Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menulis Berita, Merekonstruksi Peristiwa

24 Januari 2012   00:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327380041136253861

[caption id="attachment_165803" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Anda pernah melihat reka ulang yang ditayangkan televisi? Biasanya kriminalitas. Entar pembunuhan, perampokan, atau penganiayaan. Reka ulang itu untuk menentukan detail kejadian dari kasus yang sedang diselidiki oleh polisi. Lantas, apa persamaan menulis berita dan reka ulang adegan? Begini. Menulis berita itu usaha wartawan menjelaskan sebuah peristiwa atau isu kepada pembaca. Misalnya, konser Katy Perry beberapa hari lalu. Banyak pembaca yang tidak melihat pentas itu. Namun, mereka mau tahu bagaimana ingar bingar konser sang bintang. Maka, jurnalis menulis beritanya. Ia mesti merekam adegan dalam konser itu agar pembaca bisa mendapatkan deskripsi yang detail. Gambaran kemeriahan harus hadir supaya pembaca bisa menikmati konser tanpa mesti menontonnya. Ini jelas sulit. Ditambah dengan ruang kolom dan baris di media cetak dan online yang terbatas. Akan tetapi, justru di titik itulah jurnalis ditantang. Ia kudu menulis padat dan enak dibaca. Yang jelas, konser itu mesti tergambar dalam tulisannya. Mungkin tak sama persis, tapi mendekati. Sama dengan reka adegan. Tak sama persis, tapi sudah cukup memberikan gambaran kejadian aslinya. Lingkaran Konsentris Pengajar jurnalisme di Amerika Serikat, David Protest namanya, memberikan panduan untuk jurnalis dalam melakukan reportase. Filosofinya begini. Ada kejadian yang si jurnalis tak berada di lokasi saat peristiwa berlangsung. Kalau konser berlangsung dan kita ada di dalamnya, mudah membuat beritanya. Yang sulit kalau menulis sesuatu tetapi kita tak ada di situ saat peristiwa berlangsung. Misalnya, penangkapan Muhammad Nazaruddin. Saat penangkapan, media massa tak ikut serta. Tapi berita itu kan mesti ada dan jurnalis mesti membuatnya. Jadi, bagaimana caranya agar berita itu ada? Pengajar jurnalis di Amerika Serikat, David Protest, membikin formula. Ia membuat lingkaran konsentris. Bikin titik kecil di kertas putih. Beri lingkaran di dekatnya. Beri lagi di atasnya. Selapis demi selapis. Selingkaran demi lingkaran. Makin dekat titik inti, itulah narasumber utama, sumber penting dalam penulisan berita. Makin keluar, makin tak penting. Dalam kasus penangkapan Nazaruddin, siapa di titik konsentris? Polisi yang menangkap, kedubes Indonesia, saksi mata. Siapa lingkaran di atasnya? Pejabat di Indonesia, KPK. Sebab, mereka tak ikut dalam peristiwa penangkapan. Makin ke pengamat, makin tak penting. Itu guna lingkaran konsentris. Jadi, yang pengamat itu porsinya terakhir. Dengan mendekati narasumber di dekat titik ini, narasumber makin tepercaya, sumber punya kredibilitas. Dan merekonstruksi peristiwa bisa digambarkan oleh jurnalis dengan baik. Sebab, mereka yang ada di titik inti itulah yang paling tahu detail peristiwan. Rincian kejadian mereka pahami dengan baik. Dan ujungnya berita pun mendekati kejadian aslinya. Dan pembaca pun mendapat gambaran soal peristiwa yang direportase. Sungguh manfaat dari sebuah teori jurnalisme: lingkaran konsentris. * Buat bloger yang keranjingan menulis reportase, prinsipnya juga sama. Dengan menggunakan lingkaran konsentris, jurnalis warga bisa menyerupai jurnalis media massa. Dengan begitu, karya jurnalistik yang dihasilkan akan sama mutunya. Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun