereka raup cukup signifikan di pemilu mendatang? Adakah skeptisisme publik, bahwa partai ini akan selamamya bersih, bersikap hitam-putih dalam ranah politik yang abu-abu? Jawabannya hampir tidak ada. Jadi, saat PK besar yang bermetamorfosis dalam PKS, media sontak berubah. Yang paling kentara, saat bekas Presiden PKS Luthfi Hasaan Ishaaq terjerat dalam korupsi daging sapi. Contoh lain, munculnya Megawati, Abdurrahman Wahid, dan Susilo Bambang Yudhoyono. saat Pemilu 1999 digelar, nama Megawati menjadi bintang. Poskonya tersebar di mana-mana. Liputan media massa juga menjadikan Mega menjadi bintang. Semua sudah memprediksi, PDIP akan meraup suara paling besar. Dan itu terbukti. Media galau. Semua yang soal Mega adalah liputan yang seksi dan jauh dari kritik. Mega menjadi megalomania. Ia kemudian menjadi pihak yang sulit dikritik. Gus Dur juga demikian. Saat ia terpilih menjadi presiden, hampir tidak ada kritik media soal gaya kepemimpinannya. Bahkan, banyak tokoh LSM yang mencekatinya dan berada di lingkaran Istana. tapi apa yang terjadi kemudian. Gus Dur menjadi sulit dikritik. Lawakan Bagito saja ia marahi sampai personel Bagito mesti minta maaf atas lawakannya yang sarat kritik kepada mantan Ketua Umum PBNU itu. Hadirnya Yudhoyono juga sama. Ia menjadi pihak yang terzalimi Mega, dan itu diangkat oleh media. Sampai SCTV saja memberikan porsi khusus kepada Yudhoyono untuk wawancara spesial, yang tak pernah diberikan kepada pihak lain. Tapi, apa yang terjadi saat jenderal ini berkuasa? Apakah Indonesia lebih baik? Media semestinya semakin hari semakin bijak dalam melakukan pemberitaan. Munculnya seseorang dalam ranah politik, tidak mesti selalu diberitakan bombastis. Selalu ada motif politik di dalamnya. Sekarang ada Dahlan Iskan yang cukup punya magnet media. Ada juga sosok Anies Baswedan. Media dan jurnalis memang tak perlu antipati dengan politikus. Sebab, setiap politikus adalah narasumber. Selama pemberitaan masih proporsional dengan tugas mereka selaku politikus dan legislator, sewajarnya memberitakan. Namun, jika sudah taraf membesar-besarkan, itu yang tidak bagus. Wajar kalau seorang jurnalis Kompas yang juga bidan Kompasiana, Pepih Nugraha, sampai menulis buku Ranjau Biografi. Maksudnya, ketika jurnalis menulis perihidup seorang politikus, memang perlu hati-hati, jangan terjebak dalam tulisan yang meninabobokan. Termasuk juga menulis segala sesuatu tentang tokoh yang sekarang sedang menjadi publikasi utama media massa: Jokowi. Nah, apa yang mestinya dilakukan media terhadap banjir di Jakarta sekarang, dan memosisikan Jokowi? Banjir Jakarta adalah wujud ketidakberesan yang terjadi di masyarakat. Soal masyarakat masih suka membuang sampah, itu benar, dan Jokowi juga mengatakan itu. Soal sungai besar di Jakarta adalah ranah otoritas Pusat, itu juga benar, dan Jokowi mengakuinya. Soal Jakarta bebas banjir masih lama, itu juga benar, dan Jokowi pun mengiyakannya. Persoalannya ialah banjir ini mengganggu aktivitas warga. Namun, banjir bukan berarti tidak bisa diatasi. Banjir pasti bisa diatasi, dan saya yakin Jokowi juga punya keyakinan yang sama. Namun, keyakinan itu mesti terejawantahkan dalam strategi, konsep yang matang, terencana, terukur, dan butuh rupiah yang besar. Sekarang yang mesti didorong oleh media ialah mengkritik cara kerja Jokowi dalam mengatasi banjir. Media mesti mendorong agar tugas Jokowi dalam membebaskan Jakarta dari banjir lebih terukur, terencana, dan transparan. Apa yang mau dilakukan "capres" itu ke depan, berapa butuh duit untuk mengurangi setidaknya sepertiga banjir di Jakarta, strategi apa yang ia mau jalankan agar masyarakat juga ikut serta berperan menanggulangi banjir, dan apa upaya dia untuk mengajak pemerintah pusat dan provinsi lain dalam meminimalkan potensi banjir. Skeptisisme media bukan berarti ingin menjebloskan Jokowi pada pilihan yang tidak prorakyat dan mencemarkan nama baiknya. Justru media "menolong" Jokowi dan Ahok dalam bekerja. Termasuk saat media mengkritik Ahok yang masih menggunakan mobil menuju tempat kerja, sedangkan ada aturan untuk tidak menggunakan mobil ke tempat kerja. Itu yang benar. Jadi, mulai sekarang, berlakulah proporsional. Kinerja Jokowi perlu dipantau. Banjir yang sekarang terjadi juga mesti jadi pintu masuk media memberikan kritik kepada Jokowi. Bad news is good news, good news is still news. Wallahualambissawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun