Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

10 Dosa Redaktur Media Massa

26 Juli 2011   05:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:22 2755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_125140" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Pembaca media massa, koran atau tabloid misalnya, pasti menginginkan tulisan yang mereka nikmati enak dibaca. Mereka mau membaca berita dengan judul yang menarik, lead yang memikat, dan narasi yang bagus. Pembaca cuma mau kepuasaan dan karena itu pula mereka mengeluarkan uang untuk membeli koran.

Mereka pasti kecewa kalau koran yang mereka baca tidak sanggup memenuhi ekspektasi itu. Judulnya buruk, lead-nya tak menggoda, dan kalimatnya tak enak dibaca. Sudahlah demikian masih ditambah dengan konten berita yang biasa-biasa saja.

Orang yang sesungguhnya bertanggung jawab saat banyak komplain atas mutu berita adalah redaktur. Mengapa demikian? Sebab, redaktur atau editor inilah yang punya tugas menyunting naskah menjadi bagus. Artikel yang menarik tak serta-merta ditentukan oleh hasil reportase wartawan atau reporter. Ia memerlukan bantuan editor untuk membuatnya lebih bagus. Apalagi, redaktur adalah orang yang diserahi amanat menjaga gawang halaman koran.

Di media, redaktur itu jumlahnya disesuaikan dengan rubrik yang ada. Makin banyak halaman, jumlah redaktur juga banyak. Demikian sebaliknya. Lantas, apa saja dosa-dosa redaktur media yang pada gilirannya membuat kualitas tulisan menjadi buruk. Ini dia 10 dosa terbesar pada redaktur media.

13116589172092964504
13116589172092964504

Pertama, lemah proximity

Ini pengalaman pribadi. Waktu Rio Haryanto juara race I di GP3 Nuerburgring, Jerman, saya menyarankan kepada redaktur olahraga agar berita itu ditawarkan untuk halaman depan. Ketimbang mewartakan Lewis Hamilton yang juara I di balapan F1 itu, lebih baik menyiarkan keberhasilan pembalap Indonesia itu. Sayang, usaha saya tak dianggap. Beritanya malah soal Lewis Hamilton. Tapi, saya senang, besok di Kompas dan Koran Tempo, berita soal Rio Haryanto menjadi berita utama di halaman Olahraga. Itu proximity namanya. Kedekatan. Nilai berita atau bahasa gampangnya berita layak itu kalau menyangkut: orang besar, punya magnet kuat, dan dekat dengan pembaca. Lewis dan Rio dekat mana dengan Indonesia? Ya Rio-lah, jelas itu, proximity itu namanya. Nah, itu juga yang kadang lemah di redaktur. Betul standar F1 lebih tinggi ketimbang kasta GP3. Tapi ini dunia, bung, standar dunia! Dan Rio, pembalap asli Indonesia yang belum punya KTP lantaran belum genap 17 tahun itu, juara dunia! Dua tahapan lagi dia bakal mengemudi di balik konstruksi Ferrari, McLaren, atau Red Bull! Kok yang begitu dianggap sepele, itu proximity lo.

Tipsnya supaya kuat di proximity ya mesti mulai cakap membanding-bandingkan atau mengomparasi. Kalau Indonesia masuk 20 besar Asia dan masuk grup Pra-Piala Dunia bersama Korsel atau Iran, misalnya, mesti berita utama itu. Prestasi. Masak tak dihargai. Sudahlah magnetnya kuat karena sepak bola olahraga tersohor sedunia, prestasi masuk grup Asia juga mengharumkan. Kalau sampai lolos fase grup dan mulai masuk babak akhir untuk menentukan maju-tidaknya ke Piala Dunia di Brasil 2014, juga layak HL. Itulah proximity.

Waktu kapal Indonesia ditawan perompak Somalia, memang soal dekat secara jarak kan tidak. Cuma, yang ditawan itu kan kapal Indonesia, orang Indonesia. Peluang matinya, maaf, juga besar. Maka, berita itu sangat layak halaman muka. Berita utama malah. Sekali lagi, proximity.

Kedua, tak disiplin verifikasi

Kalau tadi saya memberi contoh dalam konteks baik, kali ini saya ingin "menelanjangi" Kompas karena tak disiplin verifikasi. Masih di edisi saat berita Rio ada, Kompas edisi Senin, 26 Juli 2011. Beritanya berjudul "Peru Mewujudkan Ilusi Jadi Tim Terhormat". Dalam kalimat soal Peru, tertulis begini. Pasnya di kolom pertama aline terakhir. Tolong dicek Pak Redaktur Olahraga Kompas!

"Kemenangan ini telah mengembalikan kehormatan dan kebanggaan tim Peru. Mereka sempat lesu karena gagal melaju ke final saat ditekuk Paraguay lewat adu penalti."

Data dalam paragraf ini pasti salah. Peru kalah di semifinal oleh Uruguay, bukan Paraguay. Juga tidak adu penalti, tapi via pertandingan 2 kali 45 menit. Yang kalah oleh Paraguay via tos-tosan ialah Venezuela.

Kompas juga pernah salah menulis lokasi penglepasliaran harimau sumatera. Mestinya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, malah ditulis Taman Nasional Way Kambas! Capek deh!

Kalau ada data salah begitu, artinya redakturnya teledor. Ia tak memberifikasi lagi. Memverifikasi itu mengecek, membuat praduga, apakah tulisan reporter saya ini sudah oke apa belum. Apakah semua nama narasumber, nama tempat, waktu kejadian, suasana kejadian yang ditulis wartawan itu sudah akurat belum. Yang bertugas memverifikasi memang jurnalis, tapi saat sudah dalam penyuntingan, itu tugas redaktur. Redaktur mesti mengecek semuanya. Ia harus meyakinkan bahwa seluruh artikel yang berada dalam tanggung jawabnya sudah benar. Apalagi bahan yang diambil dari internet, pasti mengandung banyak distorsi.

Supaya jadi redaktur yang cakap, ya mesti rajin-rajin memverifikasi. Wawasan mesti ditambah, pengetahuan soal konten halaman juga wajib ditingkatkan. Kesalahan data begitu kan fatal. Ya kalau semua orang melihat pertandingan sepak bola, kalau tidak? Bisa ngotot dia kalau ngobrol sama orang lain karena cuma berdasar bahan di Kompas.

Ketiga, tak cakap berbahasa

Menata kalimat juga tugasnya redaktur. Maka itu, dari jurusan apa saja seorang redaktur, ia mesti piawai berbahasa. Tahu kalimat aktif, induk dan anak kalimat, ekonomi kata, keringkasan, mengatur paragraf, dan memadukan antaralinea.

Ia juga membenahi bahasa tulis reporternya yang acak-acakan. Itulah salah satu tugas redaktur yang paling kelihatan. Tulisan berantakan dari sisi bahasa, menjadi artikel menarik setelah disentuh tangan piawai redaktur.

Setiap diksi juga harus ditulis dengan baik. Tapi, ya itu tadi, ada saja yang tak piawai. Masak sudah bertahun-tahun menjadi jurnalis, masih menulis impormasi untuk informasi, iven untuk event, tampa untuk tanpa, legeslatif untuk legislatif, holtikultura untuk hortikultura, sekertaris untuk sekretaris. Atau seperti tertera di banner Rakornas Demokrat. Tertulis "kordinasi", padahal mestinya "koordinasi".

Logika berbahasa juga dipahami. Kalau ada kalimat "mobil tersungkur setelah menabrak jembatan", harus awas. Yang ditabrak mobil barangkali pembatas jembatan. Kalau jembatannya kan yang dilindas. Juga kalau ada kalimat "mobil yang tak laik jalan akan dikenai sanksi". Yang dikenai sanksi itu kan pemilik perusahaan otobus (PO)-nya, bukan mobilnya.

Nah, supaya ada perubahan, redaktur juga berbenah. Kamus yang ada dibuka, majalah dengan tata bahasa yang baik dipelajari, buku soal cara mengatur paragraf ditelaah, dan kalau tak tahu ya bertanya.

Keempat, cenderung beropini

Kalau bicara soal berita, memang tak ada opini wartawan atau redaktur yang masuk. Kalaupun ada, itu hanya framingterhadap hal yang ditulis. Kalau ada kejadian anggota dewan tak sepakat dengan ketua dewannya, dilihat dulu konteksnya. Yakinkan ke reporter, si anggota dewan itu bilang apa. Misal ada kasus pengalihfungsian lahan hutan kota menjadi mal. Secara prinsip tak bisa karena melanggar hukum. Tapi si ketua dewan menganggap bisa. Nah, pas si wartawan meminta pendapat anggota, ada yang bilang mesti diperbaiki regulasinya. Nah, kalau besok di koran muncul judul "Ketua Dewan Ditantang Anggotanya" itu berlebihan. Hiperbola. Itu cenderung beropini. Redaktur yang membuatnya demikian.

Atau, masih di ranah legislatif. Kalau anggota dewan ramai-ramai studi banding dan menghabiskan anggaran, lebih baik tak menulis bahwa "studi banding ilegal dan melanggar hukum". Studi banding dan segala tugas dewan itu diatur regulasi. Tak kena kalau mengangkat tema itu. Namun, jika memboroskan anggaran, itu pas. Judul "Studi Banding Boros Anggaran" masih masuk akal dipakai.

Kelima, tak piawai membuat judul

Ketika Ronaldo datang ke Madrid, ada koran yang menulis judul "Ronaldo Bertekad Bawa Madrid Juara". Itu mah bukan "judul". Ya semua juga tahu setiap pemain besar yang main di klub kaya pasti berambisi membawa timnya sebagai juara. Itu pasti. Terus berulang siapa pun pemain bintang yang didatangkan. Mungkin lebih baik kalau "Ronaldo Incar Gelar Ganda". Gelar ganda itu, di naskah, dituliskan, pertama membawa juara La Liga, kedua menjadi el pichichi atau top skor.

Demikian juga saat memberi judul soal pertandingan Indonesia vs Turkmenistan. Kalau judul "Indonesia Targetkan Menang" rasa-rasanya sudah biasa, meskipun tetap istimewa lantaran imbang 0-0 pun cukup. Lebih baik misalnya "100 Ribu Penonton Pegang Tiket". Ini akan membawa dampak psikologis besar buat pemain. Atau "Berharap Gol Boaz".

Memberi judul memang mesti dirasa-rasai. Ini lebih kepada rasa memang. Taste begitu. Enak tidak sebuah judul dibaca. Punya dampak terhadap ketertarikan pembaca atau tidak. Banyak berlatih sehingga berpengalaman adalah tips terbaik agar mampu membikin judul yang menarik.

Keenam, kurang pengalaman meliput

Sebelum menjadi redaktur, seseorang idealnya punya pengalaman menjadi reporter. Bisa dua sampai tiga tahun. Mengapa? Sebab, dengan punya pengalaman, ia bisa memahami bagaimana kerja seorang wartawan di lapangan. Tanpa pengalaman reportase yang cukup, ia bakal kesulitan bekerja, baik dalam mengedit maupun memahami anak buahnya (reporter dan fotografer).

Oleh sebab itu, seorang redaktur yang naik pangkat terlalu cepat, jangan sampai tak mau meliput lagi. Ia masih boleh turun ke lapangan, tentu dengan nilai berita yang tinggi. Dengan begitu, suasana reportasenya terjaga, tak sekadar mengedit di dalam ruangan tanpa menikmati serunya dunia reportase.

Umumnya, mutu tulisan yang digawangi redaktur yang tak matang di lapangan sangat buruk. Beritanya bakal tertinggal dengan kompetitor. Artikel yang turun juga mentah, tak ada data yang kuat, sekadar "jurnalisme ludah" alias memindahkan ujaran narasumber ke bentuk berita.

Tapi, ada juga redaktur yang sebetulnya tak seberapa istimewa saat menjadi reporter, atau bahkan pengalaman minimal, tapi bisa bertugas dengan baik. Tapi, ini jarang. Mungkin orang yang demikian, kemampuan keeditorannya melampaui tingkat rata-rata. Jadi, tanpa memerlukan pengalaman di lapangan yang banyak, ia sudah cakap di pos redaktur.

Tipsnya ialah mau meliput, sesekali, tak usah tiap hari. Ini akan memudahkan redaktur mengetahui hal yang terjadi di lapangan. Redaktur juga akan bijak dalam memahami kesulitan reporter di lapangan.

Ketujuh, tidak mewakili pembaca

Redaktur itu sesungguhnya wakil pembaca. Sebab, dia adalah orang pertama yang membaca tulisan wartawan sebelum dipublikasikan di koran. Maka itu, ia mesti memahami apa yang dibutuhkan pembaca terhadap sebuah isu. Redaktur bukan bekerja untuk dirinya sendiri, kepuasan sendiri, ambisi pribadi. Ia memang bekerja mewakili kepentingan pembaca.

Misalnya, berdekatan dengan Ramadan, seorang redaktur halaman kota/metropolitan, harus memahami gejolak yang muncul di masyarakat. Apa yang masyarakat butuhkan terhadap artikel berkenaan dengan itu. Misal, warga ingin tahu apakah harga barang dijamin stabil di Ramadan, apakah ada penutupan tempat hiburan malam, ada tidakkah razia yang dilakukan kelompok puritan terhadap hotel dan diskotek yang berkeras beroperasi, dan sebagainya.

Memahami kemauan, kepentingan, dan keinginan pembaca inilah yang mesti diselesaikan oleh redaktur. Kalau ia tahu itu dengan baik, semua artikel, berita maupun nonberita, yang turun di halaman yang ia ampu, akan menjadi bagus. Dahaga masyarakat atas informasi yang mereka mau, bisa terpuaskan. Itulah kerja seorang redaktur.

Tipsnya tentu saja harus menjaga pergaulan dengan sebanyak mungkin warga, mendengarkan ujaran mereka, memperhatikan tingkah polah orang-orang pasar, meminati sosiologis masyarakat, dan sebagainya.

Kedelapan, tak membekali reporter

Setiap hari umumnya di media massa ada rapat proyeksi. Rapat ini diikuti oleh semua reporter dan fotografer yang dipimpin koordinator liputan atau redaktur yang ditunjuk.

Reporter itu setiap hari tidak serta-merta punya ide liputan. Apalagi buat mereka yang ngepos di lembaga tertentu, misalnya kantor DPR, instansi pemerintah, kantor gubernur, dan sebagainya. Mereka bakal pasif kalau memang tak ada kejadian istimewa di sana. Mereka butuh ide segar, asupan bahan liputan, dan motivasi. Mereka tak melulu dimarahi setiap hari karena beritanya buruk, ketinggalan dibanding wartawan koran lain, atau teknik penulisan yang berantakan.

Mereka pasti kesal kalau redakturnya cuma bisa marah-marah karena setoran berita kurang, tidak mendalam, biasa-biasa saja, tak punya magnitudo, dan sebagainya.

Para reporter mesti mendapat perlakuan berimbang. Dimarahi oke, tapi diberikan masukan dong.

Redaktur yang baik memberikan sudut pandang berita yang baru. Ia memberikan perspektif yang bagus agar berita yang dihasilkan reporternya menarik dibaca. Ia juga berkomunikasi dengan intensif dengan reporter. Hubungan harmonis semacam ini tentu bermanfaat demi menciptakan kualitas berita yang layak tayang.

Kesembilan, tak melindungi reporter

Redaktur itu seharusnya melindungi wartawan yang berada langsung di bawah komandonya. Ia mesti melindungi reporternya saat "diserang" oleh pemimpin redaksi. Biasanya pemred yang galak dan punya ambisi tinggi, bakal memarahi habis-habisan reporter yang dianggapnya tak cakap. Dalam posisi ini redaktur tampil sebagai pembela. Ia harus siap pasang badan. Jika tak demikian, siapa yang melindungi sang wartawan. Sudah jamak, wartawan, sebagai "kasta terendah" dalam keredaksian, mendapat murka jika salah, tapi mendapat pujian saat berprestasi. Saat ada berita yang tak sanggup ditembus wartawan dan karena itu ia dimarahi, seolah habis karier si wartawan. Panas setahun hilang diguyur hujan sehari. Prestasi bagus berpuluh tahun lenyap ditelan kesalahan kecil. Persis pepatah "karena nila setitik, rusak susu sebelanga".

Redaktur harus berani melindungi reporter saat banyak pihak tak puas. Termasuk saat reporter melakukan kesalahan tak disengaja sehingga dikomplain narasumber atau pihak yang ditulis dalam berita. Redaktur harus melindungi. Itu juga dipicu kesalahan redaktur yang tak cermat mengedit dan memeriksa fakta. Soal melindungi reporter ini sesungguhnya fardu ain buat pemred. Cuma, dalam konteks keseharian, redakturlah yang mengambil peran itu.

Editor majalah The New Republic, Kelly, bahkan sampai mundur gara-gara membela editing majalahnya yang dinilai pemilik media kasar bahasa dan banyak tanda komanya.

Kesepuluh, bekerja asal-asalan

Ada redaktur yang bekerja asal. Datang, ngobrol, ngedit, tak ngobrol lagi dengan reporternya, tak juga bertanya, selesai tugas, pulang. Itu terjadi tiap hari. Redaktur yang semacam itu berarti bekerja secara asal, tak punya visi, tak ada misi, tiada ambisi. Sekadar gugur kewajiban. Itu hak dia memang. Namun, koran ini mau dibaca publik, Gan! Mesti cermat bekerjanya. Bisa jadi, redaktur yang semacam ini sudah merasa mentok kariernya. Tak bisa naik lagi, padahal itu disebabkan kinerjanya yang rendah. Redaktur yang baik tentu bukan demikian. Ia mesti punya misi menjadikan halamannya unggul dibandingkan koran lain. Setidak-tidaknya lebih bagus dari redaktur halaman lain.

Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun