Tahun 2000 sampai 2011 bisa dibilang masa pembentukan karakter menulis saya di kampus Universitas Lampung. Waktu itu saya aktif di Pers Mahasiswa Pilar Ekonomi. Posisi saya terakhir redaktur pelaksana. Hampir setiap hari saya menulis. Teknik menulis saya, dimulai dengan kerangka dan ditulis di kertas buram. Kalau oke, saya pindahkan ke komputer. Karena di rumah tak ada alat elektronik itu, saya acap mengetik di rumah Pemimpin Umum Pilar Ekonomi, Igo Febrianto. Igo sejak SMA sudah dekat karena kami sama-sama di OSIS. Unik juga. Waktu di OSIS, saya ketua umum, dia ketua bidang. Di kampus, dia bos, saya redaktur pelaksana.
Ibunya Igo seorang bidan dengan beberapa staf di sana. Suatu waktu saya bermalam di sana. Oh ya, saya hampir lupa bercerita kalau saya sering seperti mau muntah. Mulut mual banget. Enggak enak banget. Seperti mau muntah, tapi tak ada yang keluar. Gangguan pencernaan kata orang. Ya kalau sudah siang dan telat makan, pasti “oak oek” gitu. Kalau sedang menulis dan kurang camilan dan minum, juga pasti demikian.
Nah, pas sarapan, “penyakit” menyebalkan itu kumat. Enggak enak banget pas lagi sarapan malah begitu. Seorang staf bidan di rumah Igo kemudian bertanya kepada saya.
“Kenapa, Mas,” kata dia.
“Enggak tahu, Mbak. Mulut enggak enak banget, seperti orang mau muntah.”
Mbak itu lalu bilang, “Mas, kalau makan, dikunyah agak lama. Saya lihat Mas kalau makan cepat banget. Usahakan dikunyah 20 sampai 30 kunyahan.”
Nasihat Mbak itu kok benar. Saya memang tergolong orang yang punya kecepatan makan luar biasa. Saya sudah habis, teman yang ikut makan baru menghabiskan paling banyak setengah porsi. Dari dulu ya begitu. Jangan-jangan, pikir saya dalam hati, itu yang membikin saya eneg.
Mbak itu melanjutkan, “Kalau masih juga, minum aja Promaag, supaya lambungnya netral.”
Sejak itu, saya mengusahakan diri untuk makan dengan dikunyah agak lama. Alhamdulillah, sudah mulai berkurang. Kalau suatu waktu datang, obatnya ya Promaag. Sejuk banget sepertinya di lambung. “Sehat itu mahal, makanya dijaga sejak sekarang,” kata ibunya Igo yang tiba-tiba datang menghampiri kami.
Saya mengangguk sepakat. Terima kasih ya, Mbak, Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H