Salah satu destinasi yang sekarang cukup disukai adalah Pulau Pahawang. Dari pusat Kota Bandar Lampung, Pulau Pahawang ini bisa ditempuh selama satu setengah jam. Dari Bandar Lampung, kita mesti menuju Dermaga Ketapang di Kabupaten Pesawaran. Kalau kita naik motor, titipkan saja kuda besi itu di rumah penduduk di sekitar Dermaga Ketapang. Sekadar memberikan uang penitipan tentu saja. Dari sini, perjalanan menuju Pulau Pahawang mesti ditempuh dengan perahu motor. Tidak lama kok. Sekitar setengah jam saja. Dan dijamin, perjalanannya cukup indah. Sejauh mata memandang, kita bisa menyaksikan beberapa pulau kecil di pesisir Teluk Lampung ini. Dan beberapa gugusan terumbu juga bisa kita nikmati dengan baik. Kondisinya cukup bagus. Dengan mata telanjang, kita bisa melihat kedalaman laut.
Pulau Pahawang ini masuk ke dalam Kabupaten Pesawaran. Ini kabupaten yang relatif baru. Dahulu wilayah ini masuk ke dalam Kabupaten Lampung Selatan. Apa sih yang ditawarkan Pulau Pahawang sebagai destinasi wisata? Hmm, sabar, Bro dan Sista. Ada cerita menarik sebelum Pahawang seperti sekarang. Begini kisahnya.
Pulau Pahawang ini dilingkupi oleh hutan bakau. Di sisi lain, pulau indah ini juga dikelilingi perbukitan. Konon, kata orang di sini, di atas bukit itu ada makam keramat. Lantaran itu, penduduk pulau tak berani merusak ekosistem di dalamnya. Andaipun mereka berladang, tidak sampai merusak bentangan alam di dalamnya. Kearifan lokal ini masih terjaga sampai dengan sekarang.
Masalah timbul pada 1970-an. Tauke besar asal Taiwan, tertarik untuk membeli batang mangrove yang lebat di pesisir pulau ini. Harga tinggi yang ditawarkan membuat penduduk menjadi tergoda. Akhirnya, puluhan hektare hutan mangrove dibabat. Kayunya diambil. Akarnya dicabut. Cacing yang ada di akar mangrove juga diambil serampangan untuk makanan ikan. Penduduk tidak sadar, bencana mengancam mereka. Tidak ada lagi sabuk hijau yang melindungi mereka dari abrasi. Akhirnya bencana itu datang. Nyamuk pemicu malaria masuk ke rumah penduduk. Habitat mereka di hutan bakau terusik. Saban minggu, ada saja warga yang dirawat di rumah sakit karena terkena malaria. Saat pasang, air laut mendekati rumah penduduk. Kadang jika sedang tinggi, air masuk tanpa permisi. Kawanan monyet yang berdiam di hutan bakau juga bermigrasi ke kebun penduduk. Tanaman buah dan sayuran yang ditanam petani setempat menjadi korban. Mereka tak jadi panen. Tanaman mereka diserang kawanan primata itu.
Lambat laun, kesadaran mereka untuk kembali menjaga hutan mangrove muncul. Ditambah dengan kehadiran organisasi nonpemerintah Mitra Bentala, penduduk Pulau Pahawang bangkit. Mantan Kepala Desa Syahril Karim dan beberapa tokoh lainnya, tampil ke muda. Awalnya sulit meyakinkan penduduk supaya mau merehabilitasi kawasan hutan mangrove. Tapi demi kebaikan bersama, penduduk bahu-membahu menanami kembali lahan hutan bakau yang rusak.
Penduduk yang awalnya mencari cacing di akar mangrove kini menghentikan aktivitasnya. Sebab, dengan merusak akar mangrove, berarti merusak kehidupan flora itu. Mereka yang dahulu menebang batang mangrove, juga menyetop kegiatannya. Warga yang bekerja sebagai nelayan dan terbiasa menggunakan pukat harimau, kini berhenti melakukan aktivitas terlarang itu.
Herza Yulianto, Direktur Mitra Bentala, mengatakan, awalnya memang sulit untuk mengajak warga Pahawang memperbaiki hutan amngrove yang rusak. Mereka berpikir, berapa banyak duit yang dikeluarkan untuk menanami kembali hutan bakau yang rusak. Mereka juga khawatir, ikan yang mereka peroleh selama ini dari pukat harimau, akan berkurang jika menggunakan jala dan keramba. Herza menuturkan, untunglah,kesadaran warga terhadap kearifan lokal yang dulu mereka miliki, kembali lahir. Gerakan memperbaiki lingkungan yang rusak akhirnya menjadi aktivitas yang massif. Tak hanya orangtua, anak-anak di sana juga berupaya mengembalikan keasrian mangrove Pulau Pahawang.
Syahril Karim, mantan kepala desa yang menjadi motor penggerak di sana, mengatakan kesadaran warga ini hasil refleksi semua penduduk. Mereka yang sudah menjadikan bukit di sisi atas pulau sebagai daerah keramat, kemudian mengimbas ke hutan mangrove yang akan mereka perbaiki. “Kalau kami punya kesadaran dan kearifan terhadap hutan di bukit di atas pulau, hal yang sama semestinya bisa kami lakukan untuk mangrove dan kawasan pesisir pulau ini,” ujar Syahril Karim.
Supaya kuat, lembaga pun dibentuk. Nama yang disepakati untuk lembaga yang bakal melindungi proyek penanaman kembali hutan bakau ini ialah Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM). Sejak itu, warga giat menanami kembali pesisir pantai dengan batang mangrove. Bibit mereka semai sendiri. Duitnya patungan dan dapat bantuan dari beberapa pihak. Anak-anak saban minggu dikerahkan untuk menanami bibit mangrove.
Peraturan desa pun dibuat. Ini penting agar pelanggar hukum di desa ini bisa dibuat jera. Pasalnya, meski sudah dibikin lembaga dan aturan, ada saja penduduk yang nakal. Mengebom ikan dengann pukat harimau, membabat batang mangrove, sampai dengan merusak terumbu, sesekali terjadi. Dengan peraturan desa, lembaga memagari para pelanggar agar tak mengulang perilaku banalnya.
Setelah sepuluh tahun bekerja memperbaiki lahan yang rusak, hutan mengrove di Pahawang menghijau. Luasnya tidak main-main: 30 hektare. Yang dahulu kerontang, kini subur dan menghijau. Lingkungan makin asri. Ikan beranak pinak dengan sempurna. Terumbu pun terjaga. Abrasi tiada lagi. Wabah malaria juga menepi. Dan primata kembali punya habitat yang sempurna. Sebuah bukti kearifan lokal masyarakat dalam memandang lingkungan, bisa mengembalikan lagi hutan mangrove yang sempat rusak.
Lantas, apa yang dirasakan masyarakat sebagai manfaat rehabilitasi hutan bakau itu? Selain lingkungan menjadi terjaga, Pahawang kini makin ramai didatangi pelancong. Turis dalam maupun luar negeri saban minggu datang ke pulau indah ini. Mereka banyak yang berwisata alam. Menelusuri hutan mangrove, berjalan di pasir yang putih, berenang di pantai, dan menyelam.
Warga, dibantu Mitra Bentala, kemudian membikin semacam usaha pariwisata. Paket pun dibikin. Cottage sederhana dibangun. Rumah penduduk diberdayakan. Para pelancong juga tak bakal keroncongan. Ikan bakar di sini gurihnya bukan main.
Usai menyelam, mandi di pantai, berperahu mengelilingi pesisir Pahawang, atau bersepeda di sekitaran desa pulau ini, pastilah perut keroncongan minta diisi. Warga, khususnya para ibu, ketiban rezeki. Mereka menyiapkan ikan bakar. Duit masuk ke kocek, wisatawan pun senang. Dahulu, barangkali, tak terpikir, daerah ini bisa disinggahi pelancong. Pahawang kini menjadi destinasi wisata yang menawan, eksotis, dan ekonomis. Hanya dengan beberapa lembar ratusan ribu, kita sudah mendapatkan paket wisata yang lumayan lengkap. Penginapan, wisata menyelam, bersepeda, berperahu, sampai dengan keasyikan ikut menanam bibit mangrove bersama anak-anak di sana.
Lampung memang punya kearifan lokal yang kuat. Etnik ini punya filosofi piil pesenggiri atau menjaga benar martabatnya. Mereka tidak mau terus-terusan malu dengan kondisi alam yang makin rusak. Mereka mau bergerak, berupaya memperbaiki kesalahan di masa lampau. Termasuk menjaga dengan baik lingkungan di sekitar. Dahulu memang rekam jejak warga di sini banal, tapi sekarang kearifan lokal itu lahir kembali, bahkan dengan visi yang jauh ke depan. Warga di sini ingin agar Pahawang bisa menjadi destinasi yang disukai semua orang, termasuk pelancong mancanegara.
Syahril Karim menjelaskan, pada dasarnya, penduduk pulau ini memang kental dengan kearifan lokal. Terbukti hutan di bukit di pulau ini sama sekali tidak mereka rusak. Andai menanam, mereka bijak mengelolanya. Hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan kini mereka makin arif dengan menjadikan hutan mangrove sebagai aset mahapenting untuk generasi penerus. Syahril menuturkan, mereka kini siap menjadi tuan rumah yang baik untuk setiap orang yang datang. Tak hanya wisatawan, peneliti asing pun betah berlama-lama di pulau ini. Periset asing kagum dengan upaya sunguh-sungguh warga untuk merehabilitasi 30-an hektare hutan mangrove yang sempat mereka zalimi berbilang tahun yang lampau.
Warga pulau kini sadar betapa aset hutan mangrove mereka sangat berharga. Tidak hanya melindungi desa dari abrasi dan barangkali tsunami, tapi mendatangkan keuntungan ekonomis yang lumayan. Para ibu di sini makin kreatif. Buah mangrove rupanya bisa diolah menjadi makanan lumayan enak. Dodol dan sirop adalah contohnya. Memang belum masif, tapi ini oleh-oleh eksotis yang bisa dijadikan buah tangan saat pulang.
Indonesia memang dikenal dengan keramahan alam dan penduduknya, dan itu juga ada di Pahawang. Mereka sadar, alam akan memberikan manfaat jika warga mampu menjaga kelestariannya. Ada imbal balik antara upaya warga menjaga alam dengan manfaat yang diberikan lingkungan kepada manusia. Poin ini menambah kekayaan khazanah Indonesia Travel kita.
Saya beserta beberapa teman jurnalis meninggalkan pulau ini dengan kesan mendalam. Senang dengan keramahan warganya, menikmati benar ikan bakar, sambal, dan nasi panas, serta menikmati pesona pantai yang indah.
Foto: Koleksi Muhammad Reza dan Ivan Bonang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H