Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kreativitas Dan Ketulusan: Kunci Keberhasilan Pendidikan

8 Agustus 2014   00:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:07 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14074065632030022135

[caption id="attachment_337051" align="aligncenter" width="526" caption="Cover Buku Oase Pendidikan di Indonesia cr: dok pribadi"][/caption]

Saya punya adik kelas, Chandra Natadipurba namanya. Awalnya ia kuliah di Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB). Empat semester dihabiskan di kampus itu. Rupanya Chandra tidak betah. Ia tidak kerasan di jurusan itu. Rupanya bukan jiwanya kuliah di jurusan tersebut. Chandra sedari awal menyukai ekonomi Islam. Ia bercita-cita menjadi ekonom Islam. Chandra putar haluan. ITB ia tinggalkan. Ia coba lagi ujian masuk perguruan tinggi negeri. Kali ini Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran yang dituju. Nasib baik, ia diterima.

Empat tahun bergelut dengan ekonomi, khususnya di bidang ekonomi Islam, Chandra lulus dengan prestasi bagus. Ia lulusan terbaik di jurusan. Sebelum lulus pun, Chandra menjadi juara karya tulis soal ekonomi Islam. Hadiahnya umrah di Tanah Suci.

Chandra menikmati benar kuliah di jurusan ekonomi Islam. Sebuah bukti, jika sesuatu kita kerjakan dengan hasrat dan minat yang tinggi, yang acap disebut passion, hasilnya pasti maksimal. Tiada tekanan ia berkuliah di sana meski meninggalkan kampus ITB yang banyak diminati alumnus SMA se-nusantara.

Cerita soal Chandra tiba-tiba saja menyeruak usai saya menuntaskan bacaan atas buku Oase Pendidikan di Indonesia. Kisah Inspiratif Para Pendidik yang ditulis Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan. Buku setebal 280 halaman ini saya tuntaskan dalam satu kesempatan. Jarang ada buku yang begitu cepat saya baca. Lazimnya, sebuah buku saya tuntaskan dalam dua atau tiga hari. Sering pula satu pekan. Namun, buku ini hanya butuh sekali kesempatan untuk dilahap.

Secara umum, buku ini berisi kisah para pendidik, baik dalam formal maupun nonformal. Ada yang bekerja di institusi resmi sekolah, ada pula yang berkhidmat di sebuah sanggar. Satu benang merah yang bisa diambil dari keseluruhan isi buku ini ialah belajar itu mesti dalam suasana yang menyenangkan dan penuh dengan kreativitas.  Juga, dibutuhkan ketulusan guru terhadap para murid. Sebab, ketulusan ini penting.

Kita akan mendapati betapa pendidik yang turut menyumbangkan tulisan di buku "keroyokan" ini mampu mengkreasikan bahan ajar menjadi sesuatu yang menyenangkan, membebaskan, dan mencerdaskan. Kreativitas. Itulah kunci dari mengejawantahkan kurikulum ke ranah yang praksis. Bagaimana tak disebut dengan kreatif jika semua penulis di buku ini punya cara keren dalam mengajar.

Marilah kita simak apa yang dilakukan para pendidik di Sekolah Semesta Hati di Cimahi, Jawa Barat. Dimulai dari halaman 57 dan diakhiri pada halaman 78, kita bisa membaca cerita ringan nan bertutur tentang Gios. Gios adalah anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sini. Di sekolah sebelumnya, ia sudah divonis anak dengan kecerdasan intelektual yang rendah. Hobinya mengumpat dengan dua kata: anjing dan goblok. Kesenangannya mengganggu anak lain. Soal belajar, jangan ditanya. Tak ada kemauan sama sekali. Membaca dan menulis pun tidak mampu. Pendeknya, ia cuma "sampah" di sekolah sebelumnya. Orang tua pun angkat tangan menghadapi kelakuan Gios. Sampai kemudian ia diedukasi dengan tulus asih di Semesta Hati.

Awalnya, sulit juga mengubah karakter Gios menjadi anak manis. Tabiat yang berurat dan berakar menjadi tembok besar untuk para guru. Namun, para guru tidak menyerah. Mereka berupaya menjadikan Gios menjadi dirinya sendiri. Masa awalnya di kelas I, sungguh sulit. Gios tak mau belajar membaca dan menulis. Saat guru mengajarinya mengetik huruf di tuts laptop, Gios emoh. Beberapa hari kemudian, ia membawa laptop putih hadiah orang tuanya. Namun, Gios hanya suka bermain game. Kesukaan game-nya juga sirna saat kakak kelasnya memberikan kata sandi di laptopnya. Gios kesal. Meski sang kakak kelas, Lutfi, sudah memberi tahu kata kunci pembuka sandi, Gios tak mengerti. Akhirnya bermain laptop pun urung. Komputer jinjing itu ia campakkan di rumah.

Gios juga acap tak mau turun dari motor saat mestinya masuk kelas. Ia hanya duduk di motor. Guru tak habis akal. Dibiarkan Gios nyaman di jok motor. Dan proses pembelajaran dilakukan di atas jok motor. Gios yang pemberani acap menjahili kakak kelasnya. Ia tak takut dengan mereka yang punya postur lebih besar daripada dirinya.

Ketulusan para guru, keyakinan guru bahwa Gios adalah anak istimewa lambat-laun memperlihatkan hasil. Ia mau belajar. Di alam terbuka, Gios menemukan dunianya. Meski kadang hangat-hangat tahi ayam. Menangkap capung sangat disukai Gios. Lewat medium itulah guru menjelaskan soal alam kepadanya. Bosan, ia beralih ke renang. Jenuh, ia berpindah bermain layangan. Begitulah Gios. Dan guru tak mempermasalahkan hal itu. Ujian kenaikan kelas pun dilakoni Gios dengan istimewa. Guru membebaskan anak itu memilih soal yang ia kehendaki. Guru tak melabeli siswa di Semesta Hati dengan atribut-atribut: nakal, pintar, cerdas, dan sebagainya. Semua adalah sama di mata sekolah. Maka, saat Gios mengerjakan ujian dengan segenap kemampuannya, itu sudah perihal yang luar biasa. Dan sekolah memberikan kelulusan kepada Gios dan menganugerahkan peringkat pertama di kelasnya. Satu-satunya peringkat dengan satu-satunya siswa di kelas I.

Pelajaran bahasa Inggris di banyak kasus, sama dan sebangun dengan mata pelajaran matematika. Keduanya cenderung dianggap sulit untuk murid. Namun, di tangan guru yang cakap, pelajaran yang sulit menjadi mudah dipahami. Tinggal pintar-pintar guru untuk mengkreasikan cara mengajar sehingga mudah dipahami murid. Bambang Wisudo misalnya. Eks jurnalis Kompas ini mengajar bahasa Inggris di Sanggar Akar. Supaya anak-anak suka dengan bahasa Inggris, Bambang menggunakan medium lagu. Kebetulan lagu yang dipilih ialah "We Will not Go Down" yang dinyanyikan Michael Heart, penyanyi berdarah Suriah yang menetap di Amerika Serikat.

Lagu ini berisi pesan kemanusiaan tentang penghidupan warga Gaza yang dibombardir Israel. Bambang menekankan agar anak-anak mau menyanyikan lagu ini dengan lantang. Tak peduli suara mereka bagus atau tidak. Merdu atau cempreng. Yang penting, setiap anak melafalkan bait demi bait. "Ini pelajaran bahasa Inggris, bukan pelajaran menyanyi," kata Bambang. (Hlm. 101)

Melatih siswa berbahasa Inggris memang terbantu dengan metode menyanyi. Dengan menyanyi, lisan mereka mengartikulasikan bait demi bait. Setelah anak-anak mengujarkan kata dalam lagu, mereka diminta untuk menerjemahkan lagu itu sesuai dengan pemahaman masing-masing. Tanpa kamus, anak-anak belajar mengartikan setiap baris lagu. Jika sudah, Bambang meminta setiap anak mengecek apakah ada diksi di dalam lagu yang belum mereka pahami. Di sini barulah mereka diminta membuka kamus.

Menurut Bambang, dengan cara ini, anak-anak sekaligus belajar menangkap, mengucapkan, dan menambah kosakata. Bambang juga memilihkan buku ajar yang praktis dan murah. Ia juga rajin mengunggah artikel dan buku yang mudah dipahami anak-anak. Cara Bambang terbukti ampuh. Buat Bambang, mengajarkan bahasa Inggris bukan sekadar mengenal kata-kata baru, membuat kalimat dengan tata bahasa yang benar, atau terampil berbahasa. Bambang menekankan agar anak-anak dapat menemukan dirinya, memahami nilai-nilai yang layak diperjuangkan dalam kehidupannya. Itulah mengapa diskusi soal nasib Palestina menjadi bahan menarik saat memperbincangkan teks lagu Michael Heart ini. Anak didik Bambang seru berdiskusi. Soal nasib orang Palestina, orang Israel, nasib Yahudi, dan sebagainya. Anak-anak secara cerdas dan mengagumkan melontarkan gagasannya.

Hebatnya, untuk memperlancar keterampilan korespondensi, siswa Bambang di Sanggar Akar ini akan menulis surat. Ada yang menulis surat kepada Michael Heart, kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Semua mengungkapkan perasaan terdala perihal nasib Palestina. Mereka satu suara soal kemanusiaan di negeri itu. Ini sebuah kulminasi menggembirakan untuk Bambang. Padahal, saat awal belajar, anak-anak ini tak punya kemampuan memadai untuk memahami bahasa Inggris. Kini, Bambang acap dikirimi pesan via surat elektronik oleh murid-muridnya dalam bahasa Inggris.

Sisi kemanusiaan semestinya juga lekat dengan dunia pendidikan kita. Edukasi di negeri ini cenderung abai dengan hal yang berkenaan dengan kemanusiaan. Sekolah acap tidak mau tahu dengan kondisi siswanya. Institusi pendidikan sering tidak mengetahui dengan persis kondisi siswanya. Namun, oasis perihal humanisme itu ternyata masih ada. Setidaknya bisa kita nikmati juga di buku ini.

Pada halaman 120 dengan bab "Beasiswa dari Jepit Rambut" yang ditulis Tuti J Rismarini, kita bisa belajar banyak. Betapa sekolah, guru, dan segenap warga sekolah mampu mengentaskan persoalan kemiskinan orang tua siswa. Di sini ditulis, ada seorang anak bernama Rizki yang sulit bersekolah di SMP 2 Pagedangan. Orang tuanya yang sakit-sakitan. Dan setelah diteliti, hampir semua siswa berada di kisaran kemiskinan yang akut. Tuti kemudian mencari akal agar ada upaya ekonomi produktif untuk kesejahteraan para orang tua. Dari sekian alternatif, pilihannya ada pada usaha pembuatan jepit rambut. Namanya juga ide baru, pasti ada pro-kontra.

Saat ide ini digulirkan, banyak yang mencemooh. Rapat besar yang diadakan pihak sekolah berlangsung seru. Ada yang setuju, ada yang menolak. Ada yang optimistis, ada pula yang pesimistis. Saat ide membuat jepit rambut ini mulai direalisasikan, ternyata susah-susah gampang. Anak-anak sering bermalas-malasan. Lambat laun, ikhtiar itu membuahkan hasil. Sekolah ini kemudian mendapat banyak order.

Saat pameran industri kreatif di Taman Mini Indonesia Indah, sekolah ini adalah satu-satunya SMP yang berkontribusi. Mutu jepit rambut bikinan anak-anak sekolah ini makin bagus. Imbasnya, keuntungan sekolah makin baik. Bagaimana dengan Rizki, siswa dengan orang tua miskin dan sulit bersekolah itu? Aha, ia dibelikan sepeda oleh sekolah dan semangat belajar. Lama-lama, budaya bersepeda di sekolah ini marak. Dari jepit rambut, sekolah ini mengembangkan program "bike to school". Sekali lagi, ketulusan dan kreativitas guru, ditunjang kemauan siswa, menjadikan pendidikan punya marwah yang luar biasa. Tidak diam saja saat ada masalah. Tapi berpikir cerdas, kreatif, sehingga bisa lulus dari ujian itu.

Sungguh, membaca semua senarai dalam buku ini sangat mengasyikkan. Ada banyak rasa yang sulit untuk dituliskan. Ada keharuan di sana. Haru dengan keikhlasan semua pendidik yang menorehkan kisahnya yang menginspirasi. Ada kelucuan saat membaca betapa anak seperti Gios kadang melakukan sesuatu yang di luar dugaan. Anak berkebutuhan khusus yang sulit membaca dan menulis ini, kadang mampu mengurai susunan kalimat yang ia temui di jalan. Lucu saat kita membaca betapa Gios sangat suka bermain di alam terbuka. Lucu saat ia mengeja dengan benar satu demi satu huruf "K", "O", "M", "P," "A", "S" tapi membacanya menjadi KORAN, bukannya KOMPAS.

Ada pula semangat menginspirasi saat menikmati lembar demi lembar buku ini. Semuanya mencerahkan. Rahasianya ialah, hampir semua naskah di buku ini ditulis dengan gaya bertutur. Tokoh utamanya bukan si empunya ide atau tulisan. Tokoh utamanya adalah anak-anak yang menjalani proses pendidikan yang menyenangkan dengan ketulisan yang berkelimpahan dari para gurunya. Dengan gaya narasi bertutur atau yang dalam dunia jurnalisme dikenal dengan feature, kita bisa membaca buku ini dengan acak. Tak mesti urut. Yang mana kita sukai, baca saja itu lebih dahulu.

Setiap bab punya kepaduan atau koherensi yang luar biasa. Ketulusan. Ya ketulusan. Guru yang tulus, sekolah yang tulus, pendidikan yang tulus. Dan anak-anak yang tulus. Itulah yang memampukan kita untuk lebih baik meski banyak pihak yang awalnya merasa musykil. Ketulusan dan kreativitas pada buku ini memang kentara sekali. Sehingga, poin bagus untuk buku ini, selain enak dibaca, ialah, pesannya sampai kepada pembaca. Tak ada kesan menggurui--sesuatu yang lazim dalam dunia pendidikan. Kita seolah-olah dibawa langsung ke sekolah, sanggar, yang ditulis dalam buku ini.

Editor buku ini piawai membawa semua naskah ini ke sanubari pembaca. Saat membaca soal kehidupan di Sanggar Akar yang ditulis Ibe Karyanto berjudul "Ketika Anak Belajar Memaknai Kebebasan" di halaman 136 hingga 159, kita seolah-hadir di dalamnya. Setting, tokoh, dialog yang ditulis pendiri dan koordinator Sanggar Akar di Kalimalang, Jakarta Timur ini sangat kuat. Dialognya begitu hidup. Pesannya sampai ke relung terdalam. Dan, tidak ada kesan dibuat-buat. Semua mengalir bak air sungai. Ya air sungai yang secara tulus memberikan kejernihannya untuk anak manusia. Setulus kiprah para guru yang inspiratif ketika mendidik para muridnya. *

Tiada gading yang tak retak. Buku dengan cover ilustrasi anak-anak yang cerah yang bagus ini, tentu punya nila. Meski setitik. Setitik saja kok. Pada bab yang menceritakan soal Ciliwing Larung: Model Alternatif Pendidikan Melalui Teater Komunitas, seperti teks bahan ajar yang baku. Kita kurang bisa menikmati secara enak lantaran teksnya menurut saya agak formal. Padahal, jika menceritakan dengan bertutur dan mengulas realitas keseharian, naskah di bab ini pasti lebih gurih.

Yang agak mengganggu ialah adanya diagram dan pembahasan poin per poin yang cenderung sama dengan bahan ajar daras di sekolah formal. Barangkali si empunya tulisan, I Sandyawan Sumardi, ingin memberitakan konsep yang selama ini dilakukan di lembaga yang ia besut. Namun, penulisan jenis formal ini kurang menyentuh sisi yang membuat kita bisa enak menikmati naskahnya. Ini lebih mirip laporan semijurnal yang kurang sedap untuk diulik.

Namun, saya memahami bahwa ada kemungkinan ini memberikan panduan kepada pembaca yang ingin mengadopsi yang ia lakukan selama ini. Editing dalam buku ini cukup bersih. Memang ada beberapa diksi yang tak baku. Semisal "mendinamisir" di halaman 177. Jika merujuk ejaan yang disempurnakan, mestinya digunakan saja lema "mendinamisasi".

So, ini buku monumental. Orang acap menyebutnya adiluhung. Bahasa Inggrisnya, master piece. Cocok buat siapa saja yang ingin belajar tulus dalam mendidik anak bangsa. Juga patut dibaca oleh semua anak Indonesia. Anak-anak pasti cerdas dengan ranahnya masing-masing. Di buku ini, setiap kecerdasan dielaborasi dengan apik dan bisa menjadi amsal buat kita semua.

Guru yang tulus, guru yang kreatif, guru yang memotivasi, guru yang ikhlas, menjadi item utama dunia pendidikan kita. Sebab, para pendidiklah setir edukasi itu. Jika guru mampu tulus, ikhlas, dan kreatif, niscaya anak didik akan ikut cerdas, sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Buat Tanoto Foundation yang menginisiasi buku ini, dan penerbit Raih Asa Sukses, ini ikhtiar yang layak diapresiasi. Selamat membaca. Selamat menjadi manusia yang tulus. Selamat menjadi insan yang kreatif. Tabik

Judul buku: Oase Pendidikan di Indonesia. Kisah Inspiratif Para Pendidik

Penyusun: Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan

Editor dan penyelaras akhir: Bambang Wisudo dan Lisa Esti Puji Hartanti

Penerbit: Tanoto Foundation dan Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup)

Cetakan: I, 2014 Tebal: 260 halaman

ISBN:

ISBN (13) 978-979-013-204-7

ISBN (10) 979-013-204-2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun