Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sahabat Digital, Dari Reuni Sampai Filantropi

27 September 2011   03:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:35 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Waktu bersekolah di SMAN 2 Bandar Lampung dulu, kami punya guru yang sangat baik. Rosa Kaswanti namanya. Ibu ini sangat disiplin. Anak yang terlambat pasti kena hukum. Teman cewek yang roknya di atas dengkul, juga bakal kena hukuman. Yang berambut gondrong apalagi. Ia tegas. Namun, kami semua menyukai Ibu Rosa. Orangya ngemong banget. Ia tidak hanya peduli dengan kelas yang diasuh atau diajar, kepada siswa lain, perlakuannya sama. Sebagai guru Tata Negara, Ibu Rosa fokus kepada kelas Sosial atau IPS. Namun, buat anak-anak kelas lain, semisal kelas “ujung” seperti Fisika atau IPA deret akhir, perlakuannya juga sama. Bahkan, seorang senior, Juwendra namanya, merasa betul dimanusiakan olehnya. Meski Ibu Rosa tak mengajar kelas mereka, mereka anggap sosok guru itu memanusiakan. Di saat guru lain mencap mereka sebagai anak nakal dan kerap berulah. Buat semua, Ibu Rosa atau biasa disapa Ibu Oca, oke deh.

Buat saya, tentu lebih istimewa. Sebab, saat saya didaulat menjadi ketua OSIS, Ibu Rosa adalah pembina OSIS sekaligus Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan. Hubungan kami sangat hangat dan baik. Apalagi setelah bertemu ibu saya yang masih ia kenal. Selama bersekolah, tak cuma soal pelajaran dan organisasi yang kami bicarakan. Soal masa depan sekolah, berkreasi untuk organisasi, dan sebagainya, juga acap kami bicarakan. Buat saya, sosok ibu itu enak diajak bicara dan ngemong sekali. Hubungan baik itu berlanjut sampai angkatan kami menjadi alumni.

Beberapa tahun setelah kami lulus, Ibu Oca pindah tugas menjadi kepala SMAN 1 Metro Kibang, Lampung Timur. Sejak itu, hubungan cuma dibangun dengan SMS. Adik kelas saat Ibu Oca hengkang dari SMAN 2 Bandar Lampung, sudah tak lagi ingat dengannya.

Sekitar tahun 2006, ibu kami itu sakit: kanker payudara. Kondisinya drop. Semua usaha dicoba untuk penyembuhan. Syukur, sekitar tahun 2008 ia sembuh. Sehat. Segar bugar. Bahkan, saat saya menikah di awal 2008, Ibu Oca datang bersama suaminya yang akrab kami sapa Om Heri. Beberapa bulan kemudian, sakitnya kambuh. Bahkan, bertambah parah. Pinggulnya keropos oleh osteoporosis. Ia pun berjalan dibantu kruk. Aktivitas mulai terganggu. Mobilitas juga berkurang. Sejak saat itu, waktu berkunjung ke beliau saya rutinkan.

Sampai suatu waktu, seorang teman, Al Amin namanya, mengusulkan untuk mengadakan pengumpulan dana untuk membantu pengobatan ibu kami itu. Saya sepakat. Nah, di sinilah bukti teknologi itu menolong. Lewat jejaring Facebook, kami undang semua alumnus SMAN 2, baik yang satu angkatan atau bukan, untuk menyumbang. Foto Ibu Oca kami pasang. Saya berikan pengantar, sekadar kabar terakhir soal Ibu Oca. Grup mandiri kami bikin dan hasilnya memang luar biasa. Ratusan pesan masuk memberikan dukungan atas usaha kami. Duit berjuta-juta juga masuk ke rekening saya yang diminta teman-teman sebagai rekening donasi.

Alumnus yang berkunjung juga banyak. Moral Ibu Oca juga terangkat karena banyak dikunjungi. Perasaan saya dan dia bertambah akrab. Kadang, saat saya bilang, “Ibu, ini ada sedikit bantuan dari anak-anak Ibu. Dari Rahman di Ghana, Alvindra di Swedia,”dia pasti menangis dan memeluk saya lama sekali. Haru. Saya benar-benar tak sanggup melihat Ibu Oca kesusahan seperti sekarang.

Sakitnya lambat laun bertambah parah. Tubuhnya mengurus dan cuma bisa berbaring. Tirus sekali. Ucapannya pun sudah tak jelas. Raut kecantikannya juga berpendar entah ke mana. Kami tak ambil pusing. Yang penting, doa dan amal saleh kami tetap kami lakukan. Entah sampai kapan. Yang penting usaha kami sudah maksimal. Usaha melalui jejaring sosial terus kami lakukan. Dana pun masih mengalir lancar. Saya kadang cuma memijat kakinya yang bertambah kurus. Tapi pancaran kasih sayangnya masih terasa.

Setelah setahun lamanya berjuang, Ibu Oca berpulang ke haribaan. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Ratusan orang melayat. Para teman yang biasa berhubungan secara digital, menyempatkan hadir, bahkan sampai pemakaman. Kami bertakziah sekaligus melepas kerinduan antar-alumni yang sudah setahun gigih mendonasikan harta yang tak seberapa buat ibu tercinta.

Tak lama setelah pemakaman, ide membantu sesama tak luntur. Kini kami sedang menggagas sebuah yayasan. Kami ingin mengabadikan nama sang ibumenjadi nama yayasan. Niat kami: YayasanRosa Kaswanti. Mungkin pekan ini kami bertandang ke rumah itu lagi. Meminta izin dari keluarga untuk memakai nama guru kami itu sebagai nama yayasan. Cuma di dua ranah kami akan bergerak: edukasi dan sosial. Selamat jalan, Ibu. Semoga amal saleh ibu diterima Allah, dan usaha kami menjadikan yayasan itu sebagai amal jariah, akan dibimbing oleh Sang Maha Pemurah. Amin……

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun