Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menulis Diari Hindari Bunuh Diri: Refleksi Hari Kesehatan Jiwa Sedunia

10 Oktober 2012   13:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:59 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hari ini kita memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Ke-20. Sebuah hari yang sepertinya relevan dengan zaman kiwari. Angka bunuh diri yang tinggi di Indonesia, yakni 50 ribu orang mati dalam setahun, menjadi keprihatinan bersama. Kompas hari ini banyak mengulas soal itu. Dan saya tertarik untuk menulis ini karena sangat menarik. Lebih tertantang karena dalam beberapa literatur ditemukan manfaat menulis untuk meredam depresi.
Tahun 1990, seorang psikolog, James W Pennebaker, membikin penelitian. Intisarinya pada pengaruh upaya membuka diri terhadap kesehatan fisik. Judul bukunya Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions. Buku ini mengungkapkan pengalaman yang tidak mengenakkan dengan kata-kata yang bisa memengaruhi pemikiran, perasaan, dan kesehatan tubuh. Pennebaker meminta beberapa sukarelawan menulis tentang trauma mereka. Ia ingin mengetahui pengaruh kebiasaan menulis perasan terdalam dengan tiingkat kunjungan sukarelawan ke klinik kesehatan. Semua sukarelawan adalah mahasiswa.

Empat bulan setelah penelitian dilakukan, hasilnya sungguh positif. Pendeknya, kunjungan ke klinik kesehatan berkurang signifikan. Interpretasinya, menulis ternyata melepaskan energi negatif yang diterakan ke dalam naskah.

Pennebaker berkesimpulan, menulis tentang pikiran dan perasaan terdalam tentang trauma yang mereka alami menghasilkan suasana hati yang lebih baik, pandangan yang lebih positif, dan kesehatan fisik yang lebih baik. Dalam buku Quantum Writing yang dieditori Hernowo, perihal penelitian Pennebaker ini disajikan cukup lengkap.

Fatimah Mernissi, perempuan penulis asal Maroko, bahkan yakin, menulis lebih baik ketimbang operasi pengencangan kulit wajah. Kata Mernissi, usahakan menulis setiap hari. Niscaya kulit menjadi segar akibat kandungan manfaat yang luar biasa. Dari saat Anda bangun, kata dia dalam Quantum Writing (2004: 27), menulis meningkatkan aktivitas sel. Dengan coretan pertama di atas kertas kosong, kantung di bawah mata Anda akan lenyap dan kulit terasa segar kembali.
Buat saya, riset Pennebaker dan tulisan Mernissi menarik untuk dipraktikkan. Saya juga percaya bahwa dengan banyak menulis, kita tak merasa sendirian. Mungkin ada di antara kita orang yang tertutup. Sangat pendiam. Juga punya bakat pendendam. Mungkin ada masa lalu yang membuat kita begitu. Saya tidak ingin mengambil contoh orang lain. Saya ingin mencontohkan diri sendiri. Saya termasuk orang yang gagal dalam studi. Bukan gagal lantaran tidak selesai, tapi gagal karena tidak optimal. Ini dipicu dengan ketiadaan visi ketika memasuki jenjang kuliah. Kuliah yang terbilang sangat lama dan beberapa saat terbengkalai karena sibuk mencari kerja, membuat saya depresi. Khususnya di lingkup rumah dan saudara. Kebetulan saudara dari pihak bapak dan ibu sangat banyak di Bandar Lampung, tempat saya tinggal. Ujaran seperti "kapan kuliahnya rampung", "kok belum selesai juga kuliahnya", "kok lama amat studinya", dan sebagainya membuat saya depresi. Malu bertemu dengan tetangga. Sungkan bertemu saudara. Saya cuma yakin, suatu waktu studi ini rampung.

Untungnya depresi ini tak sampai ke bunuh diri. Banyak teman yang mendukung, ada aktivitas keorganisasian yang membikin saya tetap punya harga, dan saya piawai menulis artikel. Artikel yang saya bikin dan dimuat di media massa membuat saya punya kepercayaan diri. Dalam hati, tak apalah belum sarjana, membangun basis menulis saja dahulu. Siapa tahu ini bermanfaat kalau nanti lulus kuliah.

Tadinya saya hendak meneruskan kebiasaan menulis diari untuk meredam depresi. Tapi itu tak saya lakukan. Saya meniatkan setiap artikel yang saya buat setiap hari adalah diari. Biarlah depresi saya itu mengejawantah dalam bentuk artikel yang "serius" ketimbang curhat dalam bentuk diari. Buat saya, artikel yang saya ketik setiap hari adalah curahan hati. Cuma bedanya, kontennya saya bikin lebih luas. Saya tak kepingin aleman atau manja dengan seolah-olah stres. Dunia tak kiamat lantaran belum lulus kuliah. Untungnya, itu menolong saya. Depresi itu perlahan makin hilang. Saat ratusan artikel dipublikasikan, itu lebih dari cukup membayar depresi itu. Maka, tatkala gelar sarjana resmi disandang, kompetensi menulis saya sudah terbentuk. Bekerja di media pun relatif mudah ketimbang pelamar kerja lain yang tak punya rekam jejak menulis jurnalistik. Saya bersyukur, depresi di masa lalu tak membuat saya kufur nikmat hingga mesti melakukan hal konyol: bunuh diri.
*
Ada dua buku yang menurut saya bisa menjadi contoh jika ingin sukses dengan menulis diari. Pertama, buku Catatan Harian Anne Frank. Anne orang Yahudi. Ia dan keluarganya dikejar-kejar tentara SS Partai Nazi Jerman. Ia dan keluarga mengungsi dan berdiam di sebuah loteng di Amsterdam, Belanda. Setiap hari, Anne menulis diari. Soal perang, percintaan, hubungan keluarga, perlindungan keluarga Belanda terhadap keluara Frank, dan sebagainya. Setelah ditangkap dan meninggal dunia, ayah Anne, Otto, mengumpulkan semua catatan harian anaknya. Ia kemudian membukukan. Buku itu laris manis. Bahkan, diklaim, menjadi bacaan nonfiksi kedua terbesar yang dibaca umat manusia setelah Injil! Wow!

Buku diari kedua ialah Memoar Hasan Al Banna. Buat aktivis dakwah kampus, buku ini cukup populer. Buku ini memuat catatan harian Mursyid Aam Ikhwanul Muslimin. Dua buku ini menjadi bukti kalau suatu waktu, diari akan mewujud menjadi karya yang monumental.
So, di Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ini, kita mesti menyebarluaskan virus menulis. Kepada siapa saja. Dengan zaman yang semakin ketat dalam persaingan, kita butuh "pelarian". Dan itu bisa mewujud dalam tulisan. Bisa artikel, juga bisa diari. Terserah kita pilih yang mana. Depresi itu niscaya saja. Tapi bagaimana kita mengatasinya, itu yang utama. Yuk, nulis, ketimbang stres yang ujung-ujungnya, bunuh diri. Ih amit-amit. Naudzubillahi minzalik. Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun