Serangan serangga tomcat rupanya tidak hanya di Pulau Jawa. Meski belum terekspos di surat kabar, invasi tomcat rupanya sudah sampai di Lampung. Kebetulan di grup BlackBerry Messenger ada teman yang mengabarkan itu.
Teman saya, Dariyus Hartawan namanya, mengabarkan bahwa dua ekor tomcat ditemukan di Kota Metro, Lampung. Tepatnya di indekos milik Bapak Kaswan di Kelurahan Imopuro di Kecamatan Metro Pusat. Dari dua ekor itu, satu disimpan Pak Kaswan, sedangkan yang seekor sedang diteliti Dinas Kesehatan setempat. Serangga yang di tubuhnya mengandung racun itu memang sedang jadi pemberitaan. Serangga mirip kalajengking dengan ukuran yang lebih kecil.
Warna tubuhnya merah dengan belang hitam. Yang berbahaya, jika menggigit, kulit kita akan melepuh seperti terkena herpes. Luka hasil gigitannya umumnya berdiameter dua centimeter dan ada nanah di tengahnya. Luka akan membesar jika tidak diobati.
Bagaimana jika terkena gigitan tomcat ini?
Melanjutkan postingan Dariyus Hartawan, teman lain yang berprofesi sebagai dokter, Sinta Prabawati, ikut urun rembuk. Sinta, yang juga mengutip keterangan sumber lain, mengatakan, jika terkena gigitan, segera cuci dengan air bersih. Luka yang timbul kemudian diolesi salep hydrocortisone 1% atau betametasone plus antibiotik neomycin sulfat tiga kali sehari. Bisa juga dengan salep acyclovir 5%.
*
Ancaman tomcat ini, mengutip pemberitaan di situs Media Indonesia, berlangsung selama pancaroba. Di Bandar Lampung memang sudah terasa ada perubahan musim. Hujan dalam pekan ini tak turun. Angin juga berhembus kencang. Siang sangat terik. Di berita situs Media Indonesia disebutkan, Menteri Koordinator Bidang Kesra Agung Laksono mengatakan serangan tomcat berlangsung selama pancaroba. Ia sudah meminta semua dinas kesehatan di provinsi agar bersiaga. Ia juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian agar ikut mengatasi serbuan serangga ini.
*
Serbuan tomcat ini seperti meneruskan invasi serangga ke ranah manusia. Setahun lalu, kita juga dikagetkan dengan serbuan ulat bulu. Binatang yang menggatalkan ini menyerbu daun pepohonan dan menghabiskannya dalam waktu singkat. Meski dibasmi dengan insektisida dan pestisida, serbuan ulat bulu terus berlangsung. Ia berhenti dengan sendirinya. Kini, tomcat yang mendapat jatah melakukam serbuan.
Dalam ranah lingkungan, sebetulnya kesimpulannya gampang. Mengapa invasi serangga begitu menakutkan? Mengapa obat-obatan kurang mempan membunuh serangga pengganggu? Dan mengapa tomcat ini datang. Jawabannya ialah keseimbangan alam sudah terganggu. Penggunaan obat-obatan kimia untuk membunuh serangga ternyata membuat serangga kebal. Predatornya berupa burung juga enggan memakan serangga yang tubuhnya mengandung zat kimia. Dan burung pemangsa juga makin berkurang karena ditangkapi sebagai peliharaan.
Barangkali ada yang menganggap memelihara burung peliharaan yang diperoleh dari alam tak mengganggu rantai makanan. Apalah artinya satu-dua ekor burung yang kita pelihara. Tapo, bayangkan jika ada seratus bapak yang memelihara burung liar. Ada berapa ratus serangga yang berkeliaran bebas dan terus beranak pinak? Kalau kita kaitkan dengan invasi ulat bulu dan tomcat, wajar terjadi. Keseimbangan alam terganggu.
Predator yang mestinya menjaga rantai makanan tetap seimbang, semakin kurang. Dan tomcat pun berkeliaran kemana-mana.
Perihal penggunaan pestisida dan insektisida yang berlebihan ini sudah ditulis dalam buku khusus oleh Rachel Carsson. Judulnya Silent Spring. Musim semi yang sepi. Di Barat, umumnya musim semi itu semarak dengan tetumbuhan yang menghijau. Burung-burung juga beterbangan, mencari makanan: serangga-serangga. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, musim semi tak lagi indah. Penggunaan obat kimia dalam setiap penumbuhan tanaman, membuat burung enggan datang. Serangga pun tak punya pengendalinya. Musim semi kini sunyi, sepi. Silent spring. Buku ini masuk dalam tiga besar karya adiluhung jurnalisme dunia. Bersaing dengan Hiroshima yang ditulis John Hersey dan In Cold Blood karya Truman Capote.
*
Kita memang seharusnya menjadi arif dengan lingkungan. Sesuatu yang alami semestinya ditempatkan pada maqamnya. Yang alami barangkali menjadi urgen sekarang. Dan mungkin dengan itu, tomcat bisa dikendalikan dan tidak menjadi serangga yang "mematikan". Wallahualam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H