Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Wawancara: Menembus Narasumber, Bukan Sekadar Bertanya

14 Juli 2011   09:04 Diperbarui: 4 April 2017   16:58 8009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13106339351662985751

[caption id="attachment_119616" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi mewawancarai narasumber. Menembus narasumber memerlukan sejumlah langkah agar informasi yang hendak digali, bisa didapat secara maksimal. "][/caption]

Mewawancarai narasumber bukan hanya pekerjaan seorang wartawan. Mewawancarai seseorang dengan maksud untuk mengetahui persoalan yang sedang terjadi, melakukan jajak pendapat, melengkapi kuesioner dalam skripsi atau karya ilmiah, bisa dilakukan semua orang.

Prinsipnya memang sama: bertanya. Namun, apakah metode wawancara itu sebatas itu? Berikut beberapa penjelasan dan kiat dalam melakukan wawancara. Tujuannya ialah hasil wawancara yang kita lakukan semakin baik.

Prawawancara

Tahapan ini sering disebut teknik menembus narasumber. Di tahapan inilah kita mempersiapkan bahan-bahan yang mau ditanyakan.

Pertama, buat janji

Membuat janji dengan narasumber, khususnya mereka yang sibuk, sangat penting. Kita mesti memastikan apakah dia bisa kita temui besok atau tidak. Kalau kita bertemu dengan sekretaris atau pribadi, jangan lupa meminta nomor ponselnya supaya sebelum wawancara, kita sudah mengirim pesan kepada dia agar sumber bisa kita temui.

Ada banyak mahasiswa yang menunggu rektor untuk wawancara koran kampus tapi sulit menemuinya. Penyebabnya ialah mereka tidak membuat janji terlebih dahulu. Kecuali untuk pejabat yang relatif mudah ditemui atau jika dihubungi via telepon atau SMS, pasti merespons. Kita akan kesulitan jika narasumber memang orang yang sedang sibuk atau sedang dicari-cari. Misalnya bekas bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaetie.

Membuat janji juga tak sekadar membuat kesepakatan untuk bertemu. Narasumber juga harus diberikan pengantar kalau besok pertanyaan kita di seputar hal-hal tertentu. Misalnya, kita berhasil membuat janji dengan seorang pengidap HIV. Kita harus bisa meyakinkan bahwa hal yang akan kita tulis itu akan membuat pemerintah semakin peduli dengan pengidap HIV.

Atau ketika membuat janji dengan seorang kepala dinas yang sedang dalam pemeriksaan kejaksaan, kita juga mesti memberikan pemahaman bahwa kita ingin melihat itu secara komprehensif, tidak semata dari sumber resmi. Dengan meyakinkan narasumber saat membikin janji, kita akan mudah dalam mengatur ritme pertanyaan saat suasana wawancaranya benar-benar kita alami.

Kedua, kenali sumber

Mengetahui sejak dini—bisa dengan bertanya kepada yang tahun—latar belakang narasumber, akan banyak gunanya. Saat sudah bertemu, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan awal yang membuatnya nyaman dan tak merasa tertekan.

Soal wajah juga demikian. Sewaktu aktif si majalah kampus, ada kejadian unik dari teman yanghendak mewawancarai kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup. Janji sudah dibuat, jamnya pun sudah diatur. Tapi teman tadi tak tahu wajah narasumber. Saat menunggu di lobi, ada bapak-bapak hilir mudik. Keluar-masuk, seperti menunggu sesuatu. Teman juga tak ngeh. Mereka masih saja menunggu tanpa menanyakan kepada staf di sana apakah kepala badan kantor itu masih ada. Saat si bapak tadi keluar kantor dan pergi dengan mobilnya, barulah teman tadi bertanya. “Pak kepala badan ada tidak ya, Mbak? Kami mau wawancara,” tanya teman tadi ke staf di sana. Jawaban sang staf, “Itu yang barusan keluar dan naik mobil tadi Bapak.”

Ketiga, gerilya, kejar ke mana narasumber pergi

Ada kalanya narasumber kita benar-benar sibuk. Ditelepon tak diangkat, di-SMS juga tak membalas. Kalau itu yang terjadi, terpaksa, kita mesti mengejarnya. Ke mana narasumber pergi, kejar dan pastikan apakah ada waktu untuk wawancara. Dalam momentum pemilihan kepala daerah, misalnya, pasti sulit mewawancarai secara eksklusif calon kepala daerah.Ia pasti sibuk dengan kegiatan kampanye dan sosialisasi. Tak mungkin rasanya membuat janji khusus untuk wawancara. Nah, kalau itu yang terjadi, kejar terus yang bersangkutan. Temui ia dalam kondisi di dalam aktivitasnya yang padat dan “paksa” untuk mau diwawancarai.

Kami pernah bersama beberapa jurnalis menghadiri kampanye Partai Amanat Nasional (PAN) . Target kami bukan menulis soal kampanye. Tapi kami menunggu rising star reformasi, Amien Rais. Ada beberapa isu nasional dan daerah yang menarik untuk ditanya kepadanya. Khususnya juga soal kasus korupsi yang sempat melanda PAN lewat seorang kadernya di DPR: Abdul Hadi Djamal.

Selepas ia berkampanye, langsung menuju mobil. Konsentrasi jurnalis buyar karena masih menunggu Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir. Sebagian menyerbu Amien, sebagian ke Sutrisno. Pak Amien semula tak mau diganggu dengan wawancara. Mobil hitamnya ditutup rapat. Kaca mobil juga tak terbuka. Beberapa teman yang rada kesal mengetuk kaca mobil dengan agak keras. Tapi Bapak Reformasi itu bergeming.

Saya kemudian maju ke kumpulan jurnalis dan memperlihatkan tape recorder seraya tersenyum. Dia pasti melihat, pikir saya demikian. Saya lalu menangkupkan kedua tangan ke dada sebagai tanda meminta “belas kasihnya” agar wartawan bisa mewawancarainya. Saya kembangkan lima jari sebagai isyarat “5 menit ajakok, Pak.” Alhamdulillah, kaca mobil terbuka.Belasan ponsel, tape recorder, dan kamera mulai menemui sasaran tembaknya. Pas sepuluh menit, Pak Amien pamit. Lebih dari waktu yang kami minta.

Sewaktu Salman Rushdie menulis Satanic Verses, mullah Iran, Imam Ayatulloh Khomeini bikin fatwa: Salman wajib dibunuh. Semua jurnalis lalu berkeinginan agar bisa mewawancarai Khomeini. Tapi, sang tokoh sangat sibuk dan sulit ditemui. Oriana Fallachi, perempuan jurnalis dari Italia, salah satu yang berkehendak mewawancarai mullah Iran itu. Ia tongkrongi rumah sang imam berhari-hari. Tidak ada wartawan segila Fallachi demi mewawancarai Khomeini. Akhirnya, kesempatan itu tiba, dan Fallachi sendirian mewawancarai sang mullah. Kesempatan yang tidak dimiliki semua jurnalis. Kuncinya, Fallachi punya kemauan kuat dan tak kenal lelah.

Keempat, buat daftar pertanyaan dan pahami kontennya

Malam sebelum wawancara, siapkan bahan pertanyaan. Bikinlah secara perinci, lalu rangkum dalam tema-tema besar. Ini berguna supaya saat wawancara, pandangan mata kita tidak fokus ke kertas berisi pertanyaan.

Yang penting, pahami benar-benar materi pertanyaan supaya konten yang diinginkan berhasil kita ungkap. Ada juga soalnya narasumber yang malah ngetes wartawan saat hendak diwawancarai. Bekas Menteri Luar Negeri Indonesia Muchtar Kusumaatmaja pernah sekali waktu malah bertanya kepada wartawan yang hendak mewawancarai, apakah si wartawan sudah membaca buku tentang bahan yang akan ditanyakan. Saat si jurnalis bilang “belum”, Muchtar meminta wartawan membaca buku itu terlebih dahulu. Ada-ada saja tingkah narasumber ya.

Di Lampung, ada kepala Bappeda yang malah bertanya dulu kepada wartawan sejauhmana ia paham bahan yang akan ditanyakan.Jadinya, yang diwawancara malah mewawancara. Tapi, diambil hikmahnya saja bahwa kita memang harus mengetahui dengan baik hal yang mau ditanyakan.

Kelima, siapkan peralatan

Siapkan semua peralatan untuk wawancara dengan. Cek bahan pertanyaan. Siapkan tape rekam , baterai, notes, bolpoin. Ada bagusnya membawa batu baterai cadangan, bolpoin lain, dan kaset. Tapi, karena sekarang ponsel sudah bagus-bagus, peran tape rekam bisa diganti. Cukup menggunakan fitur perekam dalam ponsel, kita sudah bisa melakukan wawancara.

Tahapan Wawancara

Setelah semua tahapan prawawancara sudah dilakukan, kini saatnya kita bertemu dengsan narasumber. Bisa ia sebagai bahan tulisan atau reportase, penelitian, atau melengkapi tulisan ilmiah yang sedang kita susun. Jadi, bagaimana sikap kita saat wawancara ini?

Pertama, perkenalkan diri

Ini tahapan urgen. Kesan pertama begitu menggoda, kata iklan di televisi. Saat datang, jabatlah tangan narasumber dengan hangat. Perkenalkan diri dan maksud untuk mewawancarai. Meski sebelumnya narasumber sudah kita kontak, tetap perlu membangun hubungan baik di awal wawancara.

Yang mesti dipahami begini, semua orang dalam kapasitas dia sebagai narasumber, statusnya di hadapan kita sama. Ia adalah seorang narasumber. Narasumber itu bisa seorang pejabat, tokoh adat, warga biasa, pencuri, pembunuh, pemerkosa, sampai koruptor. Ada kalanya juga wanita tunasusila. Semua narasumber di mata kita sama karena yang kita butuh dari mereka adalah informasi.

Jangan sampai ada kejadian, kalau wawancara dengan pejabat yang diduga korupsi, kita sangat sopan. Tapi berhadapan dengan pencuri sandal di masjid yang sedang diamuk massa, kita bertanya lebih galak daripada polisi yang melakukan pemberkasan.

Anda pernah menyimak acara kriminal di televisi? Misal ada pencuri kotak amal di masjid dipukuli massa lalu dibawa ke kantor polisi. Nah, saat di kantor polisi, televisi menayangkan gambar orang yang mencuri lalu terdengar suara kencang, yang bunyinya kurang lebih begini: “Ngapa nyuri”,” Udah berapa kali kamu maling”,” Jadi kamu yang nyolong ya”.

Pernah kita mendengar itu? Pastinya ya. Yakinlah, sebagian besar suara itu bukan berasal dari polisi. Lalu dari mana? Kalau Anda menjawab suara wartawan, itu benar. Itu yang saya maksud, narasumber itu bisa beragam. Dari orang baik-baik sampai pembunuh paling keji. Jurnalis bukan polisi atau jaksa. Ia hadir untuk mewartakan. Lalu mengapa ia kok malah yang jadi paling galak?

Seorang gubernur dan pelacur kedudukannya sama di dalam reportase wartawan. Seorang menteri dan pembunuh juga sama kedudukannya. Jadi, kalau kita bersikap ramah dan baik kepada narasumber berkerah putih, kita juga sama sikapnya kepada mereka yang terkategori kerah dekil.

Kalau ada waktu, cari dan pinjamlah film Capote yang pemeran utamanya Philip Seymour Hoffman. Ini film kalau tak salah dapat Oscar tahun 2005.Film ini bercerita soal kontributor The New Yorker, Truman Capote, yang menulis tentang pembantaian satu keluarga di Amerika oleh dua orang. Dua pembunuh ini diwawancarai oleh Capote. Hasil wawancara ini selesai dalam enam tahun dan berupa buku! Judulnya bagus: In Cold Blood. Karya jurnalistik Capote ini masuk dalam tiga besar karya jurnalistik adiluhung dalam satu abad terakhir. Bersanding dengan Hiroshima yang ditulis John Hersey dan Silent Spring yang ditulis Rachel Carson.

Di film itu, kita bisa menyaksikan betapa Capote membangun hubungan emosional yang baik dengan kedua pembunuh. Dari mulai berkenalan sampai meminjami mereka buku-buku. Dan Capote mendapatkan cerita yang luar biasa untuk karya jurnalistiknya.

Kedua, ajukan pertanyaan basa-basi sebagai pembuka

Bisa tanyakan kabarnya, kabar keluarga, kabar pekerjaan, dan sebagainya. Mengajukan pertanyaan basa-basi ini untuk mengantarkan kita pada pertanyaan inti. Rasanya kurang afdal kalau tak bertanya hal-hal ringan sebelum bertanya hal yang serius. Lagipula, si narasumber bisa kurang senang juga kalau kita datang langsung menanyakan hal yang serius sambil menyorongkan tape recorder ke muka mulut narasumber.

Ketiga, bikin suasana senyaman mungkin

Dalam wawancara, kitalah yang mengatur suasana yang tercipta. Maka itu, bikin suasana santai. Pertanyaan pun diajukan dengan rileks dan tenang. Sesekali bercanda. Kalau narasumber sudah menikmati wawancara itu, kita akan mudah “menggiringnya” pada bahan yang sudah kita siapkan pada malam harinya.

Jangan terkesan seperti menginterogasi. Bakal sangat mengganggu. Misalnya, kita mewawancarai bekas bupati di penjara. Ia terlibat kasus korupsi. Pertanyaan kita jangan seperti polisi atau jaksa sedang menyidik perkara. Pertanyaan kita buat saja begini: Apa perasaan Anda sekarang ditahan di penjara? Apa Anda pernah menduga kalau suatu kebijakan membuat Anda mendekam di sini? Bisa diceritakan bagaimana awalnya sehingga kasus ini muncul? Apa langkah hukum selanjutnya yang akan Anda ambil?

Ada narasumber yang ditanya satu kali, menjawab sangat detail. Kalau bertemu dengan narasumber kayak begini, bersyukurlah. Tapi, kalau tidak, ya mesti kita yang terus-menerus bertanya sampai semua daftar pertanyaan semua rampung kita lontarkan.

Keempat, ajukan pertanyaan yang deskriptif

Lebih banyak ajukan pertanyaan dengan diksi tanya seperti: “Bisa Anda ceritakan soal…”, “Apa pendapat Anda berkenaan dengan ….,”, “Apa resep Anda bisa berprestasi seperti sekarang.”

Jangan mengajukan pertanyaan yang jawaban si narasumber cuma dua biji: ya dan tidak. Atau malah bukan niat bertanya, tetapi menyudutkan narasumber.

Ada cerita dari teman saya. Seorang wartawan senior datang ke kantornya. Ia habis mewawancarai gubernur. Ketika bertemu dengan sejawat di kantor, ia bercerita bahwa tadi saat wawancara, ia sempat membuat gubernur kehabisan kata-kata. Rupanya wartawan itu memberondong pertanyaan yang menyudutkan gubernur. Terdiam si gubernur, cerita wartawan itu.

Lalu, sejawat di kantor bertanya, “jadi, isi wawancaranya apa?”. Bingung di wartawan.

Kira-kira yang dikerjakan wartawan itu benar tidak?jelas tidak ya. Buat apa menunjukkan kepintaran di depan narasumber. Kita itu bertanya, mewawancarai agar mendapat banyak informasi. Kalau wawancara semacam itu, sampai membuat narasumber terdiam, itu wawancara yang gagal namanya. Sejelek-jeleknya wawancara adalah yang cuma mendapat bantahan dari narasumber. Sedangkan wawancara yang berhasil ialah saat kita mendapat banyak informasi.

Kelima, ngotot

Meski dengan mimik yang biasa, intonasi yang juga cenderung datar, bukan berarti kita tak ada usaha mengejar pernyataan penting narasumber. Kita harus ngotot. Kalau ia berkilah, kejar terus. Sampai dapat. Jangan cepat puas dengan jawaban narasumber, apalagi sampai kagum hingga mengangguk-angguk. Misal, kita bertanya soal dugaan korupsi. Ya kalau kita tanya, “Bapak korupsi, tidak?” ya jelas dijawab “tidak”.

Kita bisa bertanya dengan kalimat yang lain. “Menurut semua saksi, Bapak mengetahui aliran dana ini”, “kabarnya jumlah uang yang dihabiskan dari anggaran ini mencapai satu miliar”, “bukti dari jaksa, mengarah kepada Bapak, tanggapan Anda”, dan sebagainya. Intinya kejar dengan pertanyaan yang cerdas. Siapa tahu dia terselip malah mengiyakan dugaan kita. Misal saat kita tanya, “Kabarnya kerugian negara sampai satu miliar ya, Pak, yang dipakai Bapak dari uang ini?”. Dia lalu reflek jawab, “Enggak sampe segitu, cuman 900 juta kok.” Nah, ketahuan kan.

Keenam, jangan panik dalam situasi darurat

Lagi asyik wawancara, bolpoin kita macet, sedang asyik menyimak tiba-tiba tape habis baterai, saat sedang “mencecar” narasumber, tahu-tahu kertas notes habis. Apa yang mesti kita lakukan? Yang utama ialah tenang, jangan panik. Bolpoin macet bisa diatasi dengan meminjam kepada narasumber. Kertas habis, bisa diatasi dengan mengingat semaksimal mungkin ujaran narasumber. Tape rekam macet bisa diatasi dengan menghidupkan perekam dalam ponsel. Intinya jangan panik!

Wawancara yang terbangun dengan oke nanti malah suul khatimah. Toh, tak ada salahnya meminjam kepada narasumber, jika itu memungkinkan. Intinya,kepanikan bakal membuat kita ruwet dan tak fokus. Separah-parahnya, ingat semua jawaban narasumber dengan baik.

Pascawawancara

Kesukaan manusia itu menunda-nunda pekerjaan. Karena merasa masih lama menayangkan hasil wawancara di media tempat kita bekerja, hasil wawancara digelatakkan begitu saja. Catatan awut-awuan tidak segera dirapikan, padahal banyak tanda khusus dalam catatan yang hanya kita yang mengerti dan masanya saat itu saja. Besok-besok, pasti lupa.

Maka itu, usai wawancara, rapikan catatan. Yang tidak jelas, diperbaiki. Bagian yang penting segera disalin dalam naskah yang rapi. Kaset segera didengar kemudian disalin. Intinya, rapikan. Kalau mau membuat kerja lebih ringan,ya segera dibikin artikel atau tulisannya. Diketik yang rapi, diedit, lalu dikirim. Toh, melaksanakan pekerjaan hari ini lebih baik ketimbang menundanya.

Kepada narasumber, sampaikan terima kasih. Jangan lupa beri tahu kalau besok-besok kita masih perlu wawancara lanjutan untuk hal yang kurang jelas, mohon diberi waktu. Terakhir, tanyakan juga, mungkin ada hal yang mau dia sampaikan yang tak sempat kita tanyakan. Sebab, ada kalanya begitu. Dia ingin menyampaikan sesuatu tapi tak ada dalam daftar pertanyaan yang kita susun. Narasumber pasti senang diberikan kesempatan berbicara yang demikian. Semua tahapan wawancara pun usai.

Kita bisa membuat artikel sesuai dengan hasil wawancara atau melengkapi data riset kita di masyarakat dengan opini dari narasumber. Kita juga bisa mendapat prediksi atas sesuatu hal dari hasil wawancara tadi. Selamat melakukan wawancara dan mendapat hasil yang terbaik. Ingat, bukan sekadar bertanya, tapi menembus narasumber untuk informasi yang bermanfaat untuk khalayak pembaca. Wallahualam bissawab.

gambar dipinjam dari sini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun