Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menulis untuk Radio, Menghadirkan Theatre of Mind

24 Agustus 2011   03:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:31 1652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_131253" align="aligncenter" width="640" caption="Media radio masih punya tempat di hati masyarakat. Konten berita atau feature di dalamnya mesti didukung dengan naskah dan klip demi menghadirkan theatre of mind. "][/caption]

Era radio belum habis. Datangnya televisi dan media cetak tak serta-merta membuat radio kehilangan pendukung fanatiknya. Demikian pula saat media internet merajalela, radio masih punya tempat tersendiri. Lihat saja di perkotaan, radio-radio anak muda dan gaul masih digemari. Bahkan, model kantor berita radio ternyata oke punya. Elshinta sudah memulainya sejak lama, bahkan telah menambah lini dengan televisi. Kantor Berita Radio 68H (KBR68H) juga mewarnai perkembangan berita radio. Bahkan, beberapa penghargaan ukuran nasional dan internasional, direbut media ini. RRI tak usah diragukan lagi.

Bahkan, di perdesaan, radio masih menjadi alat informasi yang penting. Para calon kepala daerah di Kabupaten Pringsewu, Lampung, misalnya, menggunakan radio lokal sebagai sarana promosi. Koran mereka pakai juga, tapi anggarannya cuma dua persen. Sebagian besar lewat radio karena para petani dan peladang di sana masih menyetel radionya saat bekerja. Asyik, bukan, sambil mencangkul, mengarit, santai di balai-balai sambil mendengar lagu, sesekali iklan politik kandidat kepala daerah?

Soal menghibur atau sarana informasi keluarga, radio sudah berpengalaman. Tapi sebagai media informasi publik seperti dimainkan koran, mungkin belum banyak yang melirik. Spot news yang kadang disiarkan penyiar radio masih jarang dibandingkan request musik dan salam-salam ala anak muda. Padahal, menjadi media berita oleh radio sangat memungkinkan sekali, baik dari sisi informasi maupun iklan. Radio yang baik semakin zaman mutakhir, semakin banyak menampilkan berita. Apalagi radio, bersama televisi tentunya, adalah media yang paling mungkin hadir dalam bentuk breaking news. Model berita “sekonyong-konyong” ini tak ada di koran. Kalau berita soal Libya baru besok pagi kita baca di koran, radio bisa menyiarkannya lebih cepat. Setelah satu lagu usai, reporter dari lapangan barangkali bisa melaporkan kejadian terbaru di lapangan. Dan itu yang dibutuhkan pendengar. Hiburan oke, informasi boleh juga. Imbang begitu.

Model Elshinta yang terbuka dengan publik yang mau melaporkan kejadian di lapangan patut diapresiasi. Tapi, ada baiknya jika “reporter radio warga” itu dibekali keterampilan jurnalistik yang memadai. Sebab, radio punya kekhasan. Artikel beritanya tak semudah koran yang bisa dibaca kapan saja. Radio, setelah usai satu spot news (berita pendek), ya sudah sampai di sana. Paling-paling dibikin highlight yang isinya selintas-selintas begitu. Penggunaan bahasa yang ringkas juga mesti diperhatikan.

Begini, spot news di radio itu jangan malah membuat pendengar beralih ke saluran lain. Pengelola radio mesti menjaga agar pendengar tak beralih. Karena itu, mesti ada kesesuaian antara konten hiburan dan informasinya. Berikut tips ringkas membikin tulisan di radio, khususnya berita pendek. Straight news istilah cetak, spot news mungkin yang pas di broadcast.

Pertama, bahasa jelas dan ringkas

Berbeda dengan media cetak yang tiap lariknya bisa memikat pembaca, suara reporter atau penyiar dalam konteks radio, sungguh urgen. Maka itu, bahasanya diatur. Yang jelas. Tak mengandung makna ambigu. Pakai juga kosakata yang lazim. Istilah asing yang banyak bertebaran di media cetak, boleh dipadankan dengan bahasa Indonesia. Yang penting kan informasinya tersampaikan. Tak mesti memaksa dengan menggunakan diksi asing, kecuali yang memang dikenal luas.

Contoh, media cetak senang menggunakan diksi “mengamankan” untuk menggambarkan penangkapan ataupun penyitaan. Radio umumnya tak memilih diksi “mengamankan”. Dua tahun menjadi reporter/kontributor KBR68H untuk Lampung, saya mendapat panduan seperti itu. Jadi, kalau hendak membuat berita soal penangkapan atau sejenisnya, mungkin ini lebih gurih: Polisi Kehutanan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan menyita 10 kubik kayu damar asal Lampung Barat di perbatasan kabupaten itu. Kepala Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, John Kenedi, mengatakan, selain menyita kayu, petugas juga menangkap tiga orang yang diduga menampung kayu itu. John menjelaskan, kayu damar asal Lampung Barat tidak boleh dijual ke luar daerah. Sebab, kata John, ada perda yang melarangnya.

Kedua, tak banyak variasi untuk narasumber

Karena bentuknya berita pendek, umumnya kita cuma pakai satu narasumber. Karena itu, penyebutan narasumber mesti berulang. Mungkin akan bosan, tapi ini penting untuk menghindari kalimat panjang dan adanya pendengar baru. Begini. Kalau nama narasumbernya dalam tiga kalimat itu berbeda artibutnya, saat pendengar baru menyetel radio di baris kedua, ia akan bingung. Siapa yang dimaksud di kalimat itu. Betul, bukan? Makanya, nama narasumber disebut berulang-ulang. Contoh:

Polda Lampung menempatkan satu penembak jitu di setiap gerbong kereta api dari Stasiun Tanjungkarang ke Stasiun Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan. Kapolda Lampung Sulistyo Ishak mengatakan, hal itu dilakukan untuk mengantisipasi tindak pidana di dalam kereta. Bekas Wakil Kepala Divisi Humas Polri itu menjelaskan, setiap penembak jitu akan bertugas selama empat belas hari, tujuh hari menjelang Lebaran dan tujuh hari setelah Idul Fitri.

Kalau kita menyetel radio saat kalimat ketiga yang nama narasumbernya Wakil Kepala Divisi Humas Polri, tentu bisa membingungkan. Akan lebih baik kalau tetap dipertahankan Kapolda Lampung Sulistyo Ishak.

Ketiga, siapkan banyak klip demi theatre of mind

Menulis untuk radio itu pada dasarnya menghadirkan bioskop dalam pikiran. Istilah kerennya theatre of mind. Karena pendengar tak membaca teksya, reporter dan penyiar mesti membantu dengan suara atau klip. Dalam spot news, klipnya paling 30 detik. Klip ini rekaman yang mendukung tema berita yang sedang kita buat. Kalau untuk spot news yang peristiwanya sudah berlalu atau isu tertentu, klipnya ialah kutipan langsung narasumber. Misalnya, klip Kapolda Lampung saat menjelaskan penembak jitu di setiap gerbong.

“Ya tentu karena penembak jitu, diperkenankan menembak jika ada tindak kriminal di atas gerbong. Itulah gunanya mereka. Kita minimalkanlah tindak kejahatan dengan kehadiran sniper itu.”

Klip dalam konteks ini yang paling kuat. Ia tidak boleh mengulang kalimat tidak langsung sebelumnya. Kalau penjelasan masih boleh, tapi, sekali lagi, cari yang paling kuat. Paling kenceng bicaranya, paling aktual informasinya, terbaru, bahkan, yang selama ini belum pernah diutarakan ke media lain.

Tapi, kalau untuk spot news soal demo, misalnya, kita bisa pakai dua klip. Klip pertama memperdengarkan suasana demo, orasi, dan sebagainya. Nanti di tengah-tengah, sebelum akhir (ending), klipnya yang paling kuat dari ujaran narasumber yang kita pilih.

Suasana tetabuhan pedagang kali lima yang menolak diusir dari pasar sangat menarik dijadikan klip sebelum reporter melaporkan konten beritanya. Itu akan menghadirkan suasana di pikiran pendengar betapa riuh kondisi di tempat kejadian.

Teriakan, suara memohon ampun orang, atau suara gubuk dibakar; akan mengaduk-aduk emosi pendengar saat dijadikan klip pengantar berita soal pengusiran perambah. Benar-benar teater di pikiran pendengar terwujud. Deskripsinya tergambar meski cuma di pikiran. Itulah hebatnya klip.

Akan tetapi, berbeda kalau kita menulis feature, klipnya bisa banyak. Feature radio yang paling minim biasanya 15 menit. Durasi itu butuh sekitar 3 sampai 5 klip. Dan klipnya juga mesti yang menarik: lagi-lagi demi theatre of mind.

Saya pernah menulis feature untuk KBR68H soal konservasi mangrove di Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Karena modelnya laporan perjalanan, sejak awal naik perahu bermesin, tape recorder mulai bekerja. Beberapa teman media cetak cuma geleng-geleng saat saya mendekatkan gadget perekam itu ke mesin. Suara mesin “klotok, klotok, klotok” saya rekam lama. Saya sudah punya bayangan, itu akan menjadi klip pengantar. Suara kecipak ombak menghajar dinding perahu, juga saya rekam. Seorang teman “meledek”, “Rajin amat, Yan, suara mesin sama ombak aja direkam.” “Demi theatre of mind,” kata saya. Hahahaha.

Suara anak-anak bernyanyi saat membawa batang muda mangrove, juga saya rekam sambil mengikuti mereka berjalan. Asyik banget pokoknya. Semua demi theatre of mind.

Jika klip kita menarik, feature yang mungkin dari sisi konten tak terlalu kuat, bisa tertolong. Sebaliknya, naskah yang bagus, jika minim klip, juga akan membosankan. Sebab, ini untuk konsumsi radio. Pendengar itu mesti dimanjakan. Maka itu, suara, sekali lagi, suara. Sapalah pendengar dengan suara. Dengan klip memikat. Demi theatre of mind. “Terima kasih sudah mendengarkan, dari Bandar Lampung, Adian Saputra, KBR68H.” Wallahualam bissawab ***[adian saputra]

gambar pinjam dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun