Presiden Suharto pernah mendapat penghargaan tertinggi oleh PBB terkait dengan pembatasan jumlah kelahiran di Indonesia. Dengan program keluarga berencana atau KB, Pak Harto dianugerahi PBB sebagai kepala negara yang dianggap mampu menekan tingkat kelahiran. Dengan begitu, kans Indonesia untuk menjadi negara dengan pendapatan per kapita yang menyejahterakan, terbuka. Sebab, logikanya, dengan tidak terlalu banyak penduduk, sebaran kemakmuran akan lebih mudah terealisasi.
Pasca-Suharto, sepertinya dunia per-KB-an di Indonesia redup. Mungkin karena terkena imbas ingar bingar reformasi, pembatasan kelahiran di Indonesia kehilangan makna dan momentum. Namun, syukurlah, itu tak berlangsung lama. BKKBN, sebagai entitas negara yang punya tanggung jawab lebih mengenai ranah ini, bergerak gesit. Sekian program ditaja. Dan salah satunya yang layak untuk diacungi jempol ialah dengan keberadaan Duta Generasi Berencana atau lazim disingkat Duta Genre.
Duta Genre dipilih oleh BKKBN dari sekian banyak remaja, umumnya mahasiswa dan mahasiswi, yang mempunya pemahaman yang utuh mengenai keluarga berencana, demografi, HIV/AIDS, dan sebagainya. Tak hanya itu, Duta Genre juga diharuskan memiliki kepribadian yang baik, integritas yang mumpuni, dan kemampuan berbicara di depan publik dengan ciamik. Apa sih tugas utama seorang Duta Genre? Tugas mereka adalah sebagai penyambung pesan dari BKKBN kepada generasi muda di seluruh Indonesia agar memiliki pemahaman yang baik tentang keluarga berencana, kependudukan, dan pembangunan keluarga.
Remaja dipilih sebagai objek utama karena merekalah masa depan Indonesia. Jika sebagian besar remaja Indonesia memahami dengan baik hakikat berkeluarga, pastilah fondasi bangsa ini akan kuat. Sebaliknya, jika remaja Indonesia belum memahami hakikat perkawinan dengan baik, tidak memiliki skill dalam menempuh hidup berumah tangga, dan kurang piawai dalam menentukan masa depan, bisa dipastikan Indonesia akan dihuni oleh keluarga yang rapuh dari sisi fondasi berkeluarga. Ini yang tidak diinginkan.
Satu poin penting juga, pemerintah sudah memberikan rambu bahwa usia matang perkawinan ialah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Meski dalam regulasi kenegaraan, usia 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki juga sudah bisa menikah. Namun, pertimbangan usia 21 dan 25 mencakup banyak hal. Dari mulai persiapan psikologis, pengetahuan, sampai kemapanan dalam pekerjaan atau nafkah.
Pendewasaan Usia Perkawinan
Pesan penting untuk setiap Duta Genre ialah mereka mesti bisa memberikan pemahaman yang utuh kepada setiap remaja bahwa yang dibutuhkan ialah pendewasaan usia pernikahan. Ini penting sebab merupakan pintu yang awal dimasuki seseorang yang akan berkeluarga. Mendewasakan usia perkawinan itu penting untuk menghindari pernikahan dini. Sebab, dengan semakin matang usia pernikahan seseorang, kans untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, akan terbuka lebar. Walau begitu, tetap saja ada banyak kasus perceraian. Namun, sebagai sebuah bentuk ikhtiar menjadikan keluarga Indonesia lebih baik lagi, model ini tentu tetap relevan dilakukan.
Menjadi Duta Genre memang tidak mudah. Ajangnya memang mirip-mirip pemilihan atau kompetisi mencari putri Indonesia atau Abang-None Jakarta. Ini memang dikompetisikan untuk menjaring putra dan putri terbaik Indonesia yang layak dijadikan Duta Genre. Selain persoalan kependudukan, KB, dan pembangunan keluarga, para Duta Genre juga mesti paham dengan BKKBN sebagai entitas negara yang mengurusi persoalan ini, memiliki kepribadian yang menarik, intergritasnya baik, memahami seluk beluk kerumahtanggaan, bahkan piawai table manner, sampai punya kemampuan public speaking yang lumayan.
Kemampuan-kemampuan ini berkelindan satu dan yang lainnya. Sebab, semua kudu dikuasai dengan baik. Perihal public speaking misalnya, menjadi penting karena inilah alat utama para Duta Genre untuk mensosialisasikan ihwal KB, kependudukan, dan pembangunan keluarga kepada semua remaja di Indonesia. Tentu, tak hanya sepasang Duta Genre yang punya tanggung jawab. Di setiap provinsi, BKKBN setempat lazim menaja pemilihan. Dan mereka yang terpilih sudah diwanti-wanti untuk aktif menjadi rule model buat remaja sebaya.
Keuntungan Sebaya
Kesuksesan sebuah pesan sampai kepada orang lain acap terjadi karena disampaikan oleh mereka yang sebaya. Dalam konteks ini, mengapa dipilih para remaja sebagai Duta Genre, karena usianya sebaya. Kita memandang, remaja Indonesia sebagai objek terbesar untuk diberikan pemahaman yang baik mengenai keluarga, KB, dan pembangunan keluarga. Nah, dengan demikian, kita membutuhkan para penyampai pesan yang dianggap mampu meyakinkan para remaja Indonesia dengan pesan yang sumbernya dari pemerintah. Dalam konteks ini BKKBN. Maka itulah, Duta Genre menemui urgensinya di titik ini.
Di banyak kasus, para remaja merasa malas mendengarkan hal berkenaan dengan KB, kependudukan, dan yang serupa dengan itu jika diberikan oleh orang tua. Taruhlah oleh orang tua kandung, penyuluh BKKBN yang sudah tua, atau bahkan guru. Para remaja merasa enggan untuk mendengar karena seolah-olah mereka dinasihati untuk begini dan begitu. Meskipun konten pesannya baik, lantaran cara dan mungkin si panyampai tidak menarik, isi pesan tak sampai. Alih-alih sukses memberikan pemahaman kepada remaja Indonesia, yang ada malah kejenuhan. Mungkin dalam benak remaja Indonesia, “Enggak penting banget sih.”
Nah, jika ini disampaikan oleh Duta Genre yang berkompeten, hasilnya pasti lain. Dengan usia sebaya, para Duta Genre mampu menjadi kawan yang baik, pendengar yang setia, serta pemateri yang tidak membosankan. Sudah tentu, dengan kemampuan public speaking Duta Genre tak sama seperti orang yang lebih tua. Pasti banyak permainan yang diberikan untuk menarik minat remaja mendengarkan pesan soal kependudukan, KB, dan pembangunan keluarga.
Termasuk juga pesan agar setiap remaja mendewasakan diri menuju gerbang pernikahan. Dan, yang lebih penting, menghindari pernikahan dini. Di banyak acara yang dihelat oleh para Duta Genre, penyampaian pesan berjalan dengan lancar, penuh gelak tawa, ceria, dan pesan yang diinginkan, bisa tersampaikan dengan baik. Dengan pola komunikasi dua arah, para Duta Genre mampu meyakinkan para remaja Indonesia untuk mendewasakan diri menuju gerbang pernikahan. Mereka tak sekadar asal untuk menyebut kata nikah atau kawin, tapi memahami dengan baik hal itu.
Perbincangan soal perkawinan, untuk remaja dan orang yang menuju dewasa, memang menarik. Namun, umumnya, pembicaraan lebih mengarah kepada siapa suka kepada siapa, dan perihal lain. Terutama yang paling ramai diperbincangkan ialah soal: seks. Nah, dengan keberadaan Duta Genre, perbincangan ke arah itu tentu akan lebih bermutu. Sebab, pembahasan soal ini tidak melulu berkenaan dengan hubungan seksual dan hal yang berkelindan di dalamnya. Namun, lebih mengerucut pada upaya negara menyejahterakan penduduknya dengan menikah pada usia yang matang dengan pemahaman yang baik soal itu, serta didukung kemampuan finansial yang memadai.
Satu yang juga menarik dalam setiap perbincangan soal ini ialah adanya pandangan bahwa orang berkeluarga itu rezekinya sudah dijamin oleh Allah. Ini memang benar. Namun, setiap anak yang lahir dari perkawinan tentu membutuhkan biaya yang memadai. Tidak hanya untuk makan sehari-hari, tetapi yang lebih penting untuk masa depan pendidikan mereka.
Pesan pemerintah agar setiap keluarga hendaknya hanya memiliki dua anak pasti ada muasalnya. Pemerintah ingin dengan keluarga kecil, masa depan pendidikan anak-anak terjamin. Dengan pendidikan yang memadai, anak-anak saat dewasa bisa bekerja dengan baik, apakah bekerja dalam artian kantoran atau membuka usaha sendiri atau berwirausaha. Inilah yang diinginkan pemerintah. Jangan sampai, bonus demografi yang sekarang ini sedang bergema malah menjadi blunder untuk rakyat Indonesia.
Dengan keterbatasan lahan pekerjaan, akses permukiman, dan akses kesejahteraan lain, keluarga Indonesia masuk ke lingkaran kemiskinan yang tiada berakhir. Namun, dengan pola KB, setidaknya ada ikhtiar agar setiap penduduk mampu menafkahi diri dan keluarganya sehingga tidak menjadi beban buat orang lain. Dan ini pintu awalnya adalah medium pernikahan. Logikanya, jika setiap pasangan yang menikah sudah memahami semua hal tentang hakikat pernikahan, KB, dan pembangunan keluarga, kans untuk menjadi keluarga yang baik, lebih terbuka. Dan di titik inilah, Duta Genre menemui urgensinya.
Diremehkan
Namun, ikhtiar yang baik itu pasti ada saja hambatan. Masyarakat Indonesia, khususnya di beberapa daerah yang masih kolot, belum bisa menerima kehadiran para Duta Genre. Ponita Dewi, Duta Genre Nasional asal Lampung, bercerita, bahwa ada banyak penduduk di beberapa kabupaten yang belum bisa menerima kehadiran Duta Genre. Alasan penduduk, sebagai remaja, para duta itu dianggap tidak memiliki pemahaman memadai soal perkawinan. Bahkan, dengan sinis, banyak warga yang menganggap sia-sia adanya Duta Genre. Mungkin mereka berpikir, perihal perkawinan dan KB disampaikan oleh mereka yang belum berkeluarga. “Anak kemarin sore tahu apa.” Mungkin begitu yang tertanam di benak warga.
Penolakan semacam ini ternyata tidak hanya berasal dari kalangan awam. Ponita menuturkan, saat ingin mensosialisasikan perihal KB, kependudukan, dan pembangunan keluarga di sekolah, para guru juga menolak. Para guru beranggapan, para Duta Genre hendak membagi-bagikan kondom dan bercerita soal risiko seks bebas. Padahal, hal itu sungguh keliru. Sudah pun diberikan pemahaman bahwa bukan itu tujuan para Duta Genre, para guru masih saja menampik kehadiran mereka. Padahal, konten yang ingin disampaikan lebih daripada itu. Yang ingin disampaikan ialah memotivasi siswa untuk belajar sungguh-sungguh dan punya metode pendewasaan dalam memandang usia perkawinan. Jadi, bukan untuk bagi-bagi kondom. Soal kondom atau HIV/AIDS memang dijelaskan, tapi itu hanya bagian dari penjelasan integral soal KB dan hal lain yang berkenaan dengannya.
Namun, para Duta Genre memang sudah dilatih untuk bersikap terbuka dengan tanggapan orang terhadap aktivitasnya. Mereka juga sudah dilatih bagaimana menjelaskan kepada orang-orang yang belum memahami soal ini. Justru, ini menjadi tantangan sesungguhnya yang diterima para Duta Genre. Barangkali, kalau tak ada tekanan, penolakan, para Duta Genre kurang mendapat pengalaman di lapangan.
Tekan Nikah Dini, Tekan Arus Deras Kelahiran
Pendeknya, para Duta Genre ini menginginkan agar semua remaja Indonesia, kelak saat memasuki usia perkawinan, usianya matang. Pekerjaannya mapan. Pemahaman soal KB dan rumah tangga integral. Dan integritas dan tanggung jawab sebagai suami dan istri makin baik dan lancar. Dengan begitu, nikah dini bisa ditekan. Arus deras kelahiran pun bisa diminimalkan. Ini salah satu ikhtiar jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang besar dan menyejahterakan.
Tantangan para Duta Genre dan BKKBN tentunya mempunya alat ukur yang sahih, apakah peran mereka sudah signifikan atau belum. Publik harus mengetahui, seberapa besar ukuran kesuksesan mereka. Maknanya, apakah keberadaan Duta Genre ini punya signifikansi untuk menekan tingkat kelahiran di Indonesia dan kesuksesan dalam kehidupan ber-KB penduduk Indonesia. Tentu sulit. Namun, sebagai sebuah prestasi, ada kalanya punya ukuran yang jelas. Dengan redaksi ini, inilah alat verifikasi yang paling sahih untuk membuktikan bahwa Duta Genre itu perannya signifikan.
Yang jelas, ini ikhtiar yang baik untuk tetap menjadikan Indonesia menjadi negara yang makmur. Dengan jumlah penduduk yang setiap tahun bertambah, kinerja para Duta Genre ini makin dibutuhkan. Dengan mendewasakan usia perkawinan, kans Indonesia menjadi negara dengan penduduk yang proporsional dan punya kemapanan sosial, akan besar. Batu karang untuk mencapai kesuksesan selalu ada. Termasuk dalam ranah Duta Genre ini. Namun, di noktah inilah ujian sesungguhnya. Jika BKKBN dan para Duta Genre se-Indonesia mampu melewati ini dengan baik, insya Allah kesuksesan dalam ranah keluarga berencana di Indonesia akan bisa dicapai. Wallahualam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H